RI Butuh Investasi Rp14.800 T untuk Bangun Pembangkit Energi Terbarukan
Percepatan transisi energi di Indonesia membutuhkan investasi hingga USD1 triliun untuk pembangkit EBT dan transmisi.
IDXChannel - Kementerian Energi Sumber Daya dan Mineral (ESDM) menyebut percepatan transisi energi fosil, seperti bahan bakar minyak (BBM) dan batu bara ke energi baru dan terbarukan (EBT) membutuhkan dukungan pendanaan besar. Nilainya bisa mencapai USD1 triliun.
Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM, Rida Mulyana mengungkapkan, percepatan transisi energi di Indonesia membutuhkan investasi hingga USD1 triliun di 2060 untuk pembangkit EBT dan transmisi.
Nilai tersebut setara dengan Rp14.800 triliun (asumsi kurs Rp14.800 per USD). "Kebutuhan finansial semakin tinggi mengingat kami bakal menerapkan pensiun dini PLTU batubara di tahun-tahun mendatang," kata dia dalam keterangan resminya, Kamis (1/9/2022).
Besarnya pendanaan tersebut, sambung Rida, memerlukan mobilisasi semua sumber keuangan baik dari perusahaan privat maupun publik. "Kerja sama dan kolaborasi di antara semua pemangku kepentingan energi terbarukan, termasuk publik-swasta dan kemitraan bisnis ke bisnis, memiliki peran penting untuk memastikan semua potensi energi terbarukan dimanfaatkan," jelasnya.
Dalam roadmap NZE di 2060 atau lebih cepat yang disusun oleh Pemerintah, terdapat penambahan pembangkit EBT hingga 700 GW yang berasal dari solar, hidro, biomassa, angin, laut, panas bumi, serta hidrogen dan nuklir.
"Kami juga akan mengurangi penggunaan bahan bakar fosil dengan menghentikan pembangkit listrik fosil secara bertahap, program de-dieselisasi dan menerapkan teknologi bersih seperti CCS/CCUS," ungkap Rida.
Guna mencapai hal tersebut, pemerintah mempunyai beberapa beberapa strategi dari segi permintaan. Terdapat 3 sektor utama yang menjadi fokus pemerintah, yaitu transportasi, industri, rumah tangga dan komersial.
Di sektor transportasi, pemerintah akan meningkatan pemanfaatan bahan bakar nabati, penetrasi kendaraan listrik, penggunaan hidrogen untuk truk, bahan bakar ramah lingkungan untuk penerbangan, bahan bakar rendah karbon untuk pengiriman (amonia, hidrogen, bahan bakar nabati), bahan bakar elektronik yang berasal dari biosyngas, hidrogen hijau, dan elektrifikasi kapal untuk jarak dekat.
Adapula sektor industri akan diperuntukkan untuk meningkatkan pangsa listrik, hidrogen sebagai substitusi gas, substitusi biomassa, penyebaran CCS. Sementara dari sektor rumah tangga dan komersial, pemerintah mengakselerasi penggunaan kompor induksi, pemanfaatan gas kota, hingga program efisiensi energi, antara lain optimalisasi pengelolaan energi dan penggunaan peralatan yang hemat energi.
"Semua upaya dari sisi suplai dan demand ini akan mengurangi emisi sebesar 1.789 juta ton CO2e pada tahun 2060. Kita akan mencapai nol emisi dari sektor ketenagalistrikan, namun 129 juta ton emisi karbon tetap ada di sektor industri dan transportasi," jelas Rida. (FAY)