ECONOMICS

RI Ketiban ‘Durian Runtuh’ Surplus Transaksi Berjalan di 2022, Sampai Kapan?

Maulina Ulfa - Riset 21/02/2023 12:52 WIB

Indonesia berhasil menikmati ‘durian runtuh’ transaksi berjalan sepanjang 2022.

RI Ketiban ‘Durian Runtuh’ Surplus Transaksi Berjalan di 2022, Sampai Kapan? (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Indonesia berhasil menikmati ‘durian runtuh’ transaksi berjalan sepanjang 2022. Menurut data terbaru Bank Indonesia, surplus transaksi berjalan RI tercatat sebesar USD4,3 miliar atau setara 1,3% dari PDB.

Tren ini melanjutkan surplus capaian pada triwulan sebelumnya sebesar USD4,5 miliar atau sebesar 1,3% dari PDB.

Secara tahunan, surplus transaksi berjalan 2022 naik signifikan mencapai USD13,2 miliar atau 1,0% dari PDB, dibandingkan dengan capaian surplus tahun 2021 sebesar USD3,5 miliar atau setara 0,3% dari PDB. 

Sebagai informasi, transaksi berjalan adalah transaksi yang berkaitan dengan ekspor dan impor berupa barang dan jasa dalam kurun waktu satu tahun.

Transaksi berjalan terdiri dari neraca perdagangan (transaksi barang), transaksi jasa, pendapatan primer, dan pendapatan sekunder.

Namun, pada umumnya transaksi berjalan digunakan untuk menilai atau mengukur neraca perdagangan.

BI mencatat, kinerja transaksi berjalan bersumber dari surplus neraca perdagangan nonmigas yang terjaga, didukung oleh harga komoditas ekspor yang tetap tinggi seperti batu bara dan minyak sawit atau CPO.

Selain itu, defisit neraca perdagangan migas menurun seiring dengan tren penurunan harga minyak dunia, di tengah kecenderungan peningkatan kebutuhan bahan bakar pada periode Hari Besar Keagamaan Nasional (HBKN) Natal dan Tahun Baru 2022-2023.

Surplus transaksi berjalan ini juga ditopang oleh peningkatan surplus neraca pendapatan sekunder bersumber dari kenaikan penerimaan hibah Pemerintah.

Sementara itu, defisit neraca pendapatan primer meningkat, dipengaruhi oleh pembayaran imbal hasil investasi kepada investor asing yang meningkat sejalan dengan siklus bisnis dan tren kenaikan suku bunga.

Berkah Komoditas

Secara nominal, ekspor nonmigas pada laporan triwulan tercatat sebesar USD68,8 miliar, lebih rendah dari capaian ekspor triwulan sebelumnya sebesar USD73,4 miliar.

Dengan perkembangan tersebut, ekspor nonmigas tumbuh 7,8% secara year on year (yoy) pada triwulan IV 2022. Angka ini termasuk melambat dibandingkan capaian triwulan sebelumnya sebesar 25,6% yoy.

Secara triwulan, pertumbuhan ekspor nonmigas mengalami penurunan dari 4,4% secara kuartalan (qtq) pada triwulan III 2022 menjadi kontraksi 6,3% pada triwulan IV 2022.

Menurut BI, hal ini dipengaruhi oleh tertahannya permintaan ekspor sejalan dengan perlambatan perekonomian dunia, tingginya inflasi di beberapa negara mitra dagang, efek tunda pengetatan kebijakan moneter dan masih berlanjutnya tekanan geopolitik Rusia-Ukraina.

Adapun ekspor riil tercatat mengalami kontraksi 0,1% yoy setelah pada triwulan sebelumnya tumbuh 0,9% yoy.

Begitu juga dengan indeks harga ekspor yang melanjutkan tren perlambatan menjadi sebesar 7,9% yoy dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang mencapai 39,0% yoy.

Kinerja ekspor nonmigas tersebut dikontribusikan terhadap pertumbuhan ekspor produk primer yang tetap positif meski lambat serta ekspor produk manufaktur yang mulai mengalami kontraksi pertumbuhan.

Sepanjang 2022, ekspor nonmigas tercatat mencapai USD219,6 miliar, atau tumbuh 25,4% yoy dibandingkan 2021 sebesar USD275,5 miliar.

Peningkatan ini ditopang ole harga komoditas ekspor utama yang tumbuh tetap tinggi sepanjang 2022 sebesar 25,7% yoy di tengah turunnya ekspor rill.

Bakal Sampai Kapan?

Meningkatnya ekspor nonmigas ini menghasilkan surplus perdagangan mencapai USD54,46 miliar, yang juga merupakan rekor tertinggi bagi Indonesia.

Indonesia adalah pengekspor minyak kelapa sawit dan batubara termal terbesar di dunia. RI juga merupakan pemasok utama produk timah, tembaga, karet dan nikel, di antara komoditas lainnya.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia mengekspor batu bara seberat 360,28 juta ton sepanjang 2022, tumbuh 4,29% dibanding 2021.

Kendati volumenya hanya naik tipis, nilai ekspor batu bara Indonesia melonjak sangat tajam seperti terlihat pada grafik.

BPS mencatat nilai ekspor batu bara Indonesia pada 2022 mencapai USD46,74 miliar, naik 76,16% dibanding 2021 sekaligus menjadi rekor tertinggi dalam dua dekade terakhir.

Ekonom Bank Central Asia (BCA), David Sumual, mengatakan surplus neraca berjalan yang tinggi mungkin tidak akan terulang tahun ini, karena harga komoditas utama telah mengalami perlambatan dalam beberapa bulan terakhir.

"Saya kira ekspor tahun ini tidak sebaik tahun lalu. Ekonomi dalam negeri juga membaik, artinya impor produk juga akan lebih tinggi," ujarnya, dikutip Reuters, Selasa (21/2).

Dia memproyeksikan transaksi berjalan Indonesia tahun ini bisa mencapai defisit sekitar 0,5% dari PDB.

Pada kuartal terakhir 2022, Indonesia membukukan surplus neraca pembayaran sebesar USD4,7 miliar.

Batubara sempat mencapai harga all-time high (ATH) di 2022 mencapai USD457,80 per ton pada awal Mei 2022 lalu mengutip data Barchart.

Namun, harga batu bara diperdagangkan di harga USD205,65 per ton pada Senin (20/2). Harga ini telah anjlok USD185,25 atau setara 47.39% sejak Agustus 2022 lalu. (Lihat tabel di bawah ini.)

Sementara Minyak Sawit Berjangka diperdagangkan di level MYR4.095,00 pada pembukaan perdagangan hari ini, Selasa (21/2). Pada 2022, harga CPO juga sempat ATH mencapai MYR7104 di akhir April 2022 lalu.

Dalam Catatan Awal Ekonomi 2023 INDEF pada Januari lalu, ekonom senior Faisal Basri mengkritisi surplus neraca perdagangan Indonesia.

Menurutnya, rekor surplus neraca perdagangan Indonesia bukan karena ekspor RI tumbuh lebih cepat ketimbang impor, melainkan hanya disumbang oleh beberapa komoditas.

"Ekspor kita yang melonjak itu lebih disebabkan oleh segelintir komoditas, bukan kemampuan ekspor Indonesia yang merata. Kita lihat ekspor yang meningkat sampai 77 persen tahun ini, tahun lalu 90 persen naiknya, itu batu bara," ujar Faisal, Kamis (5/1).

Ini menjadi sinyal ketimpangan ekspor yang bisa berdampak signifikan terhadap fondasi ekonomi RI di masa depan. (ADF)

SHARE