ECONOMICS

Ribut Resesi Bikin PDB Negara G20 Ketar-ketir, Apa Kabar RI?

Maulina Ulfa - Riset 13/10/2022 12:40 WIB

Jika pertumbuhan PDB diproyeksi meningkat, namun output gap masih terlalu dalam alias permintaan akan barang melemah, bisa jadi berpotensi mengganggu ekonomi.

Ribut Resesi Bikin PDB Negara G20 Ketar-ketir, Apa Kabar RI? (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Pertumbuhan ekonomi tahun depan telah diramalkan suram. Salah satu indikator yang sering digunakan dalam pengukurannya adalah Produk Domestik Bruto (PDB).

Menurut laman Badan Pusat Statistik (BPS), PDB pada dasarnya merupakan jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu negara tertentu. Atau merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi.

Banyak negara diramalkan akan mengalami perlambatan pertumbuhan PDB, tak terkecuali negara-negara ekonomi G20.

Berdasarkan rilis terbaru data Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), pada kuartal kedua 2022, PDB di kawasan G20 merosot minus 0,4% year on year (yoy). Angka ini turun dari kuartal sebelumnya sebesar 0,7%.

Perlambatan di kawasan G20 ini ditengarai dampak dari berbagai turbulensi global yang tengah melanda seperti pandemi Covid-19 yang belum berakhir, perang Russia-Ukraina, krisis pangan dan energi, hingga perubahan iklim.

Menurut data OECD, presentase perubahan PDB China berkontraksi paling dalam sebesar minus 2,6% pada Q2 2022. Kebijakan lockdown dan Zero-Covid-19 disinyalir menjadi penyebabnya. Posisi minus kedua ditempati India sebesar minus 1,5%.

Di Australia dan Indonesia, pertumbuhan meningkat tipis dibandingkan Q1 2022 masing-masing 0,9% dan 1%. Perlambatan pertumbuhan PDB terpantau terjadi di India dengan minus -1,4%, Afrika Selatan minus 0,4% bahkan AS mencatatkan minus 0,1% pada Q2 2022.

Terlepas dari tren kawasan G20 secara keseluruhan, Brasil, Jerman, Meksiko, Arab Saudi, Afrika Selatan, dan Uni Eropa secara keseluruhan mencatat pertumbuhan yang lebih kuat pada Q1 2022 dibandingkan dengan Q4 2021.

Pertumbuhan di Arab Saudi tertinggi di antara negara-negara G20 lainnya mencapai 2,2%. Meskipun turun dibanding Q1 2022 yang mencapai 2,6%. Kondisi ini didorong oleh fluktuasi harga minyak akibat menguatnya dolar AS dan rencana pemangkasan produksi minyak dari OPEC+.

Kinerja PDB RI Masih Optimis

Dalam laman instagramnya, Direktur Pelaksana IMF, Kristalina Georgieva mengatakan optimisme tentang ekonomi Indonesia. Dalam unggahan Instagram pribadinya, ia menyebutkan bahwa Indonesia tetap menjadi titik cerah ekonomi saat dunia memburuk.

Jika melirik data pertumbuhan ekonomi, hingga kuarta II 2022, kinerja ekonomi RI memang masih menunjukkan tren pemulihan. Tercatat kenaikannya mencapai 5,44% pada kuartal ini.

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan produk domestik bruto atas dasar harga berlaku (ADHB) mencapai Rp4,92 kuadriliun pada kuartal II 2022.

Adapun PDB atas dasar harga konstan (ADHK) 2010, ekonomi Indonesia mencapai Rp2,93 kuadriliun di kuartal yang sama dengan pertumbuhan 3,72% dibanding kuartal sebelumnya (quarter-on-quarter/qoq).

Menurut Kepala BPS Margo Yuwono, di tengah tekanan inflasi dan ancaman resesi global, ekonomi Indonesia yang mampu tumbuh impresif ini menandakan tren pemulihan ekonomi terus berlanjut dan semakin kuat.

Kepala BPS Margo Yuwono pada Agustus lalu juga menjelaskan bahwa kinerja ekonomi Indonesia sepanjang kuartal II 2022 dipengaruhi oleh faktor domestik dan global.

Secara global, gangguan rantai pasokan dunia berdampak pada kenaikan harga komoditas unggulan Indonesia dan memberikan windfall terhadap kinerja ekspor.

Secara domestik, pelonggaran pembatasan mobilitas penduduk dan momen hari raya Idul Fitri mendorong ekspansi konsumsi masyarakat sekaligus menjadi stimulus peningkatan suplai.

Waspadai Output Gap

Meskipun PDB beberapa negara G20 tercatat naik, perlu diwaspadai tentang output gap.

Menurut laporan OECD, kesenjangan output atau output gap akan tetap besar, tetapi, defisit transaksi berjalan akan meningkat.

Output gap memberikan gambaran mengenai kondisi kelebihan permintaan (excess demand) atau kelebihan penawaran (excess supply) dalam perekonomian. Output gap negatif mengindikasikan pertumbuhan ekonomi yang tidak optimum.

Dalam kondisi seperti ini, akan terjadi excess supply atau jumlah barang berlebih sehingga menyebabkan tingkat harga suatu barang jadi turun atau deflasi.

Di tengah peningkatan tingkat inflasi perekonomian Indonesia, output gap yang masih negatif di tahun depan mengindikasikan kapasitas produksi nasional atau PDB tidak sebanding dengan permintaan (demand) yang cenderung sedikit. Kondisi ini yang perlu diwaspadai.

Sehingga meskipun PDB tumbuh, jikalau output gap-nya masih negatif, akan mengancam di sisi permintaan pasar akan barang.

Menurut laporan United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD), di antara ekonomi G20, hanya Türkiye, Arab Saudi, dan Argentina yang diperkirakan akan menikmati tren output gap positif tahun depan. Sementara mayoritas negara-negara G20 akan mengalami output gap negatif.

Di Türkiye, inflasi yang terus-menerus membuat tren pertumbuhan saat ini terbilang rapuh. Beberapa penyesuaian makroekonomi yang restriktif diperkirakan akan terjadi dalam waktu dekat.

Di Arab Saudi, pemulihan yang cepat terkait dengan fluktuasi pasar minyak dunia, yang mencerminkan kenaikan harga dan produksi pasca setelah pecahnya perang di Ukraina.

Argentina, PDB di atas tren sebenarnya adalah pembalikan tren karena ekonomi berkontraksi 0,6% per tahun dalam tiga tahun sebelum pandemi.

Indonesia sendiri masih memiliki output gap minus 9,2%, terbesar kedua setelah Russia. Kondisi ini perlu diwaspadai. Jika pertumbuhan PDB diproyeksi meningkat, namun output gap masih terlalu dalam alias permintaan akan barang melemah, bisa jadi berpotensi mengganggu ekonomi.

Adapun Rusia yang memiliki output gap minus terbesar yakni 12,6% karena efek negatif perang yang bertahan lama terhadap ekonomi Rusia. Sementara negara-negara G20 lainnya diproyeksikan akan mengalami pemulihan ekonomi parsial pada 2023. (ADF)

SHARE