ECONOMICS

Riset Ini Sebut Lapangan Kerja Seret Meskipun Investasi RI Meningkat

Maulina Ulfa - Riset 16/05/2023 14:02 WIB

Laporan terbaru Algo Reseach menyoroti seretnya lapangan kerja di Indonesia meskipun tingkat investasi di Tanah Air meningkat dalam beberapa waktu terakhir.

Riset Ini Sebut Lapangan Kerja Seret Meskipun Investasi RI Meningkat. (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Laporan terbaru Algo Reseach menyoroti seretnya lapangan kerja di Indonesia meskipun tingkat investasi di Tanah Air meningkat dalam beberapa waktu terakhir.

Dalam laporan yang dirilis Selasa (16/5/2023), selama 10 tahun terakhir, investasi menjadi salah satu pilar bagi pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi untuk mendukung terbukanya lapangan kerja yang lebih luas.

Total investasi yang dinikmati RI, termasuk Foreign Direct Investment (FDI) dan Domestic Direct Investment (DDI), mencapai Rp 1.207 triliun pada 2022. Angka ini naik 34% secara year on year (YoY) dari 2021 atau meningkat 13% sepanjang 2013-2022.

Dalam hal karakteristik investasi, sebagian besar investasi dalam beberapa tahun terakhir didominasi oleh sektor padat modal seperti logam dan pertambangan. Hal ini karena pemerintah terus fokus pada inisiatif hilirisasi seperti nikel untuk meningkatkan nilai tambah produk.

Ancaman Menipisnya Lapangan Kerja

Namun, Algo Research menyoroti, meskipun investasi padat modal cukup besar, nyatanya tidak serta merta menciptakan lebih banyak lapangan kerja dalam perekonomian pada sektor padat karya.

“Tentu saja, kami tidak mengatakan bahwa tidak ada pekerjaan yang ditambahkan, tetapi peningkatan investasi tidak dibarengi peningkatan lapangan pekerjaan secara substansial,” tulis laporan tersebut.

Algo Research mencontohkan, pada 2013, total investasi sebesar Rp400 triliun menciptakan sekitar 1,83 juta pekerjaan. Namun pada 2022, investasi senilai Rp1.207 triliun hanya menciptakan 1,3 juta pekerjaan.

Lebih lanjut, Algo Research menghitung dampak investasi per Rp1 triliun pada 2013 menciptakan lapangan pekerjaan untuk 4.591 karyawan. Namun angka ini menyusut menjadi 1.081 lapangan pekerjaan saja pada 2022. Hal ini terlihat dari penurunan CAGR sebesar -15% dalam 10 tahun terakhir. (Lihat grafik di bawah ini.)

Sebagai anomali, DDI atau investasi langsung dalam negeri telah menciptakan lebih banyak lapangan pekerjaan daripada FDI.

Pada 2018, dampak dari investasi Rp1 triliun DDI mampu menciptakan 1.429 pekerjaan sementara hanya 1.249 pekerjaan tercipta dari FDI.

Perbedaan lebih terasa pada 2022 di mana investasi Rp1 triliun DDI menyediakan 1.375 pekerjaan, sedangkan investasi Rp1 triliun dari FDI hanya menciptakan 833 lapangan pekerjaan.

“Kami mencatat bahwa secara agregat lebih banyak investasi baik untuk ekonomi dan lebih sedikit penciptaan lapangan kerja masih lebih baik daripada tidak ada kesempatan kerja sama sekali. Namun, kami percaya bahwa perbedaan ini harus diatasi terutama setelah pandemi di mana sektor padat karya seperti pertanian dan manufaktur mengalami perlambatan karena berbagai masalah dari sisi permintaan (penurunan siklus) dan sisi penawaran (biaya input tinggi),” imbuh laporan tersebut.

Algo research juga menyoroti pertumbuhan industri padat karya seperti tekstil, pertanian dan perdagangan grosir dan eceran telah kehilangan momentum dalam satu tahun terakhir.

Di sisi lain, pertumbuhan logam dasar terus meningkat dari produk bernilai tambah seperti baja tahan karat.

“Secara keseluruhan, pertumbuhan ekonomi kita tetap stagnan di 5% karena kinerja yang lebih baik di satu sektor saja, namun juga mencatatkan kinerja yang buruk di sektor lain.” kata laporan Algo Research.

Kondisi ini menunjukkan distribusi kekayaan yang semakin tidak merata antara pemangku kepentingan padat modal (kelas atas) dan padat karya (menengah ke bawah) yang berarti sinyal yang kurang baik bagi perekonomian nasional.

Perlambatan ekonomi global juga memerburuk situasi. Sektor padat karya seperti industri tekstil, pakaian, kulit dan lainnya mengalami penurunan permintaan di pasar-pasar utama seperti Eropa dan Amerika Serikat. Sebagai contoh, permintaan produk tekstil dari AS turun 29% YoY dan dari Eropa juga terkontraksi 30% YoY per Februari 2023.

Hal ini memperburuk situasi di industri tersebut, terutama karena sektor ini belum pulih sepenuhnya dari pandemi.

Dampaknya, fenomena pemutusan hubungan kerja (PHK) tak terhindarkan. PHK terjadi kepada 919.000 karyawan yang terjadi sepanjang 2022. Angka ini bahkan hampir mengimbangi 1,3 juta pekerjaan tambahan dari investasi FDI dan DDI. Jika tren ini berlanjut, dampaknya terhadap lapangan kerja bisa menjadi negatif.

“Sebagai kesimpulan, meskipun kami tidak menyangkal efek positif pada investasi yang lebih tinggi di sektor padat modal, kami pikir perbedaan dengan sektor padat karya yang menurun perlu diatasi,” pungkas laporan tersebut. (ADF)

SHARE