ECONOMICS

Runtuhnya SVB dan ‘Kenakalan’ Credit Suisse, Akankah Mengulang Krisis Keuangan 2008? 

Maulina Ulfa - Riset 24/03/2023 17:00 WIB

Hampir tiga minggu terakhir, dunia digemparkan tiga krisis bank besar di Amerika Serikat dan Eropa.

Runtuhnya SVB dan ‘Kenakalan’ Credit Suisse, Akankah Mengulang Krisis Keuangan 2008? (Foto: bankunderground.co.uk)

IDXChannel - Hampir tiga minggu terakhir, dunia digemparkan tiga krisis bank besar di Amerika Serikat dan Eropa.

Krisis Silicon Valley Bank (SVB) dan Signature Bank di negeri Paman Sam dan jatuhnya Credit Suisse, bank berbasis Swiss menciptakan ketegangan besar dalam industri perbankan di beberapa negara di dunia.

Kegagalan SVB, Signature Bank hingga Credit Suisse menempatkan sektor perbankan di AS dan Eropa dalam situasi rentan. Setelah runtuhnya SVB, sebuah studi baru menemukan bahwa 186 bank AS berisiko mengalami nasib serupa.

Sebelum krisis di AS dapat diatasi sepenuhnya, publik juga digemparkan dengan jatuhnya Credit Suisse Bank, salah satu bank terbesar dan tertua di Swiss dan membuat kepanikan yang lebih besar.

Setelah keruntuhan tiga bank besar berturut-turut ini, muncul kekhawatiran krisis ini akan seperti yang terjadi pada 2008 lalu. Bagaimana faktanya?

Pemicu Krisis SVB Hingga Credit Suisse

Runtuhnya SVB disebut datang sangat tiba-tiba, di mana setelah 48 jam dimulai pada Rabu (8/3) hingga Kamis (9/3) para nasabah menarik simpanan secara besar-besaran dan menyebabkan kepanikan yang disebut bank run.

Tapi akar kehancuran SVB sebenarnya telah terjadi selama beberapa tahun belakangan. Seperti banyak bank lain, diketahui SVB telah menginvestasikan miliaran dolar ke dalam obligasi pemerintah AS selama era suku bunga mendekati nol.

Setelah sekian lama dianggap sebagai instrumen yang aman, sayangnya ini tak berlangsung lama karena bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed) menaikkan suku bunga secara agresif dalam satu tahun terakhir untuk menjinakkan inflasi yang juga meroket.

Saat suku bunga naik, risiko harga obligasi turun mengintai, sehingga lonjakan suku bunga mengikis nilai portofolio obligasi SVB. Menurut laporan Reuters, portofolio SVB dilaporkan menghasilkan pengembalian rata-rata hanya 1,79%, jauh di bawah hasil Treasury 10-tahun sekitar 3,9%.

Adapun bank run oleh nasabah dipicu saat manajemen bank mengumumkan mereka telah menjual efek yang menyebabkan kerugian dan akan menjual USD2,25 miliar saham baru untuk menutup lubang rugi tersebut pada Rabu (8/3).

Hal itu memicu kepanikan di kalangan nasabah, yang menarik uang mereka dalam jumlah besar.

Saham bank tersebut langsung terjun bebas 60% pada Kamis (9/3) dan menyeret saham bank lain turun bersamanya karena investor mulai takut akan terulangnya krisis keuangan global 2008.

Regulator negara bagian California langsung mengintruksikan menutup bank dan menempatkannya dalam pengawasan Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC), yang biasanya bertugas melikuidasi aset bank untuk membayar kembali deposan dan kreditur.

Selang beberapa saat, keruntuhan SVB diikuti oleh bank regional Signature Bank, yang ditutup oleh regulator federal pada Minggu, (12/3).

Kegagalan bank tersebut diakibatkan oleh kekhawatiran regulator tentang deposan yang menarik uang dalam jumlah besar setelah kegagalan SVB, dan ketakutan akan penularan yang berkelanjutan (contagion effect).

Keruntuhan dua bank ini kemudian menular hingga Swiss, di mana Credit Default Swap (CDS) milik Credit Suisse naik ke rekor tertinggi sebanyak 36 basis poin menjadi 453 basis poin seiring runtuhnya Silicon Valley Bank (SVB) pada Senin, (13/3).

Sebagai informasi, Credit Default Swap (CDS) merupakan sejenis perlindungan/proteksi atas risiko kredit (credit event).

Rekor naiknya CDS ini bukanlah pertanda baik bagi pasar keuangan karena merepresentasikan kondisi pasar yang tengah khawatir efek tular SVB dan terjadinya krisis perbankan.

Hingga pekan lalu, Credit Suisse sepertinya belum menemui babak akhir. Teranyar, sang rival, UBS Group, berniat menyelamatkan raksasa bank asal Swiss tersebut. UBS Group akan membayar 3 miliar franc Swiss (setara USD3,23 miliar) untuk Credit Suisse dan menanggung kerugian hingga USD5,4 miliar dalam kesepakatan yang didukung oleh jaminan besar-besaran oleh bank sentral Swiss

Sebelumnya, Credit Suisse dilaporkan akan meminjam hingga 50 miliar franc Swiss (setara USD53,68 miliar) dari Bank Nasional Swiss di bawah fasilitas pinjaman tertutup dan fasilitas likuiditas jangka pendek.

Namun, kejatuhan Credit Suisse tidak serta merta merupakan kesalahan suku bunga atau inflasi tinggi.

Melansir Forbes, Credit Suisse dikabarkan telah terlibat dalam berbagai skandal yang mengguncang investor dalam beberapa tahun terakhir, termasuk salah kelola dana, yang terungkap dalam laporan keuangan tahun 2022.

Dalam laporan keuangan terbarunya, bank menutup tahun fiskal 2022 dengan kerugian hampir USD 8 miliar, kerugian terbesar sejak krisis keuangan global 2008. (Lihat tabel di bawah ini.)

Laporan Keuangan Credit Suisse 2022

Bisa dibilang, krisis Credit Suisse adalah representasi ‘anak nakal’ institusi perbankan global. Bukan hanya sekali ini Credit Suisse mengalami gonjang-ganjing. Bahkan telah dimulai sejak 2022 lalu.

Pada Oktober 2022, permintaan CDS Credit Suisse juga sempat meroket menuju all-time high (ATH) pada Senin, (3/10). Kenaikan ini disebut melampaui harga risiko default dibanding perusahaan pesaing, Barclays Plc dan Deutsche Bank, melansir Bloomberg.

Meroketnya CDS ini dipicu oleh upaya CEO Credit Suisse Ulrich Koerner yang berusaha meyakinkan karyawan tentang stabilitas keuangan bank, tetapi malah menambah kekhawatiran dan gejolak.

Pada saat itu, banyak media berspekulasi kondisi yang tengah dialami Credit Suisse akan mengantarkannya menjadi Lehman Brothers kedua pasca kolapsnya perusahaan jasa keuangan asal Amerika Serikat (AS).

Tak Sama Dengan Krisis 2008

Menurut Menteri Keuangan AS, Janet Yellen, keruntuhan SVB 'sangat berbeda' dari krisis yang terjadi pada 2008 lalu. Ia pun menegaskan bahwa sistem keuangan AS hari ini secara signifikan lebih kuat daripada 15 tahun yang lalu.

“Pada 2008, banyak lembaga keuangan mengalami tekanan karena kepemilikan aset subprime mereka, namun kami tidak melihat situasi itu dalam sistem perbankan saat ini," kata Yellen dikutip Business Insider, Selasa (21/3).

Jika mengukur skala krisis, penting untuk melihat kembali penyebab krisis keuangan global 2008 lalu.

Benih-benih krisis keuangan 2008 telah dimulai ditanam selama bertahun-tahun dengan suku bunga yang sangat rendah dan standar pinjaman yang sangat longgar.

Dihadapkan dengan meledaknya gelembung dot-com di awal tahun 2000-an, yang disebabkan serangkaian skandal akuntansi perusahaan, dan serangan teroris 11 September, The Fed mengeluarkan kebijakan untuk menurunkan suku bunga dari sebelumnya 6,5% pada Mei 2000 menjadi 1% pada Juni 2003. (Lihat grafik di bawah ini.)

Tujuannya adalah untuk meningkatkan aktivitas ekonomi dengan membuat uang lebih ‘tersedia’ untuk aktivitas bisnis dan konsumen dengan bunga murah.

Hasilnya adalah lonjakan harga rumah karena para peminjam memanfaatkan tingkat bunga hipotek rumah yang rendah.

Karena bunga yang cukup rendah, bahkan para peminjam yang memiliki riwayat kredit buruk atau tidak memiliki riwayat kredit sama sekali, dapat mewujudkan impian untuk membeli rumah.

Banyak bank AS kemudian menjual pinjaman tersebut ke bank-bank Wall Street, yang mengemasnya menjadi apa yang disebut sebagai instrumen keuangan berisiko rendah seperti efek berbasis hipotek dan kewajiban utang yang dijaminkan atau collateralized debt obligations (CDO).

Dengan adanya aturan ini, pasar sekunder segera untuk memulai dan mendistribusikan pinjaman subprime secara besar-besaran.

Memicu pengambilan risiko yang lebih besar di antara bank, Securities and Exchange Commission (SEC) pada Oktober 2004 melonggarkan persyaratan modal bersih untuk lima bank investasi, di antaranya Goldman Sachs (GS), Merrill Lynch (MER), Lehman Brothers, Bear Stearns, dan Morgan Stanley (MS).

Kebijakan ini membebaskan financial leverage mereka untuk memanfaatkan investasi awal hingga 30 kali atau bahkan 40 kali.

Sebagai informasi, financial leverage dihasilkan dari penggunaan modal pinjaman sebagai sumber pendanaan saat berinvestasi untuk memperluas basis aset perusahaan dan menghasilkan pengembalian modal risiko.

Leverage juga dapat merujuk pada jumlah utang yang digunakan perusahaan untuk membiayai aset.

Namun, memasuki awal 2007, satu demi satu pemberi pinjaman subprime mengajukan kebangkrutan. Selama bulan Februari hingga Maret 2007, lebih dari 25 subprime lender bangkrut.

Kondisi ini pada akhirnya memicu pecahnya gelembung (bubble) harga rumah di AS dan di wilayah lain atau yang lebih dikenal sebagai subprime mortgage crisis 2008.

Pada bulan April, New Century Financial, lembaga spesialis subprime lending, mengajukan kebangkrutan dan memberhentikan setengah dari tenaga kerjanya.

Pada bulan Juni, Bear Stearns menghentikan penebusan pada dua aset hedge funds, mendorong Merrill Lynch menyita USD 800 juta aset dari dana tersebut.

Pada Agustus 2007, pasar keuangan AS tidak dapat menyelesaikan krisis subprime dan masalah tersebut bergema jauh di luar AS.

Ini mengakibatkan pasar antar bank, tempat di mana uang bergerak di seluruh dunia benar-benar membeku, sebagian besar karena efek tular psikologis dari yang terjadi di AS.

Pada Oktober 2007, bank UBS juga menjadi bank besar pertama yang mengumumkan kerugian USD3,4 miliar dari investasi terkait subprime.

Berbulan-bulan berikutnya, The Fed bersama bank sentral lainnya akhirnya mengambil tindakan terkoordinasi untuk memberikan pinjaman miliaran dolar ke pasar kredit global, karena jatuhnya harga aset.

Sementara itu, lembaga keuangan berjuang untuk menghilangkan racun akibat buruknya pembukuan efek berbasis hipotek senilai triliunan dolar.

Pada musim dingin 2008, ekonomi AS berada dalam resesi besar-besaran. Saat kesulitan likuiditas lembaga keuangan berlanjut, pasar saham di seluruh dunia jatuh paling dalam sejak serangan teroris 11 September 2001.

Untuk mengatasi kondisi ini, pada Januari 2008, The Fed memangkas suku bunga acuannya sebesar tiga perempat poin persentase dan menjadi pemotongan terbesar dalam seperempat abad terakhir, karena berusaha memperlambat kemerosotan ekonomi.

Kondisi semakin menyebabkan kabar buruk yang terus mengalir dari segala penjuru.

Pada Februari, pemerintah Inggris terpaksa menasionalisasi Northern Rock Bank. Pada Maret, bank investasi global Bear Stearns, pilar Wall Street yang berdiri sejak tahun 1923, runtuh dan diakuisisi oleh JPMorgan Chase dengan harga yang amat murah.

Memasuki musim panas 2008, efek tular keruntuhan Bear Stearns menyebar ke seluruh sektor keuangan.

IndyMac Bank menjadi salah satu bank terbesar yang pernah bangkrut di AS. Aset dari dua lembaga pemberi pinjaman rumah terbesar di negara itu, Fannie Mae dan Freddie Mac, juga telah disita oleh pemerintah AS.

Namun keruntuhan bank terhormat Wall Street Lehman Brothers pada bulan September menandai kebangkrutan terbesar dalam sejarah AS.

Inilah yang menjadi simbol kehancuran yang disebabkan oleh krisis keuangan global 2008.

Menyikapi kondisi ini, The Fed, Departemen Keuangan, Gedung Putih, dan Kongres berjuang untuk mengajukan rencana komprehensif untuk menghentikan pendarahan dan memulihkan kepercayaan pada perekonomian.

Pada akhirnya, mau tidak mau, dana talangan atau bailout harus segera diluncurkan. Akhirnya, paket talangan Wall Street disetujui pada minggu pertama Oktober 2008. Sebanyak 4 bank dan institusi keuangan menerima bailout lebih dari USD1,4 triliun. (Lihat chart di bawah ini.)

 

Perbedaan Kunci

Berdasarkan latar belakang tersebut, dapat disimpulkan perbedaan kunci dari adanya krisis SVB hingga Credit Suisse dengan krisis yang terjadi pada 2008.

  a. Krisis SVB

Kolapsnya SVB terjadi akibat tidak adanya diversifikasi penempatan investasi aset. Diketahui SVB telah menginvestasikan miliaran dolar ke dalam obligasi pemerintah AS selama era suku bunga mendekati nol. Saat suku bunga naik, risiko harga obligasi turun mengintai, sehingga lonjakan suku bunga mengikis nilai portofolio obligasi SVB. Menurut laporan Reuters, portofolio SVB dilaporkan menghasilkan pengembalian rata-rata 1,79%, jauh di bawah hasil Treasury 10-tahun sekitar 3,9%.

  b. Krisis Credit Suisse

Krisis ini terjadi akibat salah kelola dana, yang terungkap dalam laporan keuangan tahun 2022. Bank menutup tahun fiskal 2022 dengan kerugian hampir USD8 miliar, kerugian terbesar sejak krisis keuangan global 2008.

  c. Krisis Finansial 2008

Salah satu highlight utama krisis 2008 adalah kesediaan pemberi pinjaman hipotek untuk meminjamkan kepada calon pembeli rumah, bahkan mereka yang belum tentu mampu secara finansial untuk melunasi rumah tersebut.

Itu berarti mereka meminjamkan apa yang disebut hipotek subprime kepada calon pembeli rumah dengan kredit lebih rendah.

Akibatnya, memicu kenaikan harga rumah yang cepat dan gelembung perumahan dan membuat pemilik rumah baru yang telah menetapkan kredit mereka tidak dapat melakukan pembayaran KPR.

Setelah gelembung pecah, bank-bank yang telah berinvestasi dalam pinjaman subprime tersebut juga mengalami pukulan hingga tutup.

Pada krisis 2008, salah satu faktor utama lain adalah The Fed mengeluarkan kebijakan untuk menurunkan suku bunga dari sebelumnya 6,5% pada Mei 2000 menjadi 1% pada Juni 2003.

Hasilnya adalah lonjakan harga rumah karena para peminjam memanfaatkan tingkat bunga hipotek rumah yang rendah.

Karena bunga yang cukup rendah, bahkan para peminjam yang memiliki riwayat kredit buruk atau tidak memiliki riwayat kredit sama sekali, dapat mewujudkan impian untuk membeli rumah.

Kondisi inilah yang menurut Menteri Keuangan Janet Yellen bukan itu yang terjadi saat ini.

"Sistem keuangan kita juga jauh lebih kuat dibandingkan 15 tahun lalu. Hal ini sebagian besar disebabkan oleh reformasi pasca krisis yang memberikan standar modal yang lebih kuat, di antara peningkatan penting lainnya," katanya.

Dean Baker, seorang ekonom senior di Center for Economic and Policy Research yang meramalkan kehancuran gelembung perumahan 2008, mengatakan bahwa kondisi hari ini sama sekali bukan cerita 2008-2009.

"Sampai hari ini saya selalu berdebat dengan orang-orang, masalahnya adalah gelembung perumahan. Krisis keuangan memperburuknya, tidak diragukan lagi. Tapi masalah sebenarnya adalah bahwa pasar perumahan menggerakkan perekonomian - gelembung perumahan, dan itu runtuh, dan tidak ada pengganti yang mudah untuk itu. Hari ini sama sekali bukan cerita tentang itu," kata Baker. (ADF)

SHARE