Sekali Charging EV, Dua-Tiga Cuan (Semoga) Terkantongi
saat ini masih ada sebagian pihak yang memandang miring terkait kebijakan pemerintah menyuntikkan 'suplemen' berupa subsidi guna menggairahkan penjualan EV.
IDXChannel - Pemerintah masih terus berupaya menggenjot penggunaan kendaraan listrik (electric vehicle/EV) di Indonesia.
Salah satunya dengan menata ulang kebijakan pemberian subsidi sebesar Rp7 juta untuk setiap pembelian kendaraan listrik roda dua.
Caranya dengan memperluas ceruk masyarakat yang diperbolehkan menerima subsidi tersebut, sehingga kini setiap Warga Negara Indonesia (WNI) tanpa terkecuali dapat memanfaatkan fasilitas tersebut.
Syaratnya, dengan menunjukkan Kartu Tanda Penduduk (KTP), dengan ketentuan setiap satu Nomor Induk Kependudukan (NIK) untuk pembelian satu unit motor listrik.
Melalui kebijakan baru tersebut, dari total kuota subsidi yang disediakan sebanyak 200.000 unit, hingga 4 September 2023 lalu tersisa 197.569 unit. Artinya, paket motor listrik subsidi telah terjual sedikitnya 2.431 unit.
Memang, pelaksanaan kebijakan subsidi pembelian EV tersebut di lapangan terbilang 'masih jauh panggang dari api', alias belum mendapat respons yang semestinya dari masyarakat luas.
Multi-Goals
Namun demikian, meski target masih cukup jauh untuk dicapai, pendekatan yang dilakukan pemerintah dalam menginisiasi kebijakan tersebut dinilai sudah tepat dan telah sesuai dengan grand design yang telah ditetapkan.
"(Kebijakan subsidi EV) Sudah tepat. Mungkin masih perlu perbaikan dan belum ideal di sana-sini. Tapi, apakah ini sudah on the right track? Saya melihat, iya. (Kebijakan) Ini sudah benar," ujar Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, kepada idxchannel, Selasa (5/9/2023).
Fabby mengakui, saat ini masih ada sebagian pihak yang memandang miring terkait kebijakan pemerintah menyuntikkan 'suplemen' berupa subsidi guna menggairahkan penjualan EV di masyarakat.
Pandangan miring tersebut, menurut Fabby, lantaran menempatkan kebijakan peningkatan penggunaan EV tersebut semata-mata untuk menekan konsumsi energi fosil dalam bentuk bahan bakar minyak (BBM).
Karenanya, muncul kemudian perbandingan bahwa meski EV diketahui menggunakan tenaga listrik, namun keberadaan listrik di Indonesia sebagian besar justru dihasilkan oleh Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), yang notabene masih menggunakan bahan bakar fosil, yaitu batu bara.
"Padahal (penetapan) kebijakan (mendongkrak penjualan EV) itu ada dua pertimbangan utama, yaitu meningkatkan nilai tambah di bidang mineral, dan satu lagi soal menekan impor (BBM). Jadi goals-nya ada banyak. Bukan cuma soal konsumsi bahan bakarnya saja," tutur Fabby.
Bauran Energi
Kalau pun saat ini produksi listrik Indonesia masih disuplai dari PLTU yang notabene sangat bergantung pada konsumsi batu bara, Fabby menilai bahwa hal tersebut merupakan kondisi faktual yang tidak bisa dihindari.
Namun, sebagai solusi dari kondisi demikian, pemerintah pun telah mengatur secara ketat terkait bauran energi, yang dapat secara bertahap menekan volume batu bara yang digunakan di setiap PLTU.
Misalnya saja, sebagai contoh, adalah Program Co-Firing yang telah dilakukan oleh PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), dengan meningkatkan penggunaan biomassa sebagai substitusi atas konsumsi batu bara di 40 PLTU miliknya.
"Artinya, semua upaya kita jalankan secara komprehensif. Jadi jangan mikir mending mana. Semua jalan bareng. Konsumsi batu bara di PLTU terus kita tekan, sambil switching dari BBM ke listrik juga terus didorong. Kalau switching-nya harus nunggu PLTU sama sekali nir batu bara, ya telat," ungkap Fabby.
Terlebih, Fabby juga mengungkap bahwa jumlah CO2 yang dihasilkan PLTU yang ada saat ini adalah sekitar 800 gram per kwh listrik yang diproduksi.
Bagi sebuah mobil listrik, daya sebesar 1 kwh tersebut dapat digunakan untuk menempuh jarak sekitar enam hingga tujuh kikometer. Dengan demikian, dalam satu kilometer perjalanan, CO2 yang dihasilkan sekitar 125 gram.
Sedangkan kendaraan konvensional, dijelaskan Fabby, dapat menghasilkan CO2 sekitar 2,2 kg untuk setiap 10 kilometer perjalanan. Sehingga, untuk setiap satu kilometer perjalanan yang ditempuh, CO2 yang dihasilkan sekitar 220 gram.
"Jadi meski listrik kita sekarang masih dihasilkan dari PLTU batu bara, tetap saja emisi yang dihasilkan (dari penggunaan EV) lebih minim dibanding (mobil bertenaga) BBM. Perbandingannya sekitar satu banding dua," urai fabby.
Industrialisasi
Di lain pihak, di luar wacana ramah lingkungan dan energi keberlanjutan tersebut, Fabby menegaskan bahwa ada target industralisasi yang juga ingin digapai pemerintah dari upaya mendorong penggunaan EV secara lebih massif.
Target ini, bahkan kembali telah ditegaskan oleh Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, bahwa komitmen Indonesia dalam upaya hilirisasi industri, terutama terhadap bahan-bahan mineral, tidak akan bisa ditawar lagi.
Salah satunya, menurut Jokowi, dengan menghentikan ekspor nikel dalam bentuk bahan mentah, dan sebagai gantinya, pemerintah bertekad menumbuhkan berbagai industri turunannya di dalam negeri. Salah satunya industri baterai EV.
"Hilirisasi tidak akan berhenti. Setelah (ekspor) nikel kita stop, kemudian masuk ke tembaga, ke copper. Nanti masuk lagi ke bauksit, dan seterusnya," ujar Jokowi, saat uji coba Kereta Lintas Raya Terpadu (Light Rapid Transit/LRT), Kamis (10/9/2023).
Jokowi mengurai, bahwa saat nikel masih diekspor dalam bentuk bijih atau bahan mentah, nilai yang diperoleh negara hanya sekitar Rp17 triliun. Namun, setelah dilakukan hilirisasi dan industrialisasi, nilai produk nikel melonjak menjadi Rp510 triliun.
Selain secara nilai melambung, Jokowi juga menekankan bahwa dengan industrialisasi yang lebih luas dan massif maka kebutuhan tenaga kerja bakal ikut melonjak. Dengan demikian, ketersediaan lapangan kerja bagi masyarakat juga semakin meningkat.
Sehingga, Jokowi pun menegaskan bahwa tidak boleh ada negara maupun organisasi internasional mana pun yang dapat menghentikan tekad Indonesia dalam melakukan hilirisasi.
Geliat Pasar
Sementara, untuk menggerakkan roda industrialisasi dalam negeri tersebut, pemerintah tentu sangat berharap agar investasi dapat mengalir, baik dari investor domestik maupun asing.
Syarat agar keinginan itu terwujud, tentu pasar dalam negeri harus mampu didorong untuk dapat menggeliat, sehingga roda industri dapat berputar sesuai harapan.
"Maka inilah pentingnya (pemerintah) mendorong agar penjualan EV bisa semaksimal mungkin, sehingga sampai perlu diberi insentif segala. Bukan semata-mata jualannya, tapi agar investor melihat bahwa pasar kita ini menjanjikan, sehingga invest di sini," ungkap Fabby.
Harapan tersebut, setidaknya, mulai terlihat dari hasil penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN, di Jakarta, dalam sepekan terakhir.
Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Rosan Perkasa Roeslani, misalnya, mengeklaim bahwa program pembangunan ekosistem EV di Indonesia menjadi salah satu proyek primadona dalam sesi bisnis matching pada gelaran ASEAN Indo-Pacific Forum (AIPF) 2023.
Selain membahas peluang pengembangan ekosistem EV, menurut Rosan, dibahas juga berbagai potensi di bidang renewable energi, pengembangan green hydrogen, green amonia, kilang alumina, rantai pasok baterai, infrastruktur jalan tol, dan pelabuhan.
"Dan meski di EV ecosistem dan value chain ini hanya ada tiga proyek, tapi ternyata minatnya sangat-sangat tinggi. (Investor yang hadir) Sangat banyak, sampai kapasitas (ruangan) yang kita sediakan untuk 45 sampai 50 orang tidak mencukupi," tutur Rosan.
Dari keseluruhan penyelenggaraan AIPF 2023 ini, lanjut Rosan, telah terkumpul sebanyak 185 investor internasional dan domestik, yang bakal bekerja sama dalam proyek-proyek tersebut.
Beberapa di antaranya, disebut Rosan, adalah ACWA Power dari Saudi Arabia, électricité de France (EDF Group) dari Prancis, dan Korea Electric Power Corporation.
Selain itu ada juga, IGNIS Energy Holdings asal Spanyol, China Railway Coorporation, China State Construction Engineering Corporation, Siemens asal German, dan JETRO dari Jepang.
Tak hanya itu, dalam gelaran KTT ASEAN Plus Three (APT) ke-26, para pemimpin negara Anggota ASEAN, Jepang, Cina, dan Korea Selatan (Korsel) juga sepakat membentuk ekosistem kendaraan listrik di kawasan.
Kesepakatan diwujudkan lewat diadopsinya dokumen ASEAN Plus Three Leaders Statement on Developing Electric Vehicle Ecosystem, sebagai wujud implementasi dari kesepakatan sebelumnya terkait pengembangan ekosistem kendaraan listrik, yang telah ditandatangani KTT ke-42 ASEAN di Labuan Bajo.
"Ini adalah bentuk penerjemahanan atau implementasi dari kesepakatan ASEAN sebelumnya, yang kemudian mendapatkan dukungan kerja sama dengan negara-negara plus three-nya (China, Jepang dan Korsel," ujar Menteri Luar Negeri (Menlu), Retno Marsudi, dalam keterangan resminya, kepada media.
Dengan berkaca pada klaim Rosan dan Retno, meski belum terlihat angka definitifnya, setidaknya harapan agar ekosistem EV mulai berkecambah di Indonesia, masih terlihat on track.
Namun, tentu masih banyak hal yang perlu dilakukan. Dari sebuah candi yang diimpikan, baru satu bata yang tertanam. Saatnya kerja dilakukan, agar api harapan itu tidak kembali padam. Bukan begitu? (TSA)