Sengketa Lahan Tambang Ganggu Iklim Investasi, Ini Rekomendasi Pakar Hukum
hukum harus ditegakkan sekalipun langit akan runtuh.
IDXChannel - Maraknya kasus sengketa lahan tambang menjadi salah satu ekses negatif atas lonjakan harga komoditas yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir.
Kondisi ini turut berdampak tidak hanya pada iklim investasi di sektor tambang, melainkan iklim investasi secara keseluruhan.
Terkait kondisi ini, Pakar Hukum Pidana Universitas Al Azhar Indonesia, Prof Dr Suparji Ahmad, berpendapat bahwa dugaan kriminalisasi menjadi salah satu permasalahan yang harus diurai secara serius.
Seperti halnya yang tengah terjadi pada kasus PT Citra Lampia Mandiri (CLM), yang telah menyeret mantan direktur utamanya, Helmut Hermawan, sebagai tersangka.
"Dugaan (kriminalisasi) ini harus diuji lewat penegakan hukum, yaitu dengan merekonstruksi fakta dan bukti, lalu dikaitkan dengan unsur tindak pidananya," ujar Suparji, Rabu (8/3/2023).
Dengan upaya rekonstruksi tersebut, menurut Suparji, maka dapat diketahui apakah dugaan kriminalisasi itu benar-benar terjadi atau sekadar tuduhan tak berdasar.
"Jadi kita bicara tentang fakta, tentang alat bukti bicara tentang unsur yang tidak boleh subyektif harus dikonfrontir dengan unsur tindak pidana," ungkap Suparji.
Semua hal itu, disebut Suparji, harus bersifat materiil dalam konteks pidana, yaitu kebenaran materiil. Dalam artian, tidak boleh bersifat asumtif tidak boleh bersifat imajinatif, halusinasi apalagi ilusi.
Termasuk juga soal pendapat tidak sahnya sebuah penetapan tersangka, Suparji mengatakan maka hukum harus ditegakkan sekalipun langit akan runtuh.
"Hukum tidak boleh terdistorsi oleh siapapun, hukum itu tegak berdiri. Bahkan langit runtuh pun, dunia binasa pun, hukum tidak boleh berhenti, ini menunjukkan bahwa mekanisme hukum harus ditegakkan tidak boleh ada pengecualian," papar Suparji.
Dalam hal ini, Suparji menegaskan ketidaksepakatannya terhadap praktik kriminalisasi yang diduga dilakukan oknum penyidik kepolisian.
"Kriminalisasi tidak boleh terjadi pada siapapun, kriminalisasi tidak boleh dilakukan oleh siapapun. Untuk menguji dugaan kriminalisasi tadi itu juga kembali kepada mekanisme hukum, kembali pada prosedur yang ada. Kalau memang perkara perdata selesaikan melalui mekanisme perdata, dan kemudian kalau ada unsur pidananya ada mekanisme pidananya," tegas Suparji.
Sementara, Dosen Hukum Pidana Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, M. Fatahillah Akbar, menambahkan bahwa kemunculan dugaan kriminalisasi dapat dijadikan bukti bahwa masih adanya tumpang tindih antara sanksi pidana dan administrasi, yang dikenal dengan Una Via Principle, yang merupakan pengembangan dari dari ne bis in idem.
"Di mana seharusnya tidak ada sanksi administrasi atau pidana dilakukan secara bersama-sama, harus ada batasannya, apakah ini dikenakan sanksi pidana atau administratif," ujar Akbar.
Akbar pun mempertanyakan apakah sudah ada sanksi dari pemerintah mengenai pelaporan tersebut. Sebab, menurutnya dalam kontek UU Pertambangan masuknya Administrative Penal Law jadi diselesaikan dengan cara Primum Remedium.
Tentang batasan mengenai sanksi administratif, Akbar mengungkapkan sebenarnya pasal 151 UU Pertambangan sudah mengatakan kalau ada pelaporan yang tidak benar dalam pasal 110 UU Pertambangan dapat dikenakan sanksi administrasi.
"Hal ini diperkuat dengan PP 96 tahun 2001 mengatur pengenaan sanksi administrasi juga. Lebih lanjut diperkuat dalam peraturan Kapolri tentang penyidikan pidana, bahwa untuk naik sidik penyelidikan itu harus gelar perkara dulu setelah itu mereka melakukan penyidikan mereka mengumpulkan bukti untuk menetapkan tersangka juga harus ada gelar kembali memang," ujar Akbar.
Perkap ini, lanjut Akbar, sejalan dengan keputusan MK tadi dengan peraturan Mahkamah Agung tentang penetapan tersangka harus ada prosedur.
"Sehingga perlu dilihat apakah penetapan tersangka itu tersebut sudah sesuai prosedur apa tidak itu merupakan kewenangan hak tersangka," tegas Akbar. (TSA)