ECONOMICS

Setahun Perang Rusia-Ukraina: Memanasnya Harga Energi dan Komoditas Dunia

Maulina Ulfa - Riset 24/02/2023 14:53 WIB

Dalam siaran itu, Presiden Vladimir Putin mengumumkan bahwa militer Rusia telah secara remi meluncurkan “operasi militer spesial” di Ukraina.

Setahun Perang Rusia-Ukraina: Memanasnya Harga Energi dan Komoditas Dunia. (Foto: MNC Media)

IDXChannel – Pada 24 Februari 2022, Publik internasional dikejutkan dengan siaran resmi yang dikumandangkan oleh stasiun televisi Rusia. Dalam siaran itu, Presiden Vladimir Putin mengumumkan bahwa militer Rusia telah secara remi meluncurkan “operasi militer spesial” di Ukraina.

Kini, invasi Rusia ke Ukraina telah memasuki peringatan satu tahun. Banyak dampak secara global yang ditimbulkan dari adanya perang ini. Di antaranya adalah memanasnya harga energi dan komoditas vital lainnya.

Dampak yang paling nyata dari adanya perang ini adalah meroketnya harga energi, terutama minyak dan gas alam.

Perang Rusia-Ukraina telah menyebabkan guncangan harga komoditas terbesar sejak krisis minyak tahun 1973.

Harga minyak sempat menembus lebih dari USD100 per barel dan sempat mencapai all-time high USD117,42 per barel pada Mei 2022. Untuk jenis minyak berjangka West Texas Intermediate (WTI). Setelah sebelumnya sempat tertekan diperdagangan sekitar USD21,9 per barel di masa pandemi Covid-19.

Menurut laporan Bank Dunia pada Mei 2022 lalu, harga energi naik mencapai 448%, sementara harga makanan dan pupuk masing-masing naik 84% dan 222% sepanjang Januari-Maret dari wacana perang pertama diluncurkan.

Kenaikan harga minyak ini menjadi titik balik yang berdampak pada meroketnya sejumlah komoditas lainnya sekaligus mengawali masa krisis energi yang terjadi di benua Biru, Eropa.

“Harga energi yang tinggi berkontribusi pada peningkatan biaya hampir semua barang dan jasa yang selanjutnya memicu ekspektasi inflasi," ujar Maciej Kolaczkowski, Manajer Industri Minyak dan Gas dari Energi Forum Ekonomi Dunia di awal Maret 2022.

Invasi Rusia ke Ukraina pada bulan Februari telah memperburuk ketegangan yang sudah ada sebelumnya dalam rantai pasokan global.

Harga komoditas energi dan non-energi telah meningkat masing-masing sebesar 81% dan 33%, antara tahun 2020 dan 2021, karena sulitnya pemulihan ekonomi global akibat Covid-19.

Sebelum perang, Bank Dunia memperkirakan tahun 2022 menjadi tahun stabilisasi, dengan harga energi naik hanya 2% dan harga komoditas non-energi turun 2%.

Namun, kondisi berbalik di mana komoditas utama naik lebih dari 50% sepanjang tahun lalu bersama dengan kenaikan 19% untuk komoditas lainnya.

Berdasarkan catatan Statista, harga gandum global meningkat lebih dari 60% selama periode dari 24 Februari hingga 1 Juni 2022 dibandingkan dengan rata-rata Januari 2022. Kenaikan signifikan ini karena Rusia dan Ukraina termasuk di antara pengekspor gandum terkemuka.

Selanjutnya, harga batu bara tumbuh sekitar 69% pada periode yang sama. Kenaikan signifikan juga tercatat pada harga logam yang diekspor Rusia, seperti nikel, paladium, dan aluminium. (Lihat grafik di bawah ini.)

Perang Masih Berlanjut, Harga-Harga Mulai Melandai

Menjelang akhir 2022 hingga awal 2023, beberapa komoditas ini berangsur mengalami penurunan harga. Misalnya, batu bara berjangka Newcastle, tolok ukur harga di pasar Asia telah turun menuju USD200 per ton, level terendah sejak Februari 2022. (Lihat tabel di bawah ini.)

Penurunan ini disebabkan adanya tanda-tanda permintaan yang lesu ditambah adanya kekhawatiran gangguan pasokan dari eksportir utama Australia.

Cuaca hangat, terutama di AS dan Eropa, dan harga gas alam yang lebih rendah mengurangi ketergantungan pada batu bara untuk pembangkit listrik.

Berdasarkan data Trading Economics, impor batubara Eropa pada Januari tahun ini juga cenderung menurun hampir 30% dari tahun sebelumnya dan 23% dari bulan Desember tahun lalu.

Pada saat yang sama, ketidakpastian tentang pembukaan kembali China juga mengaburkan prospek jangka pendek untuk komoditas tersebut.

Di sisi pasokan, pengiriman batu bara dari Australia, eksportir terbesar kedua dunia, terganggu oleh hujan lebat di negara bagian Queensland dan New South Wales, serta penutupan tambang batu bara utama dan jalur kereta api akibat insiden tabrakan.

Komoditas selanjutnya yakni harga gandum berjangka di AS juga turun menjadi sekitar USD739,85 per bushel/gantang (Bu) pada akhir Februari 2023. Hal ini karena pasokan yang melimpah dari produsen utama mengalahkan kekhawatiran geopolitik.

Menurut pidato Presiden Putin kepada Majelis Federal negara itu, Rusia sebagai pengekspor utama gandum diperkirakan akan menjual hingga 60 juta ton gandum di pasar luar negeri pada tahun ini.

Rusia memanen gandum dengan rekor tertinggi sebanyak 153,8 juta ton pada 2022, dan silo penyimpanan gandum akan dikosongkan menjelang panen baru.

Sementara itu, pemerintah India juga memiliki stok 5 juta ton gandum pada 2023 untuk memerangi inflasi pangan yang melonjak di negara tersebut.

Namun, karena risiko geopolitik dan ketidakpastian terkait ekspor biji-bijian masih menjadi potensi ancaman, Ukraina sebagai salah satu negara eksportis juga membatasi pengiriman biji-bijian sebesar 28,7% pada tahun ini karena kesulitan logistik yang disebabkan oleh invasi Rusia.

Sementara gas alam berjangka AS diperdagangkan di atas usd2,2/MMBtu. Ini karena investor terus memantau permintaan dan prakiraan cuaca, dengan proyeksi baru-baru ini menunjukkan suhu yang lebih dingin dari perkiraan.

Harga gas alam di Eropa atau indeks Dutch TTF juga melanjutkan tren penurunannya diperdagangkan sekitar €50 per megawatt jam (MWh), mendekati level Agustus 2021.

Pada Agustus tahun lalu, harga gas alam Eropa sempat meroket 85% di level hampir €350 karena kebijakan penghentian pasokan gas dari Rusia dan menyebabkan benua Biru masuk ke jurang krisis energi hebat.

Adapun di pasar minyak, Brent turun sebesar 2,73 USD/BBL atau 3,19% sejak awal tahun 2023 dan WTI diperdagangkan di level USD75,96 per barel.

Melandainya harga-harga ini seolah menjadi sinyal bahwa perang Rusia-Ukraina tidak akan sepenuhnya menjadi katalisator harga-harga di tahun ini. Ada banyak faktor lain yang akan dipertimbangkan pasar dalam mengontrol harga komoditas. Meski demikian, perang masih diproyeksi akan menjadi salah satu hambatan bagi pemulihan ekonomi global. (ADF)

SHARE