Siapa Dalang Dibalik Kerugian Ekonomi Akibat Polusi Udara?
Butuh biaya hingga Rp 5,1 triliun per tahun untuk menyelesaikan masalah yang ditimbulkan polusi, terutama dari masalah kesehatan.
IDXChannel - Polusi udara tak hanya menjadi momok di semua sektor, mulai dari lingkungan, kesehatan hingga ekonomi. Namun, bisa juga menyebabkan kerugian ekonomi jika tidak ditangani dengan serius.
Penelitian Greenpeace Asia Tenggara dan Pusat Penelitian Energi dan Udara Bersih (CREA) menunjukkan, polusi udara yang terkait dengan bahan bakar fosil menyebabkan kerugian hingga USD 2,9 triliun atau sekitar Rp 43 ribu triliun di seluruh dunia.
Data Greenpeace juga menunjukkan, polusi di daratan Cina mencapai USD900 miliar per tahune. Sedangkan Amerika Serikat USD600 miliar dan India USD150 miliar.
Untuk Indonesia sendiri, menurut Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia pada tahun 2020 Bondan Andriyanu, kerugiannya mencapai USD11 miliar atau Rp 150 triliun per tahun. "Angkanya lebih tinggi dari Vietnam yang mencapai USD 6,8 miliar per tahun dan Malaysia yang hanya USD 4,5 miliar per tahun," ungkapnya.
Lantas, siapa sebenarnya penyebab kerugian ini? Bagaimana cara mengatasinya?
Masih mengutip dari laporan Greenpeace, kali ini bertajuk Pembunuhan Senyap di Jakarta: Bagaimana Tingkat Polusi Udara Berbahaya di Kota Jakarta Akan Semakin Memburuk, yang rilis Oktober 2017. Polusi udara disebutkan berasal dari banyak sektor, namun yang memiliki kontribusi terbesar adalah sektor transportasi, pemukiman dan PLTU.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) tahun 2019 menyebutkan, 30% polusi di Jakarta disumbang oleh PLTU yang letaknya berada di Jawa Barat dan Banten. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan juga pernah mengatakan fakta yang serupa.
Penelitian Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) tahun 2021 juga mengatakan, butuh biaya hingga Rp 5,1 triliun per tahun untuk menyelesaikan masalah yang ditimbulkan polusi, terutama dari masalah kesehatan. PLTU batu bara dinilai menjadi sumber emisi tak bergerak yang menyumbang polusi terbesar.
Untuk itu, Greenpeace menyarankan, pemerintah harus menghentikan pembangunan pembangkit listrik berbahan bakar batu bara dan menutup PLTU yang sudah ada, berinvestasi dalam sistem transportasi umum, dan transisi ke energi terbarukan secepat mungkin.
Pada tahap awal, pemerintah sendiri akan menerapkan pajak karbon untuk tiap emisi berlebih yang dihasilkan PLTU. Tarifnya sekitar Rp 30 per kg karbon dioksida ekuivalen (CO2e) dan akan diberlakukan 1 Juli mendatang.
(SAN)