Sritex (SRIL) Pailit, Ekonom Sebut Daya Saing Industri Tekstil Nasional Lemah
PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex (SRIL) dinyatakan pailit oleh Pengadilan Negeri (PN) Niaga Kota Semarang.
IDXChannel - PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex (SRIL) dinyatakan pailit oleh Pengadilan Negeri (PN) Niaga Kota Semarang. Putusan pailit tersebut membuat kondisi perusahaan yang telah berusia hampir 60 tahun itu di ujung tanduk.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Eisha M Rachbini menilai kebangkrutan Sritex ini disebabkan oleh penurunan daya saing industri dalam negeri ditambah membanjirnya produk tekstil asal China ke Indonesia.
"Industri tekstil mengalami sunset industry. Salah satu penyebabnya karena lemah dan menurunnya daya saing," kata Eisha saat dihubungi IDX Channel, Sabtu (26/10/2024).
Menurutnya, penurunan daya saing ini oleh beberapa faktor seperti masalah upah pekerja yang tinggi, hingga penerapan teknologi industri di Indonesia yang ketinggalan zaman, sehingga pekerjaan menjadi kurang efisien dan akhirnya memiliki biaya produksi yang mahal.
Situasi tersebut, kata Eisha, membuat daya saing Indonesia kalah dengan negara tetangga seperti Vietnam yang juga fokus pada industri tekstil. Penggunaan teknologi di industri di Vietnam atau China, membuat ongkos produksi produk tekstil menjadi lebih murah ketimbang di Indonesia.
"Di pasar global, produk tekstil Indonesia juga kalah bersaing dengan kompetitor seperti Vietnam, China yang memiliki daya saing tinggi, dari murahnya labor (upah pekerja) yang digunakan, juga teknologi yang digunakan," ujar Eisha.
Dia menambahkan, International Textile Manufacturing Federation (ITMF) telah melakukan penelitian tentang biaya produksi di sektor industri tekstil dan produk teksil (TPT) di beberapa negara produsen dan eksportir TPT pada tahun 2021. Hasilnya, India mengungguli hampir semua negara dengan biaya produksi terendah dari sisi bahan baku dan upah. Vietnam unggul sebagai negara dengan biaya terendah untuk komponen biaya energi dan bunga modal. Pakistan dan Bangladesh unggul dalam hal biaya upah yang rendah.
"Sementara industri tekstil dalam negeri menghadapi biaya tinggi, tergantung bahan baku impor, juga kurangnya penggunaan modal dengan teknologi tinggi," ujar Eisha.
(Rahmat Fiansyah)