ECONOMICS

Strategi Sri Mulyani Cari Pendanaan Rp4.000 Triliun untuk Biayai Transisi Energi

Atikah Umiyani 06/09/2024 20:13 WIB

Oleh karena itu, diakui Menkeu, pemerintah terus berupaya menggunakan berbagai instrumen fiskal.

Strategi Sri Mulyani Cari Pendanaan Rp4.000 Triliun untuk Biayai Transisi Energi. (Foto MNC Media)

IDXChannel - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati memperkirakan Indonesia membutuhkan anggaran USD281 miliar atau sekitar Rp4.000 triliun untuk membiayai transisi energi.

"Jumlah ini (biaya transisi energi) sekitar 1,1 kali total anggaran Indonesia, ini besar sekali," ujar Sri Mulyani dalam acara International Sustainibility Forum (ISF) 2024 di Jakarta, Jumat (6/9/2024).

Oleh karena itu, diakui Menkeu, pemerintah terus berupaya menggunakan berbagai instrumen fiskal seperti insentif pajak dan pengecualian bea masuk guna mendorong peran sektor swasta dalam mendukung transisi energi tersebut.

"Jadi, tentu saja, anggaran tidak bisa menjadi satu-satunya sumber (pembiayaan), meskipun kami terus berupaya tidak hanya dalam hal alokasi anggaran, tetapi juga menggunakan instrumen fiskal kami, seperti tax allowance, tax holiday, import duty exemption," ujar Sri Mulyani.

Tak hanya itu, lanjut Menkeu, pemerintah juga menciptakan berbagai instrumen keuangan, seperti penerbitan sukuk hijau serta obligasi biru untuk mendanai proyek-proyek pemerintah yang bertujuan menurunkan emisi karbon. Sejak 2018 hingga 2023, Indonesia mencatat telah menerbitkan sukuk senilai USD7,07 miliar.

Lebih lanjut, dia menegaskan, pemerintah terus mengoptimalkan instrumen keuangan hijau melalui penerbitan sukuk hijau serta obligasi biru untuk mendanai proyek-proyek pemerintah yang ramah lingkungan. Indonesia telah menerbitkan sukuk senilai USD7,07 miliar dalam kurun waktu 2018 hingga 2023.

Kemudian pemerintah juga terus mengoptimalkan pendanaan kreatif untuk mempercepat transisi energi hijau, seperti menerbitkan kebijakan pajak karbon sebagai bentuk tanggung jawab perusahaan atas emisi yang ditimbulkan dari kegiatan bisnisnya.

"Kami juga sedang menyiapkan regulasi teknis untuk melaksanakan perdagangan karbon lintas batas. Karena seperti yang saya katakan, karbon itu dikeluarkan dan mereka tidak memiliki 'identitas'. Jadi kita perlu memastikan apa yang dapat dianggap sebagai kontribusi dari Indonesia, Singapura, Malaysia dan siapa yang harus membayar, dan berapa," katanya.

(Dhera Arizona)

SHARE