Subsidi Pertamax Bikin Neraca Keuangan Pertamina Terbebani, Kenapa?
Langkah pemerintah untuk memberikan subsidi harga Pertamax tidak memberi dampak positif terhadap kinerja neraca keuangan PT Pertamina (Persero).
IDXChannel - Langkah pemerintah untuk memberikan subsidi harga Pertamax tidak memberi dampak positif terhadap kinerja neraca keuangan PT Pertamina (Persero). Bahkan, kebijakan ini justru menjadi beban bagi BUMN bidang energi tersebut.
Ekonom, Gunawan Benjamin, mengatakan pengetatan konsumsi Pertalite akan membuat sebagian besar konsumen Pertalite beralih ke Pertamax. Kalau itu yang terjadi maka pada dasarnya beban Pertamina untuk memberikan subsidi kian membengkak sebab Pertamax ini bukan BBM Penugasan seperti halnya Pertalite atau Solar.
"Karena penjualan BBM atau Solar ini meskipun di awal Pertamina yang menanggung beban subsidinya. Namun pemerintah yang akan membayar beban subsidi tersebut nantinya ke Pertamina. Nah terkait potensi bengkaknya beban subsidi yang harus ditanggung Pertamina. Maka pada dasarnya kita bisa menghitungnya dengan cara sederhana, yakni dengan membandingkan BBM sejenis yang dijual oleh kompetitor Pertamina," kata Gunawan, Senin (11/7/2022).
Pertamax saat ini dijual di kisaran Rp12.700-an per Liter. Sementara harga minyak mentah dunia di kisaran USD103 per barel. Artinya harga minyak mentah saja berada di kisaran Rp9.700-an per liter dengan kurs 14.975 per USD. Belum memperhitungkan biaya produksi atau transportasi, pajak, bea cukai dan banyak komponen lainnya.
"Jadi acuan penjualan BBM dari SPBU yang bukan milik Pertamina itu yang paling gampang kita hitung. Karena menurut hemat saya perusahaan asing tersebut menjual BBM dengan berorientasi penuh pada keuntungan," jelas Gunawan.
Sebagai perbandingan di wilayah Sumatera Utara, BBM yang kelasnya sama dengan Pertamax di SPBU Swasta itu mencapai Rp17.500 per liter, ada selisih Rp4.900 per liternya.
Konsumsi Pertamax dari data yang pernah didapatnya, kata Gunawan, yakni sebesar 50 ribu kilo liter per bulan di Sumut. Atau 50 juta liter per bulannya.
Jika meletakkan dasar yang sama yakni Pertamina harusnya menjual Pertamax di harga yang sama, maka potensi beban keuangan yang ditanggung Pertamina itu sekitar 245 Milyar perbulan karena menanggung rugi penjualan Pertamax.
"Belum lagi menghitung potensi peralihan konsumsi dari Pertalite ke Pertamax, yang menurut perkiraan saya bisa mendongkrak konsumsi pertamax naik 10% hingga 15%. Maka beban Pertamina di Sumut saat menjual Pertamax itu bisa mencapai 250 miliar per bulan," ungkapnya.
Yang menjadi persoalan selanjutnya, kata Gunawan, adalah penentuan harga Pertamax juga diatur oleh pemerintah. Dan memang harusnya pemerintah yang bertanggungjawab untuk menanggung beban tersebut.
"Jadi disini pemerintah pada dasarnya masih belum serius untuk menekan kebocoran dengan aksi 'bakar duit' lewat skema harga BBM," pungkasnya.
Memang harga minyak dunia, kata Gunawan, berfluktuasi. Nilai tukar Rupiah juga. Konsumsi BBM trennya selalu naik dalam kondisi normal, penentuan harga minyak juga tidak 100% sama dengan harga minyak dunia jenis WTI/Brent.
"Tetapi dari semuanya itu memperlihatkan bahwa dalam situasi seperti sekarang ini, pemerintah tersandera antara menyelamatkan ekonomi dengan kepentingan politik," tandasnya.
Sebelumnya PT Pertamina Patra Niaga melalui Section Head Communication and Relation Sumbagut, Agustiawan, menyebut Pertamina tidak ikut menyesuaikan harga Pertamax seperti halnya yang mereka lakukan terhadap BBM Non subsidi lainnya, yakni Pertamax Turbo dan Pertamina Dex.
Agus menyebut jika selisih harga jual Pertamax yang berada di bawah keekonomiannya akan ditanggung oleh Pertamina. (TYO)