ECONOMICS

Terkait Korupsi Migor, Penetapan HET Dianggap Tak Sesuai Harga Minyak Dunia

Winda Destiana 30/09/2022 10:01 WIB

Peraturan Kementerian Perdagangan (Kemendag) soal Harga Eceran Tertinggi (HET) diklaim sebagai penyebab kelangkaan minyak goreng di dalam negeri.

Peraturan Kementerian Perdagangan (Kemendag) soal Harga Eceran Tertinggi (HET) diklaim sebagai penyebab kelangkaan minyak goreng di dalam negeri.

IDXChannel - Tim Penasihat Hukum General Manager Musim Mas Group, Togar Sitanggang, Denny Kailimang mengklaim kliennya Togar Sitanggang menjadi korban dari peraturan Kementerian Perdagangan (Kemendag) yang diduga berubah - ubah. Peraturan yang berubah - ubah dari Kemendag itu membuat Togar menjadi terdakwa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta terkait perkara dugaan korupsi minyak goreng (migor).

"Kami korban dari peraturan," ujar Denny Kailimang usai sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis, 29 September 2022.

Denny memaparkan, Peraturan Kementerian Perdagangan (Kemendag) soal Harga Eceran Tertinggi (HET) diklaim sebagai penyebab kelangkaan minyak goreng di dalam negeri. Menurutnya, penetapan HET minyak goreng Rp14.000/liter, tidak mengikuti harga minyak sawit mentah internasional (Crude Palm Oil/CPO) yang sudah naik. 

"Dengan patokan harga itu produsen tidak mau menjual produknya," jelasnya.

Denny melanjutkan, hal itu membuat pasokan minyak goreng di pasaran menurun hingga menimbulkan kelangkaan. Sementara barang yang sudah diproduksi produsen, tidak berani dijual di atas harga pasar. 

"Mereka takut jual. Takut ditangkap polisi, karena HET-nya sudah ada," ujarnya.

Berawal dari sini, Kemendag mulai membuat serangkaian kebijakan. Hingga akhirnya produsen minyak goreng diwajibkan mengalokasikan 20 persen produksinya untuk kebutuhan dalam negeri, lewat kebijakan domestic market obligation (DMO). Namun Denny menegaskan, dalam peraturannya, tidak dituliskan mengenai kewajiban produsen untuk memastikan barangnya sampai ke pelosok daerah dengan harga yang sudah ditentukan sebelumnya.

"Dengan adanya 20 persen dengan HET yang ditentutkan itu, tidak disebutkan sampai ke pengecer. Hanya sampai D1," katanya.

Sementara dalam kesaksian Oke Nurwan, selaku mantan Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag), dijelaskan bahwa pada tahap D1 atau distribusi dan pengiriman, para distributor membutuhkan biaya lebih untuk memasarkan minyak goreng yang di drop produsen sampai ke pelosok daerah.

"Makanya harganya naik kan. Inilah masalahnya. Maka di Maret (2022) keluar peraturan harga bebas ikutin harga pasar. Cuma minyak curah aja yang Rp 14 ribu," paparnya.

Dengan adanya peraturan itu, Denny menjelaskan bahwa peredaran minyak goreng di dalam negeri kembali terpenuhi. Sehingga dia menyalahkan kebijakan-kebijakan Kemendag yang cepat berubah. "Kami korban dari peraturan," tandasnya.

Sementara itu Refman Basri, kuasa hukum koorporasi Musim Mas mempertanyakan puluhan perusahaan ekspor minyak goreng yang belum juga diajukan ke persidangan. Karena hingga saat ini hanya 3 perusahaan yang menjadi terdakwa dalam kasus dugaan korupsi minyak goreng.

"Saya masih tanya perusahaan lain kok didiemin saja. Kenapa cuma 3 perusahaan yang jadi tersangka. Kemana perusahaan lainnya. Ini ada apa? Apa ini ada?," tanyanya.

Dalam perkara ini, Jaksa mendakwa lima orang terkait dugaan korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) yang merugikan keuangan negara Rp 6,04 triliun dan merugikan perekonomian negara Rp 12,3 triliun

Kelima terdakwa itu adalah Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia Master Parulian Tumanggor, Senior Manager Corporate Affair PT Victorindo Alam Lestari Stanley MA, General Manager (GM) Bagian General Affair PT Musim Mas, Togar Sitanggang.

Kemudian, penasihat Kebijakan/Analis pada Independent Research & Advisory Indonesia (IRAI), dan Tim Asistensi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia Weibinanto Halimdjati alias Lin Che Wei. Serta, bekas Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag), Indrasari Wisnu Wardhana.

(NDA) 

SHARE