The Fed Punya PR Lagi, Inflasi AS Turun saat Perbankan Gonjang-ganjing
Inflasi utama Amerika Serikat (AS) dilaporkan melambat menjadi 6% pada Februari 2023 berdasarkan data terbaru, Rabu (15/3).
IDXChannel - Inflasi utama Amerika Serikat (AS) dilaporkan melambat menjadi 6% pada Februari 2023 berdasarkan data terbaru, Rabu (15/3). Namun, inflasi ini disertai peningkatan inflasi inti dengan kecepatan yang mengkhawatirkan karena harga sewa rumah terus meningkat tajam.
Biro Statistik Tenaga Kerja mengatakan indeks harga konsumen (CPI) naik 0,4% pada Februari, melambat dibanding Januari dari 0,5%. Tingkat inflasi tahunan turun menjadi 6,0% dari sebelumnya 6,4% dan telah turun sebanyak sepertiga dari puncaknya pada Juni tahun lalu sebesar 9,1%. (Lihat grafik di bawah ini.)
Meski demikian, angka ini tetap tiga kali lipat dari tingkat yang ditargetkan bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) sebesar 2% dan memberi bank sentral sedikit kelonggaran dalam pertempurannya untuk menjinakkan inflasi.
Namun, terjadi penurunan harga energi, dan deflasi yang terjadi di pasar mobil bekas, di mana harga turun lagi sebesar 2,8% karena gangguan rantai pasokan pandemi semakin memudar.
Adapun inflasi inti naik sebesar 0,5%, dibanding 0,4% pada bulan sebelumnya. Konsekuensinya, inflasi inti tahunan turun melambat menjadi 5,5% di bulan Februari dari 5,6% di bulan sebelumnya.
“Indeks harga inti hanya bergerak menyamping, bukannya turun seperti yang diinginkan The Fed,” kata Mike Konczal, direktur penelitian makroekonomi di Roosevelt Institute, dikutip Investing, Selasa (14/3).
Menakar Langkah Bank Sentral
Merespons data terbaru ini, pasar keuangan tetap bereaksi positif. Pada penutupan perdagangan Selasa (14/3), indeks S&P 500 terpantau naik 1,66%, sementara Dow Jones Industrial Average (DJIA) naik 324,17 poin, atau 1,02%. Indeks Nasdaq Composite juga naik 2,15% sebesar 240,21 poin.
Bagi The Fed, indeks harga konsumen (CPI) bulanan telah menjadi titik data utama dalam keputusannya untuk menaikkan suku bunga selama setahun terakhir. Sejak Maret tahun lalu, suku bunga naik dari nol menjadi 4,5% hingga 4,75%, level tertinggi sejak 2007.
Namun, selama seminggu terakhir, perhitungan The Fed telah berubah secara dramatis. Jatuhnya Silicon Valley Bank (SVB) senilai USD200 miliar, dan gejolak yang berkelanjutan setelahnya, telah menciptakan rintangan yang berat bagi perjuangan Jerome Powell untuk perang melawan inflasi melalui upaya menaikkan suku bunga.
Pekan lalu, Powell mengatakan kepada Kongres bahwa AS masih memiliki "jalan panjang" dalam mengurangi inflasi. Pernyataan Powell ini menyiratkan bahwa The Fed tidak hanya akan terus menaikkan suku bunga dalam beberapa bulan mendatang, tetapi juga akan melakukannya secara agresif.
Powell mengatakan dia tidak senang dengan penurunan kecil inflasi di bulan Januari yang juga ditambah dengan kuatnya pasar tenaga kerja dan belanja konsumen.
Hanya berselang sehari kemudian, SVB mengumumkan bahwa mereka perlu meningkatkan modal setelah menjual efek dengan rugi. Pernyataan ini membuat banyak nasabah mulai menarik simpanan dengan cepat. Regulator keuangan menutup bank dan mengambil alih simpanannya pada Juma lalu (10/3).
Melihat gonjang-ganjing yang dialami sistem perbankan AS dan data terbaru inflasi ini, investor tampaknya mulai meragukan kenaikan suku bunga 50 basis poin pada pertemuan kebijakan The Fed minggu depan di tengah gejolak perbankan AS akibat runtuhnya SVB dan Signature Bank.
Analis Goldman Sachs mengatakan pada akhir pekan lalu bahwa mereka memperkirakan The Fed akan menahan kenaikan suku bunga pada pertemuan mendatang agar tidak memperparah kekhawatiran tentang stabilitas industri keuangan negeri Paman Sam. (ADF)