ECONOMICS

UEA Minta Bea Masuk Plastik Dihapus, Industri Petrokimia Terancam Hancur

Heri Purnomo 20/06/2022 17:35 WIB

Uni Emirat Arab (UEA) meminta pemerintah menurunkan bea masuk plastik hingga nol persen. Kebijakan tersebut bisa berdampak buruk bagi industri petrokimia.

UEA Minta Bea Masuk Plastik Dihapus, Industri Petrokimia Terancam Hancur. (Foto: MNC Media)

IDXChannel – Uni Emirat Arab (UEA) meminta pemerintah menurunkan bea masuk plastik hingga nol persen. Kebijakan tersebut pun bisa berdampak buruk bagi industri petrokimia Indonesia.

Dosen Institute Teknologi Bandung (ITB) Akhmad Zainal Abidin mengatakan rencana penurunan bea masuk hingga 0 persen bisa merusak industri petrokimia dalam negeri. Akhmad menilai rencana tersebut akan menyebabkan Indonesia kebanjiran bahan baku plastik dari UEA. 

"Sebaiknya pemerintah berhati hati karena dengan rencana opsi bea masuk 0 persen untuk bahan baku plastik dapat menghancurkan industri petrokimia dalam negeri dan akan berakibat buruk juga buat ekonomi," ujarnya dalam keterangan tertulis dikutip Senin, (20/6/2022). 

Akhmad mengatakan liberalisasi lewat perjanjian perdagangan bebas atau Free Trade Agreement (FTA IUAE) Indonesia-Uni Arab Emirate, sebaiknya pemerintah berhati-hati.

“Kalau banjir produk petrokimia dari UAE ya, bisa dipastikan industri petrokimia dalam negeri luluh lantah, dan ini bisa berakibat PHK besar di industri tersebut. Jangan sampai FTA ini malah merugikan industri lokal. Sebaiknya pemerintah memikirkan efek buruk dari FTA tersebut,” ujar  Akhmad Zainal Abidin.

Menurutnya, lemahnya daya saing Indonesia dalam menghadapi perjanjian perdagangan bebas IUEA, bakal memperbesar risiko menuju deindustrialisasi. 

Hal ini diperparah dengan tidak adanya desain industri yang komprehensif dan upaya maksimal untuk menekan produksi.

"Daya saing negara kita masih rendah, sementara biaya produksi belum bisa diturunkan. Negara kita juga dihadapkan sejumlah paradoks yang bisa menghambat pertumbuhan dari negara berpendapatan menengah menjadi negara yang lebih maju," jelasnya.

Akmad Zainal Abidin mengatakan, sebagai negara kaya, industri di tanah air masih tidak efisien. Jumlah penduduk yang besar, tidak diimbangi produktivitas yang masih rendah. Likuiditas berlebih di pasar keuangan juga tidak disertai dengan intermediasi yang cukup. 

"Paradoks lainnya adalah ukuran ekonomi yang besar tapi kompetisi rendah," pungkasnya. (FRI)

SHARE