Utak-Atik Subsidi Energi dari Pertalite-Solar ke BBM Rendah Sulfur
Subsidi BBM dalam penerapannya di lapangan kerap diminum kendaraan-kendaraan yang sebenarnya dimiliki kalangan mampu.
IDXChannel - Masalah subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang tidak tepat sasaran kerap menjadi alasan sering jebolnya anggaran negara. Pasalnya, subsidi BBM ini dalam penerapannya di lapangan kerap ‘diminum’ kendaraan-kendaraan yang sebenarnya dimiliki kalangan mampu.
Inilah yang membuat Pemerintah kini gencar mengampanyekan pentingnya subsidi untuk golongan yang berhak termasuk transportasi umum. Harapannya, penikmat subsidi BBM adalah bukan kalangan mampu dan berduit.
Sejauh ini, berdasarkan data yang dirilis Kementerian Koordinator bidang Maritim dan Investasi (Kemenko Marves), BBM jenis solar bersubsidi 95 persen volumenya dikonsumsi oleh kalangan mampu. Demikian juga untuk BBM jenis pertalite, 80 persen volumenya dikonsumsi kalangan di luar kelompok pra sejahtera.
Artinya, berapa pun subsidi yang dikucurkan oleh pemerintah, dampaknya hanya sebagian kecil yang dirasakan kelompok yang membutuhkan.
Padahal, anggaran subsidi BBM tidaklah kecil. Selama periode 2019-2023, subsidi dan kompensasi bensin dan solar yang digelontorkan pemerintah rata-rata mencapai Rp119 triliun per tahun.
Parahnya lagi, produk yang disubsidi tersebut adalah jenis BBM dengan kandungan sulfurnya tinggi seperti solar dan bensin jenis pertalite. Kedua jenis BBM itu banyak digunakan oleh masyarakat untuk transportasi sehari-hari sehingga menyumbang polusi udara.
Masih berdasarkan data Kemenko Marves, di DKI Jakarta penyumbang polusi udara terbesar adalah gas buang kendaraan bermotor dengan porsi 32-41 persen pada musim hujan dan 42-57 persen pada musim kemarau.
Penyumbang polusi lainnya adalah pembakaran batu bara dari pembangkit listrik dan industry sebesar 14 persen, konstruksi 13 persen, pembakaran sampah 11 persen, aerosol sekunder 6-7 persen, dan debu jalan beraspal 6-9 persen.
Menilik besarnya anggaran subsidi tersebut, serta melihat banyaknya anggaran yang dinikmati golongan yang tidak berhak, pemerintah bersiap membuat subsidi lebih tepat sasaran sekaligus menjadikan udara lebih bersih. Caranya, yakni membuat produk BBM rendah sulfur yang nantinya akan diberi subsidi layaknya solar dan pertalite.
Sekadar catatan, saat ini produk BBM jenis pertalite yang memiliki RON 90 dengan kandungan sulfur maksimal 500 ppm (part per million). Sebagai perbandingan, BBM yang kandungan sulfurnya rendah adalah Pertamax Turbo berstandar Euro 4 dengan sulfur maksimal 50 ppm.
Selain itu, ada Pertamax Green 95 dengan RON 95 yang sulfurnya maksimum 50 ppm. Adapun BBM jenis solar yang sesuai standar Euro 4 adalah jenis Pertamina Solar 51 (Pertamina Dex) dengan kadar sulfur 50 ppm. Kadar sulfur tersebut jauh lebih rendah dibanding produk solar bersubsidi yang kandungan sulfurnya mencapai 2.500 ppm.
"Kami akan menyediakan BBM rendah sulfur tanpa menaikkan harga BBM. Sehingga masyarakat mendapatkan akses BBM yang lebih berkualitas dan lebih bersih," kata Deputi Bidang Koordinasi Transportasi dan Infrastruktur Kemenko Marves Rachmat Kaimuddin saat media briefing di Kantor Kemenko Marves, Jakarta, Kamis (12/9/2024).
Rencana ini, kata Rachmat, bukan wacana semata. Pemerintah saat ini sedang menggodok aturan perihal BBM rendah sulfur yang akan diproduksi Pertamina untuk menggantikan pertalite. Dia memastikan, kendati BBM rendah sulfur tersebut kemungkinan lebih mahal karena perlu investasi tambahan di kilang, namun dipastikan tidak ada kenaikan harga karena akan mendapatkan subsidi.
"Akan ada BBM low sulfur yang disubsidi. BBM yang kotor akan dihilangkan. Pertalite hilang yang akan diterapkan secara bertahap di daerah-daerah. Saya tidak tahu namanya apa (BBM baru low sulfur), tapi bensin yang kotor ini akan kita hilangkan, untuk harganya akan sama," katanya.
Tak hanya subsidi yang akan diberikan ke produk BBM rendah sulfur, Pemerintah juga menyiapkan skema fiskal khusus bagi Pertamina yang memproduksi BBM bersih.
Nantinya, kata Rachmat, akan ada kompensasi berdasarkan market value dan perhitungan konstanta seperti yang berlaku pada produk BBM pertalite dan solar.
“Nanti akan ada payung hukumnya baik untuk badan usaha (Pertamina) maupun untuk penerapan BBM rendah sulfurnya. Kita akan support Pertamina agar bisa menghasilkan produk BBM lebih bersih,” katanya.
Jika tidak aral melintang, kata Rachmat, penyediaan BBM rendah sulfur tersebut akan dimulai dari Jakarta dan bertahap di daerah, sebelum nantinya diterapkan secara nasional pada 2028.
(Nur Ichsan Yuniarto)