WEF 2023, Sudah Saatnya Serukan Pelonggaran Kebijakan Moneter?
Pembuat kebijakan global tengah menghadapi dilema antara melanjutkan pengetatan moneter atau melonggarkannya
IDXChannel - World Economic Forum (WEF) menyebutkan, para pembuat kebijakan global, terutama bank sentral, tengah menghadapi dilema antara melanjutkan pengetatan moneter atau melonggarkannya.
Menurut laporan terbaru Chief Economists Outlook edisi Januari 2023 WEF, jika pengetatan moneter terlalu banyak, dalam hal ini peningkatan suku bunga acuan, dapat menyebabkan resesi yang dalam dan berkepanjangan.
Kondisi ini ditakutkan menyebabkan kerugian yang tidak perlu bagi rumah tangga dan bisnis.
Namun, pelonggaran kenaikan suku bunga bisa menjadi lebih buruk, menyebabkan berlanjutnya biaya hidup dan biaya input yang tinggi. Bahkan, pelonggaran kebijakan moneter ini juga berpotensi pengetatan moneter yang lebih tajam di kemudian hari untuk memulihkan stabilitas harga.
IMF menunjuk pada contoh yang dilakukan bank sentral Amerika Serikat (AS), The Federal Reserve (The Fed) pada akhir 1970-an. Di bawah kepemimpinan Paul Volcker, akhir tahun 70-an The Fed menyerukan kebijakan pelonggaran kenaikan suku bunga setelah fase hawkish yang signifikan.
Sebelumnya, inflasi tinggi selama empat dekade memaksa The Fed, Bank of England (BoE), dan Bank Sentral Eropa (ECB) untuk menaikkan suku bunga secara agresif. Kondisi keuangan yang lebih ketat yang dihasilkan menekan pasar saham dan meningkatkan imbal hasil obligasi.
Tantangan di 2023
Menurut laporan WEF, sementara ini ada tanda-tanda bahwa pengetatan moneter memiliki efek yang diinginkan.
AS telah mencatat penurunan inflasi selama lima bulan berturut-turut, sementara ekspektasi inflasi zona euro tampak relatif baik dalam jangka waktu tiga tahun. Dalam hal ini, kehati-hatian diperlukan pembuat kebijakan dalam menentukan kapan kebijakan moneter dapat dilonggarkan kembali.
Namun, pembuat kebijakan fiskal juga menghadapi tantangan yang signifikan, paling tidak karena ruang fiskal yang sangat berkurang setelah pengeluaran pemerintah yang luar biasa selama pandemi Covid-19.
Banyak pemerintah telah melihat biaya pinjaman mereka meningkat secara signifikan dalam menghadapi pengetatan moneter global dan akibat pandemi Covid-19. Banyak pemerintah di berbagai negara juga mengalami dilema antara kebutuhan investasi dan kendala pada pendapatan fiskal.
Bahkan ketika anggaran belanja negara masih dapat dikatakan ‘sehat’, pemerintah perlu mengatasi berbagai tantangan sosial dan iklim yang saat ini menjadi fenomena global melalui investasi jangka menengah hingga jangka panjang.
Di antaranya seperti kebutuhan investasi di bidang kesehatan, pendidikan, perawatan, infrastruktur, dan energi. Ini perlu dilakukan untuk meningkatkan ketahanan tanpa memicu lingkaran setan yang lebih mengkhawatirkan di masa depan seperti bencana alam dan krisis energi.
Ada juga tekanan politik, dengan risiko pengetatan fiskal dan moneter dapat memicu reaksi elektoral di banyak negara.
Meski sejumlah tantangan tengah dihadapi para pengambil kebijakan, tahun ini tampaknya menjadi tahun di mana para bank sentral akan lebih kalem dalam kebijakan moneternya.
Menurut survei WEF, China akan terlihat melonggarkan kebijakan moneternya di tahun ini. Sementara zona Eropa dan AS masih akan tetap melakukan pengetatan. (Lihat peta di bawah ini.)
Kontras, berdasarkan analisis Morningstar pada akhir 2022 lalu, The Fed diperkirakan akan melakukan pivot untuk melonggarkan kebijakan moneter pada tahun ini karena inflasi mulai turun dan kebutuhan untuk menopang pertumbuhan ekonomi menjadi yang terpenting.
Mengingat lonjakan harga yang disebabkan oleh kendala pasokan, inflasi diperkirakan akan berayun menuju deflasi pada tahun 2023, yang berarti membatasi inflasi akan jauh lebih mudah.
“Kami memperkirakan Fed akan melakukan pelonggaran kebijakan moneter pada pertengahan 2023 karena inflasi turun kembali ke target 2% dan kebutuhan untuk menopang pertumbuhan ekonomi menjadi perhatian utama,” ujar laporan Morningstar pada akhir 2022 lalu.
Sementara di Asia, mengutip SCMP, analis Lian Ping dari Zhixin Investment Research Institute juga menilai kebijakan moneter China dapat semakin longgar pada tahun ini setelah bank sentral negeri Panda tersebut memangkas rasio cadangan uangnya.
Sebelumnya, Bank sentral China di akhir November 2022 lalu memangkas jumlah uang tunai yang harus disimpan bank sebagai cadangan untuk kedua kalinya tahun ini guna menopang pertumbuhan.
Ini terjadi karena langkah-langkah kebijakan Covid-19 yang terbatas dan kemerosotan pasar properti terus meredam sentimen konsumen dan membebani ekonomi nomor dua dunia itu.
Bank Rakyat China mengatakan pemotongan 0,25 poin persentase dalam reserve requirement ratio (RRR) menjadi 7,8% berlaku 5 Desember tahun lalu dan menyuntikkan sekitar 500 miliar yuan atau setara USD70 miliar untuk likuiditas jangka panjang. (ADF)