World Economic Forum: Bisakah Hindari Resesi pada 2023?
Dalam World Economic Forum (WEF) 2023, masalah resesi menjadi salah satu topik utama yang dibahas oleh para ekonom.
IDXChannel – World Economic Forum (WEF) kembali digelar sejak Senin (16/1/2023) di Davos, Swiss. Dalam pertemuan yang digelar pekan ini, masalah resesi menjadi salah satu topik utama.
Dalam forum bertajuk ‘Staying Ahead of a Recession’ sejumlah tokoh ekonomi dan keuangan global berkumpul membahas mengenai resesi pada tahun ini. Pertanyaan terbesar, mampukah negara-negara menghindari resesi pada tahun ini?
Chairman of the Board of Directors Credit Suisse, Axel Lehmann, mengatakan ada banyak alasan untuk khawatir terhadap resesi pada tahun ini. Terutama di Eropa ketika terjadi krisis energi dan inflasi yang tinggi.
Meski begitu, dunia telah berubah dan resesi tidak bisa dipandang secara global tetapi perlu dilihat menjadi dua bagian, yaitu Timur dan Barat. Dia berharap negara-negara di Barat bisa terhindar dari resesi meskipun cukup menantang terutama bagi Eropa.
“Saya percaya kita membicarakannya, Eropa lebih menantang, khususnya terhadap masalah energi. Tapi saya melihat secara terpisah ke China, di mana terjadi pembukaan kembali (perbatasan,” kata Lehman pada Selasa (17/1/2023).
Menurut dia, pembukaan kembali perbatasan China bakal mendorong ekonomi di Asia. Itu karena adanya populasi yang cukup besar di negara tersebut.
Meski populasi di China mulai menua, namun di negara lain seperti India, populasi bertumbuh cukup signifikan. Hal tersebut memberi banyak harapan adanya kemungkinan untuk terhindar dari resesi.
Chairman of Hong Kong Exchanges and Clearing Ltd dan anggota Executive Council Pemerintah Hong Kong, Laura M. Cha, setuju dengan pendapat Lehman. Dia menilai pembukaan pembatasan China menjadi topik utama sejauh ini.
Kebijakan tersebut dapat menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi baik regional maupun global. Sebab, selama dua tahun terakhir, China memberlakukan lockdown yang menyebabkan permintaan menurun.
Namun, pembukaan perbatasan dapat mendorong konsumsi domestik dan menopang sektor manufaktur. “Semua itu akan menjadi faktor yang baik untuk pertumbuhan global,” ujar Laura.
Pertumbuhan ekonomi, lanjutnya, bakal ditopang juga oleh kenaikan harga komoditas. Meskipun, meningkatnya harga komoditas dapat menyebabkan inflasi, namun dunia akan menemukan keseimbangan dari kondisi tersebut.
“Dengan kata lain, saya pikir Asia menjadi tempat di mana ekonomi pulih, tidak hanya China tetapi India dan Indonesia yang muncul dengan ekonomi yang sangat kuat,” katanya.
Dengan kondisi tersebut, dia pun yakin ekonomi Asia bakal tetap kuat. Hal itu sejalan dengan survei IMF yang menyebut GDP Asia pada 2010 mencapai 20% dan pada 2020 sebesar 35%. Kemudian, pada 2023 bisa melesat hingga 45%.
Dengan begitu, masih ada harapan bagi negara Asia untuk menghindari resesi. “Saya pikir resesi merupakan bagian dari dunia yang tidak dapat dihindari, tetapi pertumbuhan benar-benar terjadi di China dan Asia,” pungkasnya.
President and CEO S&P Global Douglas L. Peterson mengatakan harus ada pertumbuhan yang kuat dalam kemampuan China untuk menghidupkan kembali ekonomi mereka setelah mengalami penguncian total selama dua tahun.
Beberapa faktornya yaitu adanya penghematan yang terpendam selama dua tahun terakhir. Hal itu sejalan dengan permintaan yang melambat karena lockdown.
“Menurut kami, China akan melihat pertumbuhan yang sangat kuat terutama di akhir tahun, ada beberapa faktor yang sangat penting untuk diperhatikan,” katanya.
Eropa dan AS Hadapi Resesi
Di sisi lain, dia menilai di Amerika Serikat (AS), Eropa, dan Inggris mungkin mengalami resesi pada paruh pertama tahun ini. Tetapi dalam skala yang sangat ringan dibandingkan pertumbuhan ekonomi secara total.
Meski begitu, terjadi pertumbuhan ekonomi yang cukup kuat di belahan dunia lain sehingga secara global masih positif. “Kami perkirakan akan ada perlambatan dan resesi di Eropa, Inggris, dan AS tetapi pertumbuhan yang kuat di negara lain sehingga terjadi pertumbuhan ekonomi tahun ini,” ujar Douglas.
Gubernur Bank Portugal, Mario Centeno, menyebut pelambatan yang terjadi di Eropa merupakan hal yang wajar. Terlebih lagi Benua Biru tengah mengalami krisis energi dan memerlukan waktu lebih lama untuk pulih dari pandemi Covid-19.
Meski begitu, pasar tenaga kerja sangat kuat dan menjadi pilar pertumbuhan ekonomi di Eropa. Dari sisi kebijakan bank sentral, dia memastikan tidak ada upaya untuk mendorong ekonomi menjadi negatif pada tahun ini.
“Saya pikir kami akan melakukan sesuatu yang tidak akan menyebabkan (ekonomi) ke area negatif,” kata Centeno.
(FRI)