ECONOMICS

Xi Jinping Jumpa Biden di KTT G20, Kisah Cinta-Benci AS-China Berakhir?

Maulina Ulfa - Riset 15/11/2022 12:51 WIB

Gelaran KTT G20 pada hari ini dan esok hari di Bali telah banyak menorehkan sejarah.

Xi Jinping Jumpa Biden di KTT G20, Kisah Cinta-Benci AS-China Berakhir? (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Kedua pemimpin negara adidaya, Amerika Serikat (AS) dan China, bertemu selama kurang lebih 3,5 jam menjelang Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali. Keduanya membahas banyak hal mulai dari ekonomi hingga keamanan.

"Saya baru saja bertemu langsung dengan Xi Jinping dari Republik Rakyat China. Kami melakukan percakapan terbuka dan jujur tentang niat dan prioritas kami," ungkap Biden dalam konferensi pers usai pertemuan, Senin (14/11).

Persaingan antara kedua negara untuk menjadi kekuatan utama dunia tak dibantah oleh Biden. Namun, pihaknya memastikan persaingan ini akan berjalan sehat tanpa harus adanya konflik.

"Kami akan bersaing dengan penuh semangat, tetapi saya tidak mencari konflik. Saya ingin mengelola tanggung jawab persaingan ini," tegasnya.

Kedua tokoh tersebut juga membahas situasi terkini Rusia dan Ukraina. Biden menekankan tidak diperbolehkannya penggunaan nuklir.

"Kami membahas agresi Rusia terhadap Ukraina, menegaskan kembali bahwa penggunaan senjata nuklir sama sekali tidak dapat diterima," ujarnya.

Pasca KTT G20, Biden juga meminta Sekretaris Negara AS Anthony Blinken, untuk mengunjungi China dalam rangka membuka jalur komunikasi dan diskusi antara kedua negara dan menindaklanjuti pertemuan di Bali.

Elang (AS) dan Naga (China) memang telah lama terlibat dalam tensi terkait banyak hal. Mulai dari militer, teknologi, hingga perdagangan, telah banyak terjadi episode love-hate relationship (hubungan cinta-benci) di antara kedua negara besar tersebut.

AS-China Memanas di Era Kepemimpinan Trump

Pertemuan Xi dan Biden di Bali bisa dibilang menjadi pertemuan bersejarah dalam hubungan AS dan China dalam beberapa tahun terakhir.

Mengutip Council on Foreign Relations, Amerika Serikat dan China memiliki salah satu hubungan bilateral paling penting dan kompleks di dunia. Sejak 1949, kedua tersebut telah mengalami periode ketegangan dan kerja sama terkait isu-isu termasuk perdagangan, perubahan iklim, dan Taiwan.

Memasuki dekade 2010, hubungan Elang-Naga cukup harmonis di bawah kepemimpinan presiden Barack Obama.

Sementara Kongres Partai Komunis China (PKC) ke-18 diakhiri dengan pergantian kepemimpinan paling signifikan dalam beberapa dekade pada 2012.

Sekitar 70% anggota Komite Tetap Politbiro, Komisi Militer Pusat, dan Dewan Negara diganti dan Xi Jinping menggantikan Hu Jintao sebagai presiden, sekretaris jenderal Partai Komunis, dan ketua Komisi Militer Pusat.

Keharmonisan hubungan AS-China di bawah Obama-Xi terpancar dalam Sunnyland Summit 2013. Dalam pertemuan tersebut, presiden Obama menjamu Presiden Xi untuk "“shirt-sleeves summit” di Sunnylands Estate di California dalam upaya untuk membangun hubungan dan meredakan ketegangan AS-China.

Para pemimpin ini juga berjanji untuk bekerja sama secara lebih efektif dalam menekan isu-isu bilateral, regional, dan global, termasuk perubahan iklim dan Korea Utara.

Obama dan Xi juga bersumpah untuk membangun hubungan "model baru", mengacu pada konsep Xi untuk membangun "tipe baru hubungan kekuatan besar" untuk Amerika Serikat dan China.

Namun ketegangan AS China kembali memburuk saat Donald Trump menduduki Gedung Putih.

Pada Maret 2018, pemerintahan Trump mengumumkan pengenaan tarif besar-besaran atas impor China, senilai setidaknya USD50 miliar. Langkah ini menyusul tuduhan Gedung Putih bahwa China melakukan pencurian teknologi dan kekayaan intelektual AS.

Tuduhan Trump ini diperkuat dengan neraca perdagangan AS dengan China yang selalu tercatat defisit. (Lihat grafik di bawah ini)

Kenaikan tarif impor diberlakukan untuk produk baja dan aluminium. Namun kenaikan tarif ini meluas dengan menargetkan barang-barang termasuk pakaian, sepatu, dan elektronik dan membatasi beberapa investasi China di Amerika Serikat.

Tak mau kalah, China memberlakukan tindakan pembalasan pada awal April pada berbagai produk AS. Kondisi ini kemudian memicu kekhawatiran perang perdagangan antara ekonomi terbesar dunia.

Hingga 6 Juli 2018, eskalasi perang dagang AS-China terus menguat. Pemerintahan Trump kembali memberlakukan tarif baru senilai USD34 miliar untuk barang-barang China yang masuk ke AS.

Lebih dari delapan ratus produk China di sektor industri dan transportasi, serta barang-barang seperti televisi dan peralatan medis, akan dikenakan pajak impor sebesar 25%.

China kemudian juga membalas dengan memberlakukan tarif impor lebih dari 500 produk AS. Pembalasan tarif dari Beijing tercatat bernilai sekitar USD34 miliar, menargetkan komoditas seperti daging sapi, susu, makanan laut, dan kedelai.

Pemerintahan Trump menuduh China telah "menipu" AS dan memanfaatkan aturan perdagangan bebas untuk merugikan perusahaan AS yang beroperasi di China.

Beijing mengkritik langkah administrasi Trump sebagai "intimidasi perdagangan" dan memperingatkan bahwa tarif dapat memicu keresahan pasar global.

Pada Januari 2020, kedua negara akhirnya menandatangani kesepakatan perdagangan "fase satu" di mana China setuju untuk meningkatkan belanja barang AS dari USD78 miliar pada 2019 menjadi USD159 miliar pada 2020.

Trump sempat memuji langkah ini sebagai “langkah penting menuju masa depan dan timbal balik yang adil dalam berdagang dengan Tiongkok.”

Namun pada kenyataannya, kesepakatan itu terbatas dan sengketa perdagangan terus bergemuruh.

Lebih buruk lagi, China tidak memenuhi komitmen USD159 miliar itu pada tahun pertama perjanjian, berdasarkan analisis Peterson Institute for International Economics, sebuah think-tank di Washington, DC. Pada tahun 2020 China hanya menghabiskan USD94 miliar untuk impor dari AS.

Setelah Presiden Joe Biden terpilih pada akhir 2020, ada lonjakan optimisme di kalangan pebisnis, di mana 45% responden mengharapkan hubungan AS-China yang lebih baik, berdasarkan survei Kamar Dagang Amerika di China.

Nampaknya, secara politik, ketegangan Xi terhadap AS berhasil diredam oleh Biden dalam pertemuan kemarin.

Dalam unggahan Instagramnya, Biden mengatakan bahwa pihaknya akan terus berkomunikasi satu sama lain terkait kondisi global saat ini.

“Saya dan presiden Xi Jinping memiliki tanggung jawab untuk bekerja bersama di tengah tantangan global yang semakin penting dan akan melanjutkan komunikasi secara terbuka dan jujur yang saling kami bagikan,” tulis Biden dalam akun @Potus, Selasa (15/11).

Namun, dalam persoalan ekonomi dan perdagangan, publik masih menanti bagaimana kedua negara ini akan meredakan ketegangan semenjak eskalasi perang dagang menguat.

Persoalan Taiwan juga turut menjadi pembahasan Biden dan Xi Jinping. Biden menekankan agar setiap negara mematuhi aturan lalu lintas internasional.

"Kebijakan China tidak berubah. Kami mengajukan perubahan status quo sepihak di kedua sisi dan kami berkomitmen untuk menjaga perdamaian dan stabilitas selat Taiwan," papar Biden.

Peran Penting Indonesia

Yang patut diacungi jempol adalah upaya Indonesia dalam mempertemukan para elite negara ini dalam forum KTT G20.

Bisa dikatakan, Indonesia berhasil menyediakan panggung bagi diplomasi tingkat tinggi antar negara. Salah satunya adalah pertemuan dramatis antara Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden dan Presiden China Xi Jinping yang akhirnya terwujud di Bali.

Dalam pidato pembukaan KTT G20, presiden Joko Widodo (Jokowi) juga mengajak seluruh negara bertanggung jawab dan menghormati hukum internasional dan prinsip-prinsip Piagam PBB secara konsisten.

“Bertanggung jawab berarti menciptakan situasi win-win, bukan zero-sum game. Bertanggung jawab di sini juga berarti kita harus mengakhiri perang. Jika perang tidak berakhir, akan sulit bagi dunia untuk bergerak maju.

Jokowi juga memperingatkan pemimpin negara untuk bahu-membahu, bukan malah terpecah-belah menghadapi situasi global saat ini.

“Kita seharusnya tidak terpecah menjadi beberapa bagian. Kita tidak boleh membiarkan dunia jatuh ke dalam perang dingin lagi,” kata Jokowi.

Biden juga memuji Indonesia sebagai mitra yang bersemangat dan penting bagi AS.

“Sebagai dua negara demokrasi terbesar di dunia, kami akan terus bekerja sama untuk melestarikan sistem berbasis aturan dan tatanan internasional serta menjunjung tinggi hak asasi manusia,” tulis Biden dalam akun instagramnya. (ADF)

SHARE