ECONOMICS

YLKI Tolak PPN Naik Jadi 12 Persen di 2025, Ini Alasannya

Fiki Ariyanti 21/11/2024 14:47 WIB

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menolak rencana pemerintah menaikkan tarif PPN jadi 12 persen pada 2025.

YLKI Tolak PPN Naik Jadi 12 Persen di 2025, Ini Alasannya (foto mnc media)

IDXChannel - Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menolak rencana pemerintah untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025. 

Plt Ketua Pengurus Harian YLKI, Indah Suksmaningsih menilai, kebijakan ini akan memberi beban tambahan bagi masyarakat yang tengah menghadapi kesulitan ekonomi. 

YLKI mengkritisi kebijakan tersebut dengan beberapa poin catatan. 

1. PPN Naik saat Ekonomi Rakyat Sedang Sulit
   
Walaupun kenaikan PPN pada dasarnya diamanatkan dalam UU No 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), Indah berpendapat, situasi sosial dan ekonomi saat ini membuat kebijakan tersebut tidak relevan.

"Di masa masyarakat mengalami penurunan pendapatan, dan kenaikan harga kebutuhan pokok, menaikkan PPN dipastikan memberatkan rakyat," kata dia dalam keterangan resminya, Kamis (21/11/2024).

2. Beban Konsumen Makin Berat dan Daya Beli Turun
   
Indah menambahkan, kenaikan PPN yang sudah terjadi sebelumnya pada April 2022 dari 10 persen menjadi 11 persen masih dirasakan berat oleh masyarakat. 

"Jika PPN dipaksakan naik lagi menjadi 12 persen pada 2025, hal ini akan semakin memperburuk daya beli konsumen," ujarnya. 

"Masyarakat kemungkinan akan menunda atau bahkan membatalkan pembelian barang-barang yang dikenakan PPN tinggi, seperti barang elektronik, pakaian, dan peralatan rumah tangga," kata Indah.

Dampaknya, lanjut Indah, dunia usaha dan industri pun akan terimbas dengan penurunan penjualan yang berujung pada lesunya roda ekonomi.

3. Potensi Ketidakadilan dalam Pemungutan Pajak  

Indah mengatakan, pemerintah seharusnya tak membebani konsumen dengan pajak yang tinggi, sementara pengemplang pajak justru tidak mendapatkan sanksi tegas. 

"Alih-alih menaikkan PPN, pemerintah harusnya fokus pada peningkatan kepatuhan pajak di kalangan pengusaha kakap dan para pengemplang, agar beban pajak tidak jatuh lagi-lagi pada rakyat kecil," tuturnya.

4. Potensi Kebingungan tentang Kontrak yang Sudah Diteken

Kebijakan ini, diakui Indah, juga menimbulkan ketidakjelasan terkait kontrak-kontrak yang sudah ditandatangani sebelum 1 Januari 2025, di mana PPN masih berlaku 11 persen. 

"Siapa yang akan menanggung selisih harga akibat perubahan tarif PPN ini? Hal ini tentu akan menambah bingung para pelaku usaha dan konsumen," ujarnya.

5. Seharusnya Bukan PPN yang Dinaikkan

Menurut Indah, selain dari PPN yang merugikan rakyat, pemerintah justru membatalkan atau tidak menaikkan cukai rokok dan minuman manis yang seharusnya bisa menjadi alternatif untuk meningkatkan pendapatan negara tanpa membebani masyarakat. 

"Penerapan cukai rokok dan minuman manis juga memiliki manfaat ganda, yaitu meningkatkan pendapatan dan mengendalikan dampak kesehatan. Oleh karena itu, kebijakan yang lebih rasional dan berimbang perlu diambil oleh pemerintah," kata Indah.

Sebagai solusi, YLKI mengusulkan agar pemerintah menangguhkan atau bahkan membatalkan rencana kenaikan PPN 12 persen. 

"Langkah ini dianggap sebagai solusi yang lebih bijaksana dalam melindungi daya beli masyarakat dan menjaga stabilitas ekonomi Indonesia ke depan," kata Indah.

(Fiki Ariyanti)

SHARE