Cerita Desa di Geopark Ciletuh, Dulu Kampung TKW Kini Kampung Homestay
Tak hanya menyajikan keindahan alam, kawasan Geopark rupanya juga menyimpan cerita menarik tentang perubahan kehidupan masyarakatnya.
IDXChannel - Kabupaten Sukabumi menjadi salah satu wilayah di Jawa Barat yang menjadi kawasan wisata yang cukup digemari masyarakat.
Salah satunya adalah kawasan Geopark Ciletuh, yang menawarkan sejumlah spot wisata alam yang indah, sehingga menjadikannya jujugan para wisatawan baik dari domestik maupun mancanegara.
Tak hanya menyajikan keindahan alam, kawasan Geopark rupanya juga menyimpan cerita menarik tentang perubahan kehidupan masyarakatnya.
Adalah Kampung Cimarinjung, Desa Ciwaru, Kecamatan Ciemas, yang termasuk salah satu dari delapan kecamatan di bentang alam Geopark Ciletuh.
Dulu, mata pencaharian sebagian besar masyarakatnya adalah menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri atau buruh migran. Ada pula yang menjadi petani dan nelayan. Sejak daerah mereka ditetapkan sebagai geopark pada 2018 , banyak TKW dan TKI pulang kampung dan beralih membuka homestay di rumah mereka.
Awalnya, semua homestay di kampung pesisir Pantai Wisata Palangpang itu berjalan sendiri-sendiri. Warga menyewakan kamar-kamar dan rumah mereka kepada wisatawan dengan pengelolaan autodidak.
Pemprov Jawa Barat dan Pemerintah Kabupaten Sukabumi lalu mendirikan Badan Pengelola Ciletuh Pelabuhan Ratu UNESCO Global Geopark (BP CPUGG). Badan inilah yang kemudian gencar memberikan pelatihan, pendampingan dan pemberdayaan masyarakat termasuk dalam hal pengelolaan homestay dan hospitality.
Badan ini juga memberi plang merek, perlengkapan dan aksesori kamar termasuk gambar-gambar infografis tentang Geopark Ciletuh untuk dipajang di bagian dalam dan luar homestay.
"Kini ada sekitar 120 homestay yang dibina
BP CPUGGp. Setiap homestay rata-rata memiliki 3 hingga 4 kamar," ujar General Manager BP CPUGG, Dodi Sumantri, saat ditemui, di Pantai Palangpang, Minggu (1/1/2023).
Ada beragam jenis dan kelas homestay di sekitar Pantai Palangpang. Ada yang menyatu dengan rumah inti, ada pula yang terpisah meski satu pekarangan. Di beberapa titik terdapat pula kamar-kamar baru yang sengaja dibangun untuk para wisatawan. Sebagian memiliki fasilitas AC plus kamar mandi.
Homestay di sana berdampingan dengan sejumlah hotel kelas melati yang mulai banyak pula berdiri. Tarif setiap kamar bervariasi mulai Rp175 ribu hingga Rp700 ribu per malam.
Sejumlah pengelola homestay pun menawarkan beragam paket wisata alam yang digabung dengan fasilitas menginap dan akomodasi lainnya.
"Ternyata penghasilan masyarakat dari membuka homestay dan paket wisata cukup lumayan dibandingkan kerja di luar negeri. Inilah yang membuat banyak warga berhenti jadi buruh migran dan menyeriusi bisnis homestay," tutur Dodi.
Usaha homestay di sana kian berkembang setelah para warga membentuk Ikatan Homestay Cimarinjung untuk saling memberikan dukungan.
Yang juga menarik, hampir setiap homestay memiliki pohon mangga aneka jenis seperti cengkir, arumanis dan lainnya di pekarangan. Tamu yang dapat menikmati buah tersebut baik yang matang maupun untuk dirujak.
Asep Hidayat Mustopa, 36, salah satu warga eks buruh migran, mengungkapkan, taraf hidup masyarakat meningkat sejak membuka homestay. Apalagi kini BP CPUGGp banyak memberi pemberdayaan. Asep bahkan kini aktif di badan tersebut dan menjabat ketua pengusaha desa wisata.
"Saya sudah bisa membuka tujuh homestay dan jumlah tamunya cukup bagus. Sayang, pandemi COVID-19 sempat membuat kunjungan wisatawan merosot. Sekarang, tamu-tamu mulai berdatangan lagi," ucap kaligrafer ini.
Tak hanya membuka homestay, Asep bahkan menjadi inisiator budidaya hanjeli. Hanjeli adalah tumbuhan biji-bijian tropika dari suku padi-padian yang dapat menjadi alternatif pengganti beras sebagai makanan pokok. (TSA)