ECOTAINMENT

Keren! Warga Desa Mangkang Sulap Limbah Mangrove Jadi Pewarna Batik Alami

Ayu Utami Anggraeni/MPI 26/11/2022 15:00 WIB

Desa Mangkang memiliki sebuah lahan percontohan penanaman mangrove, yang dibina oleh Bakti Lingkungan Djarum Foundation (BLDF) sejak 2008. 

Keren! Warga Desa Mangkang Sulap Limbah Mangrove Jadi Pewarna Batik Alami. Foto: MNC Media.

IDXChannel - Beberapa warga desa Mangkang, Semarang, Jawa Tengah berinovasi dengan menyulap limbah mangrove menjadi pewarna batik alami. 

Desa Mangkang memiliki sebuah lahan percontohan penanaman mangrove, yang dibina oleh Bakti Lingkungan Djarum Foundation (BLDF) sejak 2008. 

Selain fokus pada pembibitan mangrove, mereka juga mencoba memanfaatkan limbah mangrove menjadi kerajinan tangan.
Para pengrajin batik limbah mangrove yang merupakan ibu-ibu itu tergabung dalam kelompok Batik Wijayakusuma. 

Nur Hayati selaku pengrajin batik mengatakan bahwa limbah mangrove berasal dari akar, kulit, hingga buahnya yang sudah tak terpakai bisa menghasilkan pewarna batik alami, bewarna cokelat. 

"Kita ambil akar, kulit, pentol buahnya yang tidak dipakai, yang tidak bisa ditanam. Itu dimanfaatkan untuk pewarnaan batik," kata Nur Hayati saat ditemui di lokasi pembuatan batik, Mangkang, belum lama ini. 

Adapun prosesnya hanya memakan waktu 2-3 jam untuk pengambilan kulit mangrove, kemudian dijemur lalu direbus. Setelah itu bisa digunakan sebagai pewarna alami batik. 

Dari hasil limbah mangrove itu menghasilkan variasi warna cokelat seperti cokelat tua, coklat muda, dan cokelat kemerahan (bata). 
Namun kain batik yang dihasilkan tidak melulu bewarna cokelat. Mereka juga menggunakan jenis tanaman lain seperti indigo dan tanaman jolawe sebagai perwarna alami.

Sayangnya, mereka tidak bisa banyak memproduksi kain batik lantaran terkendala sumber daya manusia. Saat ini kelompok Batik Wijayakusuma hanya memiliki lima anggota, awalanya terdiri dari sekitar 15 orang.

Sehingga kelompok Batik Wijayakusuma hanya bisa memproduksi 2-3 kain batik per orangnya dalam satu bulan.

"Sebulan bisa jadi 2-3 kain produksi per orang. Kan, enggak tiap hari bikin kainnya," jelas Nur Hayati.

Semua hasil kain batik itu juga dijual dalam berbagai pameran di berbagai daerah. Kain batik mangrove itu pun dibanderol mulai dari Rp300 ribu sampai Rp500.000 tergantung dengan tingkat kesulitan pola batiknya.

Meski terkendala dengan SDM, Nur Hayati berharap kelompok Batik Wijayakusuma itu mendapatkan fasilitas dan dukungan dari berbagai pihak agar kelompok tersebut tetap berjalan dan bisa lebih banyak dikenal orang orang banyak. (NIA)

SHARE