Kisah Inspiratif Perintis Gudeg Bromo, Jualan Malam Karena Tidak Punya Warung Sendiri
Gudeg Bromo Bu Tekluk dirintis oleh Sumijo sejak 1984, bermula dari lapak yang hanya dibuka pada malam hari.
IDXChannel—Bu Sumijo memberikan kisah inspiratif tentang perjalanannya merintis Gudeg Bromo Bu Tekluk. Tempat makan yang berdiri sejak 1984 itu bermula dari lapak emperan toko yang hanya dibuka malam hari karena sang pemilik tak memiliki bangunan sendiri.
Penduduk Yogyakarta dan banyak turis telah mengenal Gudeg Bromo Bu Tekluk, pemilik asli restoran ini sebenarnya adalah Sumijo. Lain dari cita rasa gudeg yang umumnya terasa manis, Sumijo justru meracik resep gudeg dengan rasa pedas.
Gudeg pedas ini rupanya banyak digemari orang, terlebih bagi mereka yang menyukai pedas dan tak terlalu suka masakan-masakan manis. Orang yang mulanya tak suka gudeg karena terlalu manis, bisa menyukai gudeg Bu Tekluk karena rasa pedasnya.
Saat ini, Gudeg Bromo Bu Tekluk memiliki dua outlet warung makan, yang pertama bertempat di Jalan Affandi No. 2C, Gejayan, Yogyakarta, dan satu lagi outlet berlokasi di daerah Prambanan.
Kisah Inspiratif Pemilik Gudeg Bromo Bu Tekluk
Ketika memulai bisnis ini, Sumijo tidak memiliki modal banyak. Ia berjualan hanya kecil-kecilan saja. Perekonomiannya pun jauh di bawah pas-pasan. Dalam channel Youtube Arsip Nusantara, Sumijo mengaku pernah menangis karena tak bisa menyekolahkan anaknya.
Ia mendapatkan ide untuk membuat gudeg pedas karena saat itu cita rasa gudeg yang dibuat pedagang dan ibu rumah tangga adalah manis. Sehingga muncul lah inspirasi sederhana untuk membuat gudeg dengan rasa yang berbeda.
“Awal itu sejak 1984, saya jualan hanya Rp150 saja untuk nasi telur. Telurnya hanya ada lima. Sampai jualan terus meningkat sampai saat ini. Saya bikin gudeg yang sayurnya pedas, sampai sekarang dikenal juga sebagai gudeg mercon,” tutur Sumijo.
Gudeg Bromo Bu Tekluk yang hanya buka pada malam hari juga mulanya bukanlah kesengajaan. Sumijo berjualan pada malam hari saat itu ia tak punya bangunan warung makan sendiri.
Selain karena siang hari sudah banyak pedagang gudeg yang berjualan, ia juga tak punya warung sehingga harus membuka lapak di emperan toko untuk berdagang. Mulanya dari jam 05.00 sore sampai malam, namun kemudian pemilik toko mengontrakkan bangunannya.
Sehingga Sumijo tak bisa lagi berjualan pada sore hari, dari situlah akhirnya ia mulai berjualan hanya pada malam hari, yakni dari pukul 11.00 malam sampai subuh. Sumijo menjalani bisnis ini selama 34 tahun.
“Yang memberi namanya Bu Tekluk itu bukan saya, tapi pembeli. Saat berjualan itu saya melayani suka ngantuk, piring hampir jatuh. Pelanggan sampai tertawa, mereka bilang ‘Ibuk kok teklak-tekluk’ (terkantuk-kantuk),” tutur Sumijo.
Sementara sebutan Gudeg Bromo ia ambil dari alamat rumahnya yang terletak di Gang Bromo No. 6A, meskipun sebenarnya ia berjualan di Gejayan.
Saat ini, Gudeg Bromo di Gejayan masih hanya buka pada malam hari, namun Gudeg Bromo di Prambanan buka pada siang hari. Pada outlet Prambanan, ia juga membuka pusat oleh-oleh khas Yogyakarta.
Demikianlah kisah inspiratif tentang perintis Gudeg Bromo Bu Tekluk, gudeg bercita rasa pedas yang sangat populer di Yogyakarta. (NKK)