INSPIRATOR

Mengenal Ben Bernanke, Si Ekonom Cum Eks Bos The Fed Pemenang Nobel

Maulina Ulfa - Riset 11/10/2022 15:58 WIB

Bapak ‘taper tantrum’ Ben Bernanke memenangkan nobel ekonomi karena jasanya pada sistem perbankan modern.

Mengenal Ben Bernanke, Si Ekonom Cum Eks Bos The Fed Pemenang Nobel. (Foto: marketplace.org)

IDXChannel - Siapa nyana, Ben Bernanke,  mantan ketua The Federal Reserve (The Fed) periode 2006 hingga 2014 menerima penghargaan nobel dari The Royal Swedish Academy of Sciences yang diumumkan Senin, (10/10).

Mengutip BBC, bersama dengan Philip Dybvig and Douglas Diamond, ekonom dan akademisi ini diganjar nobel lewat karyanya berjudul Is The Bedrock of Thinking About Financial Crises yang terbit pada 1983.

Bernanke terkenal karena kebijakannya yang mendorong The Fed untuk campur tangan secara agresif, memangkas suku bunga dan membantu mengatur dana talangan dari beberapa bank terbesar Amerika Serikat (AS) semasa krisis keuangan 2008 melanda. Langkah ini secara politis dianggap kontroversial.

Cara yang ia gunakan juga digunakan oleh The Fed dan bank sentral lainnya pada tahun 2020 untuk menstabilkan ekonomi ketika pandemi Covid-19 melanda dan banyak negara melakukan lockdown.

Pemikiran lama yang menganggap bahwa kegagalan bank dipandang sebagai konsekuensi dari krisis ekonomi, bukan penyebabnya dibantah oleh pemikiran Bernanke Cs.

Berjasa Perkuat Institusi Perbankan Modern

Dalam karyanya, Bernanke Cs menunjukkan peran penting bank dalam perekonomian dan bagaimana regulasi, seperti penjamin simpanan, dapat membuat bank tidak terlalu rentan terhadap keruntuhan yang membentuk dasar regulasi perbankan modern hari ini.

Selain itu, menjaga stabilitas psikologis nasabah adalah prioritas sistem perbankan modern jika tidak ingin mengalami guncangan di saat krisis melanda.

Sebelum karya Bernanke Cs pada 1983, tidak ada pemahaman umum tentang bagaimana bank memainkan peran mereka dalam masyarakat.

Bank digambarkan oleh Bernanke Cs bertindak sebagai perantara antara nasabah dan peminjam. Nasabah ingin dapat berinvestasi dan menarik uang dalam jangka pendek. Sementara peminjam seperti pelaku bisnis membutuhkan pinjaman dan komitmen jangka panjang.

Karena nasabah pada umumnya tidak perlu menarik semua dana pada saat yang sama, bank dapat menyerap fluktuasi untuk menjaga 'likuiditas', memungkinkan uang beredar dan masyarakat mendapat manfaat.

Penelitian Bernanke Cs juga telah membantu menjelaskan mengapa bank memiliki kerapuhan yang dapat menghancurkan perekonomian. Ia menjelaskan dalam perbandingan kejadian adanya Wall Street Crash pada 1929, era Great Depression hingga Krisis Keuangan Global 2008.

Jika cukup banyak nasabah yang terkena 'kejutan likuiditas' eksternal, seperti peristiwa sosial yang membuat mereka ingin menarik uang mereka, ini dapat menyebabkan kepanikan dan lingkaran setan. Kepanikan ini akhirnya mempengaruhi psikologis karena takut bank akan kehabisan uang.

Ini adalah ketidakstabilan yang melekat yang dapat menyebabkan keruntuhan bank, meskipun perlindungan seperti penjamin simpanan dapat mengurangi risiko.

“Krisis keuangan menjadi lebih buruk ketika orang mulai kehilangan kepercayaan pada stabilitas sistem perbankan,” kata Douglas Diamond, mengutip nature.com (11/10).

Pemikiran inilah yang membantu mengurangi orang-orang melikuiditas uang mereka selama lockdown pandemi Covid-19.

"Kesederhanaan argumen matematis mereka adalah hal yang indah, dan pemikiran ini memiliki implikasi kebijakan yang penting," kata ekonom Princeton University, Atif Mian, di New Jersey.

“Kesadaran Bernanke bahwa faktor-faktor di luar pemikiran ekonomi tradisional seperti bias perilaku hingga runtuhnya kepercayaan konsumen dapat menciptakan ketidakstabilan dalam sistem perbankan adalah hal yang perlu digaris bawahi,” kata Jean-Philippe Bouchard, ketua Capital Fund Management di Paris dan co-director CFM-Imperial Institute of Quantitative Finance di Imperial College London.

Hasil penelitian Bernanke Cs sangat penting untuk memungkinkan bank, pemerintah, dan lembaga internasional menavigasi pandemi Covid-19 tanpa konsekuensi ekonomi yang menghancurkan.

Misalnya, Bank Sentral Eropa melakukan intervensi dengan bantuan keuangan kepada bank dan insentif bagi mereka untuk meminjamkan kepada nasabah dan pelaku bisnis.

Dari Kontroversi Bernanke's Bail Outs 2008 Hingga Taper Tantrum 2013

Kebijakan kontroversial Bernanke memang terlihat sejak dunia masuk jurang krisis keuangan global pada 2008. Meski demikian, Ben Bernanke berperan penting dalam merangsang ekonomi AS setelah krisis perbankan yang melanda negeri Paman Sam itu.

Dia mengambil pendekatan agresif dan eksperimental untuk mengembalikan kepercayaan publik pada sistem keuangan. Bernanke sebagai ketua The Fed kala itu memperkenalkan beberapa strategi, termasuk quantitative easing (QE) atau pembelian aset oleh The Fed untuk memperbaiki ekonomi AS selama resesi.

Skema QE melibatkan pembelian sekuritas/efek obligasi pemerintah AS dan mortgage-backed securities (MBS) atau obligasi kredit perumahan untuk meningkatkan jumlah uang beredar dalam perekonomian.

Dengan membeli efek dalam skala besar, The Fed meningkatkan permintaannya yang menyebabkan kenaikan harga obligasi. Karena jika obligasi naik maka suku bunga akan turun. Inilah yang disebut sebagai era Bernanke's Bail Outs.

The Fed di bawah Ben Bernanke juga menanggung keputusan pailit untuk Lehman Brothers. The Fed kemudian menyelamatkan perusahaan seperti AIG untuk menghindari risiko yang lebih tinggi jika perusahaan dibiarkan pailit.

The Fed-nya Ben Bernanke juga memberi insentif kepada Bank of America dan JPMorgan untuk mengambil alih dua perusahaan, yakni Merrill Lynch dan Bear Stearns, dengan menjamin berbagai pinjaman macet.

Selain itu, The Fed era Bernanke juga memangkas suku bunga acuan mendekati nol. Dengan mengurangi tingkat dana federal, bank saling meminjamkan uang dengan biaya lebih rendah, dan pada gilirannya, dapat menawarkan pinjaman dengan suku bunga rendah kepada nasabah dan pelaku bisnis.

Suku bunga yang lebih rendah mendukung investasi bisnis melalui peningkatan posisi keuangan. Dengan memperkuat operasi bisnis, akan menciptakan lebih banyak pekerjaan, yang berkontribusi pada pengurangan tingkat pengangguran.

Seperti bank sentral lainnya, the Fed mengelola perekonomian AS dengan cara menaikkan atau menurunkan suku bunga acuan. Selama 5 tahun, the Fed telah mempertahankan suku bunga 0%, namun the Fed tidak bisa menurunkan suku bunga di bawah 0%.

Dampak suku bunga rendah serta kebijakan QE mulai akhir 2008 ini membuat nilai tukar dolar AS ikut ‘nyungsep’.

Akhirnya the Fed merangsang ekonomi AS dengan memompa uang langsung ke dalam sistem keuangan.

Hingga pada 2013, The Fed di bawah Ben Bernanke juga mulai menetapkan kebijakan pengurangan stimulus atau tapering off dari semula USD85 miliar per bulan menjadi USD75 miliar per bulan yang berlaku Januari 2014.

Saat itu, dana QE dibagi menjadi dua, di antaranya USD40 miliar untuk membeli obligasi AS atau US Treasury dan USD35 miliar untuk membeli obligasi kredit perumahan yang akan dilakukan dimulai Januari tahun 2014.

Harapannya adalah uang itu kemudian bisa digunakan oleh perusahaan untuk keperluan lainnya.

Kebijakan QE dari The Fed itu telah membantu AS yang dilanda resesi sejak 2009 kembali ke jalur pemulihan ekonomi. Saat wacana tapering off muncul, dolar AS menjadi begitu perkasa hingga ada istilah 'taper tantrum'.

Dampaknya, nilai tukar dolar AS langsung melesat dan membuat nilai tukar mata uang lainnya anjlok.

Jadi taper tantrum adalah istilah bagi efek pengumuman kebijakan moneter AS tahun 2013 yang langsung memukul kurs sejumlah negara berkembang.

Dampak dari taper tantrum ini memukul rupiah anjlok hingga ke level 12.000 per dolar AS pada 2013. Padahal sebelumnya berada di bawah Rp10 ribu per dolar AS. Dari adanya periode taper tantrum, rupiah terus mengalami pelemahan terhadap dolar AS hingga sekarang. (Lihat tabel di bawah ini)

Nasib pasar saham pun tak jauh lebih baik. Indeks harga saham gabungan (IHSG) jatuh ke level 4.200 di akhir 2013 dan bahkan sempat menyentuh titik terendahnya di bawah 4.000 pada Agustus 2014.  

Pemerintah mencatat, arus modal yang keluar dari Indonesia saat periode taper tantrum mencapai Rp 36 triliun.

Penghargaan nobel ini pada akhirnya menghidupkan kembali kritik atas tindakan Bernanke saat ia memelopori pembelian obligasi pemerintah dan aset lainnya, yang menurut beberapa orang pengamat telah membantu memicu kenaikan harga dan mengganggu perekonomian hari ini.

"Ben Bernanke memenangkan nobel ekonomi pada saat sistem keuangan global (sekali lagi) berada di ujung tanduk karena kebijakan moneter yang salah arah yang dipeloporinya dan para bankir sentral lainnya. Ini adalah momen kebangkrutan bagi bank sentral dan Nobel ekonomi," kata Sridhar Vudu, chief executive Zoho technology firm dalam status Twitternya. (ADF)

SHARE