Profil Haji Masagung, Mualaf Tionghoa yang Dirikan Toko Buku Legendaris Gunung Agung
Haji Masagung atau Tjio Wie Tay adalah pendiri toko buku Gunung Agung yang legendaris. Toko buku ini akan menutup seluruh gerainya hingga penghujung 2023.
IDXChannel—Artikel ini akan membahas tentang profil Haji Masagung. Ia adalah sosok di balik pendirian toko buku legendaris, Gunung Agung.
Sebelum akhirnya menutup tokonya, Gunung Agung pernah menjadi salah satu brand toko buku besar pada masanya. Namun sayang, karena kerugian yang tak lagi dapat ditanggung perusahaan, toko ini mesti tutup secara permanan tahun ini.
Belum lama ini, Gunung Agung menggelar diskon besar-besaran menjelang penutupan seluruh gerainya, untuk menghabiskan seluruh stok buku yang tersisa di toko. Berkat diskon penghabisan stok ini, Gunung Agung justru dibanjiri pengunjung.
Sebelum berpisah dengan Gunung Agung untuk selamanya, mari kita ulas cerita sosok pendirinya, Haji Masagung, atau Tjio Wie Tay.
Profil Haji Masagung: Tionghoa Jatinegara yang Dirikan Gunung Agung
Sebelum berganti nama menjadi Masagung, ia terlahir dengan nama Tjio Wie Tay. Ia adalah anak keempat dari lima bersaudara, dan merupakan keturunan Tionghoa yang lahir di Jatinegara, Jakarta, pada 8 September 1927.
Keluarga besarnya adalah imigran Tionghoa yang telah menetap di Indonesia dalam enam generasi. Ayah Wie Tay, Tjio Koan An, adalah seorang teknisi listrik perusahaan gas Belanda pada masanya.
Perekonomian Wie Tay sekeluarga menurun drastis saat ayahnya meninggal dunia, saat itu usianya masih empat tahun. Wie Tay tumbuh besar menjadi anak nakal, ia juga hanya sekolah sampai kelas 5 SD.
Namun demikian, ia adalah anak yang mudah bergaul. Sifatnya inilah yang mengantarkannya ke perjalanan bisnisnya. Wie Tay mulai berbisnis kecil-kecilan dengan menjual rokok di Glodok dan Senen.
Dari usaha jualan rokok ini, Wie Tay bertemu dengan dua rekan yang kelak membantunya mendirikan Gunung Agung. Namun sebelum membuka toko buku, Wie Tay terlebih dahulu berjualan rokok dan bir di toko kecilnya di Kwitang.
Pasca kemerdekaan, barulah Wie Tay beralih menjual buku karena melihat peluang bisnis buku yang menarik. Saat Belanda mulai meninggalkan Indonesia, Wie Tay meminta mereka untuk meninggalkan buku-bukunya, untuk dijual dengan harga murah.
Bisnis buku bersama kedua temannya ini berkembang pesat, namun saat ingin mengembangkan usaha, Wie Tay pecah kongsi dengan kedua temannya dan akhirnya menjalankan usahanya sendiri-sendiri.
Wie Tay membuka toko yang lebih besar. Pada 1953, nama usahanya berubah menjadi Firma Gunung Agung. Di tahun yang sama pula, Wie Tay menggelar pameran buku pertama di Indonesia. Ialah pelopor di bidang ini.
Asal tahu saja, sebelum Wie Tay membuka toko buku, daerah sekitarnya tidak ada kios buku. Namun setelah ia membuka toko buku, mulai banyak pedagang yang menjajakan buku lewat gerobak di sekitarnya.
Berkat kesuksesan bisnis toko bukunya pula, Gunung Agung dipercaya untuk menerbitkan buku karangan Presiden Soekarno yang bertajuk ‘Di Bawah Bendera Revolusi’. Wie Tay menyerahkan Gunung Agung kepada anak-anaknya pada 1986 untuk diteruskan.
Ia memeluk Islam pada 1975 dan mengganti namanya menjadi Masagung. Usai mewariskan Gunung Agung ke anak-anaknya, Masagung fokus berdakwah dan menjalankan kegiatan-kegiatan sosial lainnya.
Itulah kisah dan profil Haji Masagung, warga Jatinegara keturunan Tionghoa yang mendirikan toko buku legendaris Gunung Agung. (NKK)