Sarjana Ilmu Komputer Otodidak Bertani Timun Organik, Serok Cuan Rp85 Juta Sekali Panen
Seorang sarjana ilmu komputer memilih untuk bertani timun organik dan berhasil meraup untung.
IDXChannel—Bermula dari keinginan untuk membantu para pekerja yang kena PHK saat pandemi Covid-19, Lia Dahlia, seorang petani milenial dari perkebunan Blufarm berhasil meraup omset yang cukup besar dari menanam timun organik.
Dilansir dari channel Youtube Jagadtani TV (11/4), Lia sebetulnya tidak memiliki latar belakang serta pengalaman di bidang pertanian. Malahan, Lia adalah seorang lulusan fakultas ilmu komputer.
Alasannya terjun ke dunia pertanian, salah satunya adalah karena kurangnya pengetahuan masyarakat di perkampungan mengenai cara-cara bertani yang lebih baik dan modern.
“Jujur dari keseluruhan pengurus itu, enggak ada sama sekali background pertanian. Saya sendiri dari fakultas komputer sistem informasi ke pertanian. Karena di perkampungan itu orang-orang belum mengetahui cara pertumbuhan yang lebih cepat, menggunakan pupuk yang benar, dan aman untuk dikonsumsi,” jelas Lia.
Lia bersama dengan timnya, mempelajari hal-hal terkait pertanian sendiri secara otodidak dalam waktu yang cukup lama. Ia juga belajar kepada petani-petani setempat yang sudah berpengalaman.
“Kita semuanya otodidak, kita coba-coba. Kurang lebih kita belajar pertanian itu dari 2014-2018. Prosesnya lama karena kita benar-benar buta tentang pertanian, walaupun bapak saya sendiri petani. Kita juga belajar lagi dari petani sini, bagusnya nih bagaimana, kita cari yang terbaik,” ungkapnya.
Usaha pertanian timun organik Lia ini berada di lahan seluas 4.000 meter persegi yang berlokasi di Gunung Bunder, Kabupaten Bogor. Lahan yang digunakannya tersebut merupakan lahan sewaan dengan harga sewa sebesar Rp10 juta per tahun.
Adapun modal awal dalam penggarapan timun organik sendiri berkisar Rp37 juta dengan target keuntungan mencapai Rp85 juta dalam sekali panen. Proses penanaman timun organik yang dijalani Lia sendiri terbilang cukup cepat sampai bisa panen dalam waktu dua bulan.
“Nanti untuk keuntungannya mencapai Rp85 juta, istilahnya bisa dua kali lipat dari modal awal. Untuk proses penanamannya, satu bulan itu untuk penggarapan tanah baru, dan satu bulan lagi untuk proses sampai panen,” ucap Lia.
Saat ini pertanian timun organik yang dikelola Lia sudah memiliki 15 orang pekerja yang berisi orang-orang di lingkungan sekitar perkebunannya yang sedang menganggur.
Meskipun hanya membutuhkan waktu dua bulan untuk menanam timun organiknya sampai panen, Namun dari segi perawatan harus dilakukan dengan baik dan dengan pengawasan rutin.
Karena tangkai-tangkai yang terus tumbuh harus selalu diikat ke atas agar pertumbuhan tanamannya tidak merambat ke bawah, selain itu pemberian obat-obatan juga penting untuk mengusir hama yang ada pada tanamannya tersebut.
Untuk menyanggah pertumbuhan timun organiknya, Lia menggunakan bambu yang dikenal dengan nama Tuturus oleh orang di sekitar perkebunan nya.
Pada panen timun organik pertamanya, Lia berhasil memanen timun kurang lebih sebanyak 15-20 Ton. Saat pandemi Covid-19 yang lalu pun penjualan timun hasil pertaniannya tetap stabil dan cenderung tidak berdampak besar.
“Lagi Covid gini di pertanian itu ga ada dampak, mau hidroponik atau organik semuanya tetep stabil, malah meningkat untuk pemesanan. Untuk pemesanan by online pun kita bisa dibilang enggak sanggup, karena bahannya enggak ada,” kata Lia sambil tertawa.
Terakhir, Lia berharap agar perkebunan nya tersebut terus tumbuh dan berkembang, karena sesuai dengan keinginan awalnya bahwa ia ingin terus membantu membuka lapangan kerja bagi masyarakat sekitarnya.
Itulah kisah petani milenial yang berhasil berhasil meraup omset yang cukup besar dari menanam timun organik. (NKK)
Penulis: Rizky Aulia