2021 Disebut Ekonom Bukan Waktu yang Tepat Bagi Iklim SBN Ritel
Sekadar diketahui bahwa Pemerintah telah menerbitkan SBN Ritel pertama di 2021. Seri ORI-019 pun diprediksi tidak akan berbeda dari sebelumnya.Â
IDXChannel - Menurut ekonomi Pefindo Ahmad Nasrudin bahwa saat ini bukan waktu yang tepat bagi iklim SBN Ritel. Sekadar diketahui bahwa Pemerintah telah menerbitkan SBN Ritel pertama di 2021. Seri ORI-019 pun diprediksi tidak akan berbeda dari sebelumnya.
"Di tahun 2020 realisasinya Rp76,78 triliun, itu masih sesuai prediksi kami, dimana realisasinya ya sesuai ekspektasi. Tidak tertekan terlalu dalam," ujar Ahmad dalam Program Market Review IDX Channel, di Jakarta, Senin(25/1/2021).
Menurut Ahmad, beberapa emiten memang mengurangi penerbitan obligasi karena kebutuhan ekspansi yang juga berkurang. Dari beberapa sektor komoditas memang cenderung naik. Namun, penerbitan di tahun lalu bukan untuk kecenderungan ekspansi.
"Seperti misalnya multi-finance tahun lalu porsinya sebesar 14%. Tapi komoditas seperti pertambangan dan perkebunan cenderung naik," jelas Ahmad.
Perbankan dan multi-finance, memang mendominasi di 2018. Tetapi di 2020 jatuh hingga 67%. "Hanya Rp7,9 triliun dari perbankan. Ini karena kondisi likuiditas perbankan melimpah, DPK tumbuh tinggi tapi kredit tumbuh rendah," imbuhnya.
Pemerintah juga menjalankan belanja untuk Covid-19 dan Bank Indonesia menurunkan suku bunga, sehingga likuiditas di perekonomian melimpah. Dari sisi permintaan domestik besar, tapi sektor ritel dan lainnya ekspansinya tidak berjalan. Pemerintah menurunkan pajak bunga obligasi untuk meningkatkan permintaan kedepan.
"Kebutuhan ekspansif belum kelihatan di tahun lalu, kalau tahun ini kemungkinan di semester II. Tunggu sinyal dari sektor riil apakah memang tumbuh atau tidak. Bergantung pada seberapa cepatnya pemulihan ekonomi," ujar Ahmad.
Ahmad juga menyebutkan bahwa sektor riil akan berekspansi lebih cepat seiring pemulihan ekonomi. "Asing masuk ke pasar domestik sejak 1 Januari hingga 20 Januari, di pasar saham Rp11 triliun, kalau di surat utang ada Rp5 triliun. Sentimen di pasar saham menarik, karena euforia pemulihan ekonomi dan kemungkinan investor mengantisipasi harga rendah jadi pada memborong saham," tandas Ahmad. (*)