3 Strategi Investasi Peter Lynch: Nilai Portofolio Melejit dalam 13 Tahun, Ini Kriteria Sahamnya
Peter Lynch adalah investor legendaris yang berhasil mengelola ribuan saham, dan mencatatkan annualized return sebesar 29% selama 13 tahun.
IDXChannel—Peter Lynch kerap dijadikan acuan bagi individu yang hendak belajar investasi pasar modal. Dia adalah investor legendaris yang mempopulerkan prinsip ‘Belilah saham yang bisnisnya benar-benar Anda kenali.’
Peter Lynch mencatatkan namanya dalam sejarah pasar modal Amerika Serikat berkat strategi investasinya yang manjur. Dibuktikan dengan capaiannya yang fantasis sebagai manajer investasi saat ia bekerja di Fidelity Magellan Fund selama 13 tahun.
Lynch bergabung sebagai manajer investasi di perusahaan tersebut pada 1977, saat itu aset kelolaan yang diaturnya hanya senilai USD18-USD20 juta. Namun nilai investasinya tumbuh pesat hingga USD14 miliar dalam 13 tahun, dengan pertumbuhan annualized return sebesar 29%.
Capaian portofolio kelolaan Lynch bahkan melampaui capaian indeks S&P 500 yang kala itu hanya mampu mencatatkan annualized return sebesar 15%. Berkat kesuksesannya ini, Lynch bisa pensiun dini di usia 46 tahun.
Hingga saat ini, strategi investasinya masih menjadi bahan pembelajaran banyak orang. Tak mengherankan, sebab Lynch menerapkan strategi yang dapat diadaptasi investor ritel. Ia bahkan percaya bahwa investor ritel bisa lebih untung dibanding manajer investasi, bahkan Wall Street, jika menerapkan strateginya.
Sebab investor ritel tidak terikat dengan birokrasi dan tidak perlu mengkhawatirkan kinerja jangka pendek seperti manajer investasi. Ia menuliskan detail strategi investasinya dalam buku berjudul ‘One Up on Wall Street’.
Secara umum, ada tiga strategi utama investasi yang dilakukan Lynch, yakni: mengenali cerita (rencana bisnis, prospek) emiten, menetapkan kriteria saham pilihan dengan cermat, dan tahu kapan menjual atau menyimpan saham.
Seperti apa strategi dan pandangan Lynch tentang investasi saham? Dilansir dari AAII Journal yang diterbitkan California State University pada 1997, simak ulasannya di bawah ini.
Strategi Investasi Peter Lynch: Berinvestasilah pada Bisnis yang Anda Kenali
Peter Lynch membangun filosofi investasi yang hingga hari ini masih diajarkan dan dianjurkan kepada investor pemula, yakni ‘Invest in What You Know’, atau ‘Berinvestasilah pada perusahaan yang Anda kenal.’
Dari prinsipnya itu, Lynch mengembangkan strategi pemilihan saham berdasarkan ekspektasi atas prospek emiten. Ekspektasi-ekspektasi itu dikuliknya dari ‘cerita’ di balik suatu bisnis atau perusahaan.
‘Cerita’ yang dimaksud Lynch dalam hal ini adalah: apa yang akan dilakukan perusahaan, apa yang mungkin akan terjadi setelahnya, dan apa hasil nyata yang akan direalisasikan emiten.
Semakin investor familiar dan mengenali suatu perusahaan, semakin ia memahami bisnis perusahaan tersebut, sehingga semakin besar pula peluangnya untuk mendapatkan potensi keuntungan yang menjadi nyata.
Karena alasan inilah, Lynch menganjurkan agar investor menanamkan modalnya pada emiten yang produk dan jasanya relatif mudah dimengerti. Misalnya, jika diminta untuk memilih, Lynch akan berinvestasi pada bisnis jaringan motel daripada berinvestasi di perusahaan penyedia fiber optik.
Lynch tidak pernah membatasi berapa jumlah saham yang dikelolanya, tidak seperti anjuran-anjuran yang umumnya diterima investor pemula, yakni ‘jangan beli saham terlalu banyak’.
Sebab Lynch sendiri memiliki 1.000 lebih saham dalam portofolio yang dikelolanya. Sementara portofolio investasi Berkshire Hathaway—yang mayoritas dikelola Warren Buffet—hanya memiliki 50 saham yang terkonsentrasi pada lima emiten utama.
Namun perlu diingat, cara dan keputusan Lynch untuk memiliki banyak saham dalam satu portofolio ini dilandasi dan diperkuat dengan strategi investasi yang telah dijelaskan di atas. Lynch sangat memahami bisnis emiten berikut potensinya.
Jika investor memiliki banyak saham—yang telah dipelajari dan dipilih secara hati-hati—dalam portofolionya, semakin besar peluangnya untuk mendapatkan return yang memuaskan.
Lantas bagaimana cara Lynch memilih saham, dan seperti apa kriteria saham-saham pilihannya?
Strategi Investasi Peter Lynch: Cara Memilih Saham
Karena menekankan prinsip bahwa investor harus memahami bisnis emiten, mau tidak mau Lynch harus memilih saham pilihannya satu per satu dan melakukan investigasi menyeluruh demi mendapatkan ‘cerita’ dengan prospek menarik.
Lynch menganjurkan investor untuk menelaah potensi bisnis emiten berdasarkan pengalamannya selaku konsumen, atau sebagai pelaku usaha. Bagaimana perusahaan itu berupaya meningkatkan pendapatannya? Bagaimana cara perusahaan itu merealisasikannya rencana bisnisnya?
Berikut ini adalah hal yang diamati Lynch saat mencari tahu bagaimana strategi emiten untuk meningkatkan pendapatannya:
- Mengurangi beban biaya
- Menaikkan harga
- Ekspansi ke pasar lain
- Menjual lebih banyak produk di pasar lama
- Revitalisasi, menutup atau menjual lini bisnis yang merugi
Rencana perusahaan untuk meningkatkan pendapatan dan bagaimana kemampuan perusahaan itu untuk mewujudkan rencana tersebut adalah ‘cerita’ yang dicari Lynch saat menilai kelayakan saham untuk diinvesastikan.
Untuk mempermudah mencari ‘cerita’ dari ratusan emiten yang tercatat di bursa, Lynch membuat kategori berdasarkan ukuran usahanya. Berikut ini adalah kategori ‘cerita’ yang dibuat Lynch.
Slow Growers: umumnya adalah perusahaan besar dan sudah lama berdiri, pertumbuhannya diprediksi tidak akan pesat dan cepat, namun membayarkan dividen besar secara rutin. Lynch tidak menyukai perusahaan dengan ‘cerita’ seperti ini
Stalwart: perusahaan besar yang masih mampu berkembang dengan pertumbuhan pendapatan sekitar 10-12% per tahun. Lynch berekspektasi mendapatkan return yang cukup, tidak lebih dari 50% dalam dua tahun, dari perusahaan seperti ini. Ia menganjurkan rotasi investasi pada perusahaan-perusahaan jenis ini, jual saat target return tercapai, pindahkan investasi ke saham yang belum terapresiasi.
Fast Growers: perusahaan kecil atau baru dengan pertumbuhan yang agresif, dengan pendapatan yang tumbuh 20-25% per tahun. Perusahaan seperti ini tidak harus berada di sektor yang tumbuh dengan cepat, ia justru lebih memilih perusahaan fast grower di luar sektor fast-growing. Emiten fast growers termasuk salah satu jenis saham kesukaannya.
Cyclicals: perusahaan dengan penjualan dan keuntungan yang cenderung melonjak dan jatuh dalam pola yang terprediksi, berdasarkan siklus ekonomi. Contohnya, industri otomotif, maskapai, dan besi. Berinvestasi pada emiten seperti ini sangat membutuhkan timing yang tepat.
Turnarounds: perusahaan yang pernah merosot drastis bisnisnya, namun bisa pulih dengan cepat. Perusahaan seperti ini paling tidak terpengaruh oleh pasar secara umum. Lynch juga menyebut perusahaan ini sebagai ‘no growers’.
Asset opportunities: perusahaan yang memiliki aset yang kerap dihiraukan, atau tidak masuk dalam pengamatan pasar. Untuk menemukan perusahaan ini, dibutuhkan pengetahuan yang mendalam ihwal bisnis usahanya. Di sinilah investor ritel bisa memanfaatkan pengetahuan dan pengalamannya sebagai konsumen dan pelaku usaha.
Strategi Investasi Peter Lynch: Kriteria Saham Pilihan
Setelah melakukan kategorisasi terhadap seluruh perusahaan yang terdaftar di bursa efek untuk menakar prospek bisnisnya, langkah yang dilakukan Lynch berikutnya adalah memilih saham yang memenuhi kriteria pilihannya.
Berikut ini adalah faktor-faktor yang diamati Lynch. Perusahaan yang dipilihnya harus memenuhi kriteria ini:
Pendapatan tahunan: harus stabil dan konsisten, pendapatan usaha harus tumbuh secara konsisten dari tahun ke tahun.
Pertumbuhan pendapatan: tingkat pertumbuhan pendapatan mesti sesuai dengan ‘cerita’ perusahaan. Contohnya, fast grower sewajarnya mencatatkan pertumbuhan yang tinggi dibanding slow grower. Pertumbuhan tinggi akan menarik atensi investor.
P/E rasio: potensi pendapatan suatu perusahaan sangat menentukan nilai perusahaan tersebut, namun terkadang pasar mendahului, sehingga harga saham menjadi mahal. P/E rasio dapat membantu investor untuk mendapatkan perspektif yang wajar. Saham dengan prospek menarik mestinya memiliki P/E rasio yang lebih tinggi dibanding perusahaan dengan prospek usaha yang biasa-biasa saja.
P/E rasio terhadap rata-rata historis: dengan mempelajari pola P/E rasio selama beberapa tahun, investor akan tahu pada level apa nilai perusahaan dianggap normal dan ‘wajar. Dengan begitu, investor dapat terhindar dari membeli saham yang harganya melampaui pertumbuhan pendapatannya, investor juga jadi tahu kapan mesti mulai menjual sahamnya.
P/E rasio terhadap industri sejenis: bandingkan rasio P/E emiten dengan emiten lain dalam industri sejenis untuk mengetahui mengapa harganya berbeda satu sama lain, apakah karena kinerjanya buruk, ataukah karena dihiraukan investor lain?
P/E rasio terhadap tingkat pertumbuhan pendapatan: perusahaan dengan prospek menarik mestinya mampu mencatatkan P/E rasio yang tinggi. Rasio P/E terhadap tingkat pertumbuhan pendapatan juga dapat menjukkan apakah saham tengah overvaluation.
Debt to equity ratio: Lynch memilih perusahaan dengan balance sheet yang kuat, sebab utang yang terlalu banyak akan membatasi gerak emiten untuk menjalankan dan mengembangkan bisnis.
Net cash per share: jumlah kas per lembar saham yang tinggi mengindikasikan kondisi keuangan yang kuat.
Dividen & payout ratio: dividen umumnya dibayarkan oleh perusahaan besar, sementara Lynch lebih suka perusahaan kecil dengan pertumbuhan potensial. Investor yang suka memburu emiten berdividen dianjurkan untuk mencari perusahaan yang mampu membayar dividen bahkan saat resesi, dan perusahaan yang bertahun-tahun (20-30 tahun) mencatatkan peningkatan pembayaran dividen.
Inventori: perhatikan apakah inventori perusahaan menumpuk. Terlebih pada perusahaan siklikal, untuk emiten manufaktur dan retail, inventori yang menumpuk adalah lampu kuning. Apalagi jika pertumbuhan inventorinya lebih cepat dibanding pertumbuhan penjualan.
Lynch memilih saham dengan cara dan kriteria seperti di atas. Setelah memilih saham yang memenuhi kriterianya, ia akan menyimpannya dalam waktu yang lama. Meskipun demikian, bukan berarti ia menganjurkan investor untuk menyimpan suatu saham selamanya.
Alih-alih, Lynch menganjurkan agar investor secara rutin mengevaluasi kinerja dan ‘cerita’ emiten-emiten dalam portofolionya, lihatlah apakah ada perubahan positif ataukah sebaliknya? Bagi Lynch, investor harus tahu kapan mereka mesti menjual sahamnya.
Lynch akan menjual saham dalam portofolionya jika ‘cerita’ yang disimpulkannya saat menginvestigasi prospek emiten telah terwujud sesuai ekspektasinya, dan terbukti dengan harga saham yang mencapai target.
Ia juga akan menjual sahamnya jika emiten tidak mampu mewujudkan rencana bisnis yang dibuat oleh perusahaan itu sendiri.
Itulah strategi investasi ala Peter Lynch, investor legendaris yang mencetak keuntungan dalam kurun waktu 13 tahun. (NKK)