Alternatif BBCA-BBRI Lagi Loyo, Simak Potensi Cuan dari Dua Saham Big Cap Ini
Sejumlah saham kelas berat (heavyweight) babak belur seiring loyonya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di awal 2023.
IDXChannel – Sejumlah saham kelas berat (heavyweight) babak belur seiring loyonya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di awal 2023. Ibarat tak ada rotan akar pun jadi, investor dengan horizon pendek-menengah bisa melirik saham potensial lain.
Menurut data Bursa Efek Indonesia (BEI), per penutupan Senin (16/1/2023), IHSG turun 2,37 persen ke level 6.688,06 selama awal tahun ini (YtD).
Indeks yang berisi saham kakap RI, LQ45, juga minus 2,33 persen selama 11 hari bursa di permulaan 2023.
Duo emiten dengan kapitalisasi pasar (market cap) terbesar di bursa, PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) dan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) masing-masing mengalami net sell Rp1,7 triliun dan Rp1,1 triliun secara YtD. Angka ini terbesar di bursa.
Harga saham BBCA dan BBRI pun turun 4,68 persen dan 8,50 persen.
Menambah tekanan terhadap IHSG, bank kakap lainnya PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) juga turun 6,30 persen YtD seiring net sell asing Rp909,3 miliar.
Raksasa otomotif PT Astra International Tbk (ASII) juga mengalami net sell Rp 241,9 miliar YtD. Harga saham ASII terkoreksi 1,75 persen pada periode yang sama.
Pilah Pilih Saham Potensial
Sejumlah riset memang masih terus menjagokan bank kakap di muka, termasuk ASII.
Riset CGS-CIMB, pada 13 Januari 2023, misalnya, kembali menyematkan overweight kepada sektor bank, seiring proyeksi pertumbuhan kredit yang positif.
Riset UOB (13 Januari 2023) dan BCA Sekuritas (12 Januari 2023) juga memberikan rating overweight untuk sektor perbankan.
Sektor otomotif juga mendapat rating overweight, sebut saja, dari RHB Sekuritas dalam riset 16 Januari 2023.
Namun, seperti disinggung di muka, tak ada salahnya juga melihat saham sektor lainnya yang berpotensi menguat dalam jangka pendek-menengah.
Dalam hal ini, pendekatan teknikal hingga fundamental bisa diaplikasikan.
Untuk menyebut beberapa, setidaknya ada dua saham big cap yang memiliki tren kenaikan (bullish) yang kuat, seperti produsen mie instan PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP) dan tambang nikel PT Vale Indonesia Tbk (INCO).
Harga saham ICBP sebesar Rp10.400 per saham dan INCO Rp7.450 per saham pada Senin (16/1).
Secara analisis teknikal, posisi kedua saham tersebut punya tren kuat.
Ini lantaran setiap pergerakan rerata (moving average/MA) harian periode pendek berada di atas MA periode panjang. Singkatnya, MA20 (hari)>MA50>MA100>MA200.
Untuk para investor pengikut tren, ini merupakan salah satu indikator yang baik untuk memilih saham yang punya arah bullish yang kuat.
Contoh, MA20 untuk ICBP berada di Rp10.215 per saham berdasarkan grafik harian. Apabila bertahan di atas level support tersebut, ICBP berpotensi menguji level resistance terdekat di Rp11.350-an per saham.
Level resistance tersebut sedikit lebih rendah dari harga target (TP)—berdasarkan analisis fundamental--milik riset HP Sekuritas yang mematok di angka Rp11.500 per saham atau potensi kenaikan 10,58 persen dari harga saat ini.
Angka TP tersebut diberikan HP Sekuritas kepada ICBP demi mengantisipasi ‘pemulihan profitabilitas kendati adanya kerugian valuta asing (FX)’.
Riset lainnya dari Mirae Sekuritas, 8 Desember 2022, memberikan TP Rp12.100 untuk ICBP.
Sementara, target harga rerata analis yang dihimpun Stockbit mencapai Rp11.776 per saham.
Namun, apabila ICBP menjebol MA20, ICBP berpotensi menguji support Rp10.095 per saham dan Rp9.805 per saham sebelum menentukan arah selanjutnya.
Untuk INCO rerata target harga analis via Stockbit sebesar Rp7.910 per saham.
Adapun, Ciptadana Sekuritas dalam riset pada 10 Januari 2023 mematok TP Rp8.700 per saham untuk INCO seiring potensi nikel ke depan.
JP Morgan, dalam artikel pada 12 Januari 2023, juga menjagokan INCO, selain MDKA, seiring potensi pembangunan pabrik Tesla di Indonesia. Alasannya, kedua emiten tersebut, punya smelter nikel HPAL (high pressure acid leach).
Riset lainnya, dari UOBKayHian pada 12 Januari 2023, memberikan rating overweight untuk sektor tambang RI. UOB memberikan rekomendasi beli dengan TP Rp9.200 per saham untuk saham INCO.
Dengan tren yang terbilang kuat, saham ICBP dan INCO bisa menjadi saham potensial bagi investor yang mencari alternatif dari saham-saham raksasa utama yang sedang terpukul.
Yang perlu diingat, analisis di atas hanya sebagai panduan awal. Artinya, investor tetap harus mempertimbangkan hal lainnya dan risiko yang mungkin mengganggu sentimen pasar dan fundamental kedua saham tersebut.
Selain itu, kendati berguna sebagai pedoman, kinerja masa lalu tidak serta merta dapat mencerminkan kinerja masa depan suatu aset investasi, termasuk saham di muka.
Asing ‘Kabur’, Lirik Pasar Asia Lain
Keluarnya dana investor asing (net sell)--yang diduga sebagian berpindah ke bursa Asia lainnya yang sedang rebound dan punya valuasi lebih murah, seperti Hang Seng (Hong Kong) hingga China daratan--turut menekan IHSG.
Asing sudah ‘cairin cuan’ (cash out) dengan nilai net sell Rp4,16 triliun di pasar reguler selama awal 2023. Maklum, IHSG 4-an persen dan saham seperti BMRI hingga PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) masing-masing melesat 41 persen dan 36 persen sepanjang 2022.
Bloomberg, pada 9 Januari 2023, misalnya, berpendapat, indeks acuan saham Asia, MSCI Asia, mulai masuk ke bull market (tren menaik) seiring pembukaan China pasca-pengetatan Covid-19 dan pelemahan dolar Amerika Serikat (AS).
MSCI Asia naik 20-an persen dibandingkan dengan level terendah pada 24 Oktober 2022.
Para analis dan strategist, sebagaimana dikutip Bloomberg, memprediksi, 2023 bisa menjadi tahun yang lebih baik buat pasar saham Asia, usai pasar China rontok pada 2022.
Pelonggaran regulasi soal Covid-19 dan kebijakan demi menopang sektor properti yang bermasalah turut mengerek pasar saham China di awal tahun ini.
Sebelumnya, MSCI Asia pernah anjlok hampir 40 persen dari level puncak di awal 2021 lalu.
Melihat hal tersebut, senior strategist di Saxo Capital Markets Pte. Charu Chanana bilang, masih ada risiko yang membayangi ke depan.
“Ada juga beberapa risiko yang harus diperhatikan, seperti pergeseran kebijakan hawkish BOJ [Bank of Japan] dan kinerja keuangan perusahaan. Namun demikian, masih ada ruang bagi pasar Asia untuk mengungguli bursa global lainnya pada 2023,” kata Charu kepada Bloomberg.
Sebelumnya, masih menurut catatan Bloomberg, 5 Januari 2023, ada kecenderungan gelombang pasang aliran dana asing mulai surut awal tahun ini.
Ini seiring pembukaan kembali China yang mulai menggoda fund global untuk tanam duit ke pasar Asia bagian utara.
Mengutip analisis posisi reksa dana Asia selama November, yang disitir Bloomberg, HSBC Holdings Plc, misalnya, mulai mengurangi eksposur ke pasar yang overweight alias sudah naik lumayan seperti Indonesia dan Singapura.
Seiring dengan itu, mereka mulai meningkatkan porsi ke pasar Taiwan dan Hong Kong.
Menurut data CEIC, metrik valuasi atau price to earnings ratio (PER) indeks saham Hong Kong, yakni Hang Sheng per Januari 2023 hanya sebesar 12,19 kali (x). Sedangkan PER dari indeks saham Shang Hai, Shang Hai Stock Exchange mencapai 13,10x.
Angka tersebut lebih murah bila dibandingkan dengan angka PER dari IHSG yang mencapai 15,09x per Januari 2023.
Senior Investment Information Mirae Asset Sekuritas Muhammad Nafan Aji Gusta mengungkapkan, kinerja pasar saham China relatif lebih menarik karena valuasinya yang rendah atau undervalued.
“Dibukanya keran perekonomian China seiring kebijakan open border menimbulkan ekspektasi yang kuat dari investor asing terkait tumbuhnya perekonomian negara tersebut sehingga wajar terjadi net buy asing atau capital inflow di indeks pasar saham China,” kata Nafan dalam wawancara dengan IDX Channel, Senin (16/1).
Sementara pengamat pasar modal sekaligus founder WH Project, William Hartanto menilai, murahnya valuasi saham di China bisa jadi karena bursa di China sempat lama tak bergerak seiring kebijakan zero covid yang menghambat perekonomian di negara tirai bambu tersebut.
Kendati investor asing belakangan ramai ‘cabut’ dari pasar saham dalam negeri, William tetap optimis karena tak selamanya pasar ekuitas dalam negeri mencatatkan net sell asing seiring potensi saham big cap yang masih menarik bagi investor selama labanya masih bertumbuh.
“Namun, perlu waktu bagi investor asing untuk berminat mencatatkan net buy kembali di pasar saham Tanah Air,” kata William kepada IDX Channel, Senin (16/1).
Senada dengan William, Nafan juga berpendapat pergerakan saham big cap kedepannya bakal terapresiasi seiring rilis kinerja laporan keuangan emiten di kuartal IV yang membaik dan semakin progresif.
“Sentimen ini diharapkan bisa mengurangi tekanan dari adanya net sell investor asing yang belakangan terjadi," ujar Nafan. (ADF)
Disclaimer: Keputusan pembelian/penjualan saham sepenuhnya ada di tangan investor.