Bisnis Rintisan Ini Bakal Jadi Sumber Cuan Baru Bagi Pertamina Geothermal (PGEO)
keberadaan bursa karbon bakal menjadi hal yang menarik bagi proyeksi pengembangan bisnis PGEO ke depan.
IDXChannel - Tren penggunaan energi baru terbarukan (EBT) yang bersih dan berkelanjutan (renewable industry) seolah menjadi awal dari ekosistem perekonomian global yang baru.
Berbagai konsep ramah lingkungan bermunculan, mulai dari penerapan ekonomi hijau (green financing), prinsip industri berbasis lingkungan, sosial dan tata kelola (Environment, Social, and Governance/ESG) hingga konsep bursa karbon, perlahan tumbuh menjadi potensi sumber keuntungan baru bagi perusahaan-perusahaan dengan wawasan lingkungan yang memadai.
Tak terkecuali bagi PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO), yang bahkan bisnis utamanya adalah sektor panas bumi, yang notabene merupakan salah satu alternatif pasokan energi bersih dan tentunya ramah lingkungan.
Dengan bakal mulai beroperasinya bursa karbon di Indonesia pada Semester II-2023 mendatang, pihak PGEO menjadi salah satu dari sekian banyak perusahaan yang cukup diuntungkan.
"Ya, betul (bahwa bursa karbon akan menguntungkan PGEO). Sejak tahun lalu kami sudah dapat (keuntungan) dari kredit karbon atas vintage carbon Ulubelu dan Karaha tahun 2016 sampai 2020," ujar Direktur Keuangan PGEO, Nelwin Aldriansyah, di sela kunjungan media ke wilayah kerja panas bumi Kamojang, Rabu (17/5/2023).
Menurut Nelwin, keberadaan bursa karbon memang bakal menjadi hal yang menarik bagi proyeksi pengembangan bisnis PGEO ke depan.
Meski, Nelwin juga mengakui bahwa belum banyak hal detil yang bisa dipersiapkan oleh perusahaan, mengingat peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang bakal menjadi landasan operasional bursa karbon di Indonesia sejauh ini juga belum diterbitkan.
Yang bisa dilakukan PGEO saat ini, Nelwin menjelaskan, baru sebatas mengupayakan penyelesaian sertifikasi di area produksi lain, sehingga kredit karbon untuk tahun 2021 dan seterusnya bisa menjadi sumber pendapatan tambahan bagi bisnis PGEO.
"Dan yang menarik, potensi pendapatan tambahan dari kredit karbon ini akan sepenuhnya menjadi pure profit, karena tidak membutuhkan investasi dan biaya operasional. Bahkan biaya sertifikasi juga dri offchecker. Jadi bisa dibilang zero invest," tutur Nelwin.
Sebagai informasi, bursa karbon merupakan sebuah konsep pasar yang digunakan untuk mendukung pembatasan produksi emisi gas rumah kaca.
Mekanismenya, perusahaan-perusahaan yang berhasil menekan produksi emisinya hingga di bawah ambang batas (cap) yang telah ditentukan bakal mendapatkan insentif berupa kredit karbon.
Kredit karbon tersebut lantas bisa diperdagangkan di bursa karbon, untuk dapat dibeli oleh perusahaan-perusahaan yang dalam proses bisnisnya terbukti masih menghasilkan emisi melebihi ambang batas.
Melalui konsep ini, diharapkan dapat menjadi tekanan secara natural di industri, agar dunia usaha dengan sendirinya terdorong untuk mengurangi produksi emisi dari keseluruhan aktivitas bisnisnya.
Di Indonesia, keberadaan bursa karbon secara spesifik diatur lewat Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK), di mana OJK ditunjuk sebagai pihak yang nantinya berperan sebagai pengawas beroperasinya bursa karbon nasional.
Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia memperkirakan potensi perdagangan karbon di Indonesia mencapai USD300 miliar per tahun. (TSA)