Bos OJK: Bursa Eropa Terjelek Sejak 2018, Kinerja BEI Justru Terbaik se-Asia
OJK menyebut, kondisi bursa saham Eropa tahun lalu sangat berbeda jauh dengan kinerja pasar modal Indonesia.
IDXChannel - Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Mahendra Siregar mengatakan, kondisi bursa saham Eropa tahun lalu sangat berbeda jauh dengan kinerja bursa saham Indonesia atau Bursa Efek Indonesia (BEI).
Dalam sambutannya di Pembukaan Perdagangan BEI 2023, Mahendra mengutip berita salah satu media internasional yang menggambarkan suasana penutupan perdagangan bursa Eropa pada 30 Desember 2022.
"Judulnya European Stocks Lower Ending Brutal Year on a Weak Note. Kata kuncinya adalah brutal dalam berita ini. Kondisi ini jauh berbeda dengan suasana yang kita alami dengan penutupan perdagangan BEI 2022," kata Mahendra.
Dia menjelaskan, Bursa Eropa turun disebabkan kondisi brutal dari perang Rusia-Ukraina, inflasi yang tinggi, serta kebijakan moneter yang ketat.
"Kenapa dianggap brutal, karena ternyata Stoxx Europe 600 turun 12 persen. Yang artinya terjelek sejak 2018, bahkan lebih jelek lagi dibanding pandemi 2021," paparnya.
"Euro zone tahun baru ini masuk kelesuan yang berat, sementara BoE sudah mengatakan ekonomi Inggris akan masuk, istilahnya resesi yang berkepanjangan. Itulah suasana mencekam di Eropa," tutur Mahendra.
Kondisi ini berbanding terbalik dengan pasar modal Indonesia yang justru glowing di tengah gejolak ketidakpastian global.
"Kita patut bersyukur di tengah gejolak ketidakpastian di Eropa dan banyak negara di global, kinerja perekonomian Indonesia dan cerminan pasar modal Indonesia 2022 justru bertahan dan cenderung menunjukkan kinerja positif, bagkan terbaik dibanding ASEAN dan Asia secara umum," jelasnya.
"Tercermin dari IHSG yang ditutup 4 persen meningkat dibanding tahun lalu," ujarnya.
Aktivitas perdagangan 2022, disebutkan Mahendra juga mengalami kenaikan signifkan. Frekuensi transaksi harian mencapai 1,31 juta kali.
"Ini yang terbesar di ASEAN. Kapitalisasi pasar tertinggi mencapai angka Rp9.500 triliun atau USD600 miliar. Artinya 50 persen terhadap PDB Indonesia," imbuh Mahendra.
(FAY)