MARKET NEWS

Bursa Asia Menguat setelah Pemerintah China Menjanjikan Stimulus Ekonomi

Febrina Ratna 25/07/2023 10:24 WIB

Saham Asia melonjak pada Selasa (25/7/2023) setelah Pemerintah China menjanjikan kebijakan untuk mendukung ekonomi yang tersendat.

Bursa Asia Menguat setelah Pemerintah China Menjanjikan Stimulus Ekonomi. (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Saham Asia melonjak pada Selasa (25/7/2023) setelah Pemerintah China menjanjikan kebijakan untuk mendukung ekonomi yang tersendat. Hal itu langsung menenangkan sentimen dan mengangkat saham Hong Kong dan China yang terpukul.

Pernyataan tersebut didukung oleh dolar AS yang melemah menjelang pertemuan Federal Reserve pada pekan ini.

Berdasarkan data Reuters, indeks MSCI untuk saham Asia-Pasifik di luar Jepang (.MIAPJ0000PUS) naik 1,2% dan menghentikan penurunan beruntun enam hari. Sementara itu, Nikkei Jepang (.N225) turun 0,22%.

Shanghai Composite Index (.SSEC) melesat 1,55%, sementara benchmark Hang Seng Index (.HSI) Hong Kong melonjak 3,4% setelah para pemimpin top China berjanji pada hari Senin untuk meningkatkan dukungan kebijakan bagi ekonomi di tengah pemulihan pasca-COVID yang berliku-liku, dengan fokus pada peningkatan permintaan domestik dan menandakan lebih banyak langkah stimulus.

Ahli strategi Saxo Markets mengatakan pertemuan pemimpin China itu mencerminkan pendekatan yang hati-hati terhadap stimulus ekonomi dengan komitmen terbatas. Hal itu merujuk pada pengakuan eksplisit atas tantangan ekonomi yang dihadapi sebagai arah menuju bullish.

Pasar properti China tetap menimbulkan kekhawatiran di kalangan investor, dengan saham dan obligasi di industri real estate China meluncur ke posisi terendah sekitar delapan bulan pada hari Senin. Hal itu dipicu kekhawatiran krisis uang tunai di dua pengembang terbesar di negara tersebut.

Di sisi lain, China akan menyesuaikan dan mengoptimalkan kebijakan properti secara tepat waktu, sebagai tanggapan atas "perubahan signifikan" dalam hubungan penawaran dan permintaan di pasar properti, kata kantor berita negara Xinhua pada Senin malam.

Erin Xin, ekonom Greater China di HSBC, mengatakan komitmen tersebut dapat menunjukkan perubahan lebih lanjut dari kebijakan properti serta nada yang lebih mendukung untuk sektor ini.

"Kami percaya pembuat kebijakan mungkin tetap berhati-hati tentang risiko keuangan, meskipun mereka dapat memberikan dukungan kebijakan lebih lanjut untuk membantu menstabilkan sektor ini."

Indeks pengembang di China daratan (.HSMPI) melonjak 10,5% pada hari Selasa. Sementara itu dari pasar mata uang, yuan China di luar negeri menguat 0,4% menjadi 7,1573 per dolar.

Indeks dolar, yang mengukur mata uang AS terhadap enam rival utama, turun 0,108%, sedangkan yen Jepang bertambah 0,07% menjadi 141,36 per dolar.

Euro naik 0,11% menjadi USD1,1074, setelah mencapai level terendah dua minggu USD1,1059 di awal sesi setelah survei pada hari Senin menunjukkan aktivitas bisnis zona euro menyusut lebih dari yang diharapkan pada bulan Juli, memicu kembali kekhawatiran resesi.

Pasar mengantisipasi Bank Sentral Eropa (ECB) untuk menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin pada hari Kamis tetapi apa yang terjadi setelah itu masih harus dilihat.

Di Amerika Serikat, aktivitas bisnis melambat ke level terendah lima bulan pada Juli, terseret oleh perlambatan pertumbuhan sektor jasa, menurut survei yang diawasi ketat pada Senin. Perlambatan dapat dilihat secara positif di Fed, yang ingin melihat aktivitas tenang untuk menurunkan inflasi.

Para pembuat kebijakan secara luas diperkirakan akan menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin pada hari Rabu, dengan investor dan ekonom mengharapkan kenaikan itu menjadi yang terakhir dalam siklus pengetatan Fed saat ini.

Di pasar energi, minyak mentah AS naik 0,17% menjadi USD78,87 per barel dan Brent berada di USD82,84, naik 0,12% pada hari itu. Emas spot bertambah 0,4% menjadi USD1.961,43 per ons.

Gandum berjangka AS mencapai level tertinggi lima bulan pada hari Selasa, memperpanjang kenaikan menyusul serangan Rusia terhadap pelabuhan Ukraina dan infrastruktur biji-bijian yang memicu kekhawatiran tentang pasokan global jangka panjang dan keamanan pangan.

(FRI)

SHARE