MARKET NEWS

Bursa Saham Global Kebakaran, Memori Tragedi Black Monday 1987?

Maulina Ulfa - Riset 23/10/2023 17:46 WIB

Bursa global kompak memerah pada penutupan perdagangan awal pekan, Senin (23/10/2023).

Bursa Saham Global Kebakaran, Memori Tragedi Black Monday 1987? (Foto: Freepik)

IDXChannel - Bursa global kompak memerah pada penutupan perdagangan awal pekan, Senin (23/10/2023). Sejumlah sentimen menyebabkan kinerja sebagian besar indeks di bursa Asia dan Eropa tertekan.

Terutama dampak perang di Timur Tengah yang melibatkan Israel dan Palestina serta negara-negara barat lainnya.

Tak hanya itu, sinyal hawkish bank sentral paling berpengaruh di dunia, The Federal Reserve (The Fed) Amerika Serikat (AS) cukup membuat pasar bergejolak dalam sepekan terakhir.

Selain itu, imbal hasil obligasi pemerintah AS (US Treasury) tenor 10 tahun kini kembali berada di level 5 persen pada perdagangan hari ini.

Di Tanah Air, menguatnya rupiah dan sinyal hawkish The Fed cukup menjadi beban kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di awal pekan.

Penutupan perdagangan minggu lalu, dari Negeri Paman Sam, indeks Dow Jones ditutup turun 0,81 persen, S&P 500 turun 1,27 persen dan Nasdaq 100 ditutup turun paling dalam 1,55 persen pada Jumat (20/10/2023).

Penurunan ini diikuti oleh sebagian besar bursa Asia di awal pekan ini. Indeks Nikkei 225 di Jepang mengalami penurunan 0,86 persen. Sementara indeks saham Shanghai Composite menurun 1,42 persen. (Lihat grafik di bawah ini.)

Kemudian, indeks KOSPI di Korea Selatan turun 0,76 persen dan indeks ASX 200 di Australia turun 0,85 persen. Nifty 50 di India turun 0,66 persen.

Indeks TOPIX di Jepang turun 0,71 persen. Indeks Strait Times Index di Singapura turun 0,61 persen. Sementara bursa Hang Seng di Hong Kong sedang tutup karena libur Chung Yeung Festival.

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga ditutup merah dengan penurunan mencapai 1,57 persen.

Di benua Eropa, bursa Inggris FTSE 100 dibuka dengan mengalami tekanan sebesar 0,39 persen dan indeks GDAXI di Jerman turun 0,45 persen.

Kinerja IHSG

Kinerja IHSG pada perdagangan hari ini, Senin (23/10/2023), terpantau bergerak di zona merah. Pada pembukaan, indeks dibuka di level 6.849, kemudian terkoreksi pada penutupan sesi pertama.

Pada penutupan sesi pertama, IHSG ditutup turun 1,26 persen atau 86,20 poin ke level 6.762. Seluruh sektor juga parkir di zona merah dengan sektor infrastruktur terkoreksi paling dalam sebesar 3,36 persen.

Hingga penutupan, IHSG parkir di zona merah dengan penurunan sebesar 1,57 persen atau 107,210 poin ke level 6.741,96.

Secara year to date (YTD), kinerja IHSG juga sudah tertekan 1,59 persen dan selama sebulan terakhir telah mengalami tekanan 3,92 persen.

Oktober biasanya menjadi bulan yang indah bagi IHSG. Kinerja IHSG selama Oktober dalam 10 tahun terakhir menghijau 8 kali, dan hanya 2 kali memerah dengan rerata kenaikan 2,14 persen sepanjang 2013 hingga 2022.

Merah terakhir IHSG di bulan Oktober terjadi pada 2018 saat IHSG minus 2,4 persen di bulan tersebut.

Dalam riset Algo Research (22/10) disebutkan, kurangnya katalis di pasar saham Tanah Air dan meningkatnya imbal hasil obligasi global yang mencapai 5 persen sepanjang pekan lalu mendorong menyebabkan terjadinya arus keluar modal asing bersih.

Riset Algo juga menemukan arus keluar ekuitas selama 4 bulan berturut-turut mencapai Rp6 triliun. Sementara pasar obligasi mengalami arus keluar selama 3 bulan berturut-turut sebesar Rp43 triliun, dimana keduanya telah menyebabkan depresiasi rupiah dan cadangan devisa turun secara substansial.

Khususnya di pasar saham, dalam 3 bulan terakhir saham-saham big cap seperti PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), PT Bank Rakyat Indonesia (BBRI) dan PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO) sebagai saham yang diborong asing paling laris.

Sementara, PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) dan PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) dan PT Amman Mineral Internasional Tbk (AMMN) sebagai saham paling banyak diborong asing.

Jika arus modal keluar terus berlanjut, saham-saham berkapitalisasi besar dengan arus masuk asing bersih YTD akan rentan terhadap aksi jual seperti BBRI, BBNI dan PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP).

Akibatnya, posisi institusi-institusi berkapitalisasi besar di pasar modal ini menjadi cukup diminati dan mendorong aksi jual karena institusi domestik tengah mencari perlindungandan bersaing dengan arus asing.

Hal ini membuat likuiditas saham-saham berkapitalisasi kecil dan menengah sangat rentan.

“Akibatnya, kita hanya akan melihat pasar saham menguat jika investor asing mulai beralih ke arus masuk bersih, namun hal ini kecil kemungkinannya karena tidak ada kisah pertumbuhan yang menarik saat ini,” tulis Algo dalam risetnya.

Pada penutupan perdagangan pekan lalu, Algo mencatat melihat IHSG mencoba menguji level support, namun gagal mendapatkan kembali tren naik.

Oleh karena itu, jika kita gagal mendapatkan kembali angka resisiten di atas 6.900 secara konsisten dalam jangka pendek, kecenderungan IHSG akan diuji di level 6.750 terlebih dahulu, lalu 6.560.

“IHSG kami perkirakan masih sideways di kisaran 6.500-7.000,” pungkas riset Algo.

Black Monday 1987 Terulang?

Black Monday - juga dikenal sebagai Black Tuesday di beberapa bagian dunia karena perbedaan zona waktu- adalah kehancuran pasar saham global yang parah dan sebagian besar tidak terduga yang terjadi tepat pada Senin, 19 Oktober 1987.

Kerugian di seluruh dunia akibat turunnya pasar saham global kala itu diperkirakan mencapai USD1,71 triliun. Ini karena pasar saham AS anjlok lebih dari 20 persen dalam satu hari.

Black Monday juga diawali dengan minggu bearish di mana indeks utama pasar saham turun sekitar 10 persen pada minggu tersebut.

Seluruh 23 pasar saham utama dunia juga mengalami penurunan tajam sepanjang Oktober 1987 dampak rambatan dari Black Monday.

Tingkat keparahan krisis ini memicu ketakutan akan ketidakstabilan ekonomi yang berkepanjangan atau bahkan terulangnya kembali Depresi Besar atau Great Depression.

Sentimen Black Monday membuat pasar saham kala itu ambruk di seluruh dunia. Pertama-tama terjadi di pasar Asia selain Jepang, lalu menyebar ke Eropa, Amerika Serikat, dan terakhir Jepang.

Jika diukur dalam dolar Amerika Serikat, delapan negara mengalami penurunan sebesar 20 hingga 29 persen, tiga negara mengalami penurunan sebesar 30 hingga 39 persen yakni Malaysia, Meksiko, dan Selandia Baru. Sementara tiga negara lainnya mengalami penurunan lebih dari 40 persen kinerja saham yakni Hong Kong, Australia, dan Singapura.

Sementara, negara yang paling sedikit terkena dampaknya adalah Austria dengan penurunan hanya sebesar 11,4 persen, sedangkan yang paling terkena dampak adalah Hong Kong dengan penurunan sebesar 45,8 persen.

Pada Jumat, 16 Oktober, di Eropa, indeks FTSE 100 di Bursa Efek London semua pasar di London ditutup secara tak terduga karena penurunan ini (19 Juni 1987 hingga 19 Januari 1988).

Setelah pasar dibuka kembali, kecepatan kehancuran semakin cepat di mana pada tengah hari, Indeks FTSE 100 jatuh 296 poin atau penurunan 14 persen.

Nilainya turun 23 persen dalam dua hari, di mana kira-kira persentase yang sama dengan penurunan NYSE pada hari terjadinya Black Monday.

Saham-saham kemudian terus turun, meskipun dengan laju yang tidak terlalu drastis, hingga mencapai titik terendah pada pertengahan November sebesar 36 persen di bawah puncak sebelum krisis terjadi dan belum pulih hingga 1989. (ADF)

SHARE