Diramal Bisa Anjlok 20 Persen saat Resesi, Intip Kinerja S&P 500 Setahun Ini
Goldman Sachs meramalkan S&P 500 bisa kembali jatuh hingga 20% jika AS memasuki resesi pada 2023.
IDXChannel - Indeks saham utama bursa negeri Paman Sam, S&P 500 diramalkan masih akan mengalami bearish hingga tahun depan.
S&P 500 sendiri merupakan indeks utama di bursa Amerika Serikat (AS) yang terdiri dari 500 perusahaan yang menerbitkan total 503 saham hingga akhir September 2022.
Perusahaan yang terdaftar di S&P 500 mewakili perusahaan teratas dalam industri terkait dan merupakan penopang aktivitas ekonomi AS.
Meski demikian, perusahaan yang ingin melantai di S&P 500 juga harus memenuhi persyaratan khusus.
Hingga 10 Oktober 2022, dari 25 emiten pada indeks S&P 500 terbesar berdasarkan bobot sahamnya masih dikuasai oleh perusahaan yang didirikan Steve Jobs, Apple (AAPL) dengan bobot saham 6,99%. (Lihat grafik di bawah ini.)
Adapun sebanyak 10 investor dengan kepemilikan terbesar teratas di indeks ini akan terdaftar di situs web resmi S&P Global.
Sementara, hingga 4 Oktober 2022, 10 kepemilikan teratas atau top holdings S&P 500 dikuasai di antaranya oleh Apple (AAPL), Microsoft (MSFT), Amazon (AMZN), Tesla (TSLA), Alphabet, Berkshire Hathaway Class B (BRK.B), UnitedHealth Group (UNH), Johnson & Johnson (JNJ), dan Exxon Mobil (XOM).
Kinerja S&P 500 Sepanjang 2022
Kinerja S&P 500 sepanjang tahun ini telah terkoreksi hingga minus 17,45% secara year to date (YTD). Kondisi ini menjadi penurunan tertajam saham tekemuka AS ini.
Sementara di tahun pandemi 2020 hingga tahun lalu, kinerja S&P 500 masih positif di angka 16,26% dan 26,89%. Meskipun angka tersebut masih di bawah level pra pandemi. (Lihat tabel di bawah ini.)
Sumber: Macrotrends, diolah tim riset IDX Channel, Desember 2022
Dalam analisis teknikal, jika suatu saham telah mencapai titik terendah atau dalam istilahnya bottomed out, itu berarti telah mencapai titik terendahnya dan bisa jadi berada pada tahap awal tren naik.
Seringkali bottomed out bisa menjadi sinyal pembalikan. Investor sering melihat titik terendah sebagai peluang untuk membeli saham saat harga saham di bawah harga atau diperdagangkan pada nilai terendahnya.
Namun, ahli strategi di lembaga keuangan Goldman Sachs meramalkan S&P 500 bisa kembali jatuh hingga 20% jika AS memasuki resesi tahun depan.
Skenario base-case mereka untuk S&P 500 melihat penurunan ke 3600 pada paruh pertama tahun ini sebelum diramalkan ke level 4000 pada akhir 2023.
Di era resesi, proyeksi Goladman Sach memperkirakan earnings per share (EPS) akan turun sekitar 11% menjadi USD200. Untuk konteksnya, selama resesi sebelumnya, rata-rata penurunan EPS S&P 500 adalah 13%.
“Dalam skenario seperti itu, kami perkirakan kelipatan price-to-earnings ratio (P/E) S&P 500 akan turun menjadi 14x. Perhatikan bahwa di sekitar resesi sebelumnya, harga dan valuasi saham biasanya turun sementara analis masih memangkas perkiraan pendapatan mereka,” kata perwakilan Goldman Sach mengutip investing.com.
Lebih lanjut, ahli strategi Goldman Sachs juga meninjau kembali prospek perusahaan untuk S&P 500 dan saham AS tahun 2023 setelah banyak investor mengatakan kepada Goldman bahwa mereka terlalu optimis.
Bahkan jika AS menghindari resesi, S&P 500 masih bisa turun secara signifikan karena margin yang menyusut.
“Kami berasumsi bahwa margin akan berkontraksi sebesar 58 bp pada tahun 2023 tetapi telah menyoroti margin sebagai risiko penurunan pendapatan perusahaan tahun depan. Pendapatan yang melonjak mengangkat margin bersih S&P 500 ke rekor tertinggi pada 2021 dan awal 2022, tetapi laporan kuartal tiga menunjukkan margin menyusut yoy untuk pertama kalinya sejak pandemi,” tambah mereka.
Para ahli strategi Goldman Sachs juga melihat skenario saham-saham S&P 500 naik ke 4700 poin jika bisa kembali perform dan The Fed menjadi lebih dovish terhadap suku bunga, serta laba terbukti lebih tangguh dari yang diharapkan.
"Namun, dengan data pasar tenaga kerja terakhir dan pertumbuhan upah di AS masih terlalu dini untuk menyimpulkan. Tampaknya tidak mungkin The Fed akan melonggarkan secara substansial suku bunga di tahun depan kecuali terjadi penurunan prospek ekonomi dan pendapatan," mereka menyimpulkan.
Para ahli strategi menegaskan kembali sikap mereka sebelumnya bahwa investor harus mempertahankan saham yang tampaknya akan meningkatkan margin tahun depan.
Investor juga harus menghindari saham dengan margin yang rentan terhadap kenaikan biaya biaya yang terkait dengan overhead perusahaan secara keseluruhan karena tidak dapat langsung ditelusuri ke produksi produk atau layanan atau disebut dengan istilah SG&A.
Sementara, Morgan Stanley meramalkan nasib S&P 500 juga tidak terlalu baik dengan melihat kesamaan dengan tahun 2008, mengatakan risiko atau imbal hasil S&P 500 dengan menyebut 'sangat tidak menarik'.
Diketahui pada 2008, saham S&P 500 terkoreksi hingga minus 38,49% menurut data Macrotrends.
Sementara investor secara aktif mendiskusikan peluang The Fed menaikkan suku bunga dan laporan data inflasi yang akan datang, Morgan Stanley memperingatkan investor harus lebih memperhatikan risiko laba perusahaan karena perkiraan yang terlalu tinggi.
Selain itu, Morgan Stanley mengatakan kepada kliennya untuk fokus pada data makro dan survei karena jenis data ini cenderung mengarah pada data ekonomi dan pendapatan real.
Pakar strategi saham dan broker juga mengingatkan investor bahwa pasar mengabaikan risiko The Fed setahun yang lalu. Hari ini, investor mengabaikan prediksi risiko saham hanya 225bps untuk S&P 500.
"Hal ini membuat risiko atau imbal baliknya sangat tidak menarik mengingat perkiraan pendapatan kami untuk tahun depan," tulis Morgan Stanley untuk klien mereka, mengutip Investing.com, Selasa (13/12). (ADF)