Dolar Dekati Level Tertinggi 3 Bulan Bikin Rupiah Keok Lagi
Indeks dolar Amerika Serikat (AS) bertahan di sekitar 104,4 pada perdagangan Selasa (6/2/2024), mendekati level tertinggi dalam hampir tiga bulan.
IDXChannel - Indeks dolar Amerika Serikat (AS) bertahan di sekitar 104,4 pada perdagangan Selasa (6/2/2024), mendekati level tertinggi dalam hampir tiga bulan.
Penguatan dolar AS (DXY) karena didukung data ekonomi AS yang kuat dan sinyal hawkish dari bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) mengurangi ekspektasi penurunan suku bunga tahun ini.
Dolar sudah menguat 2,94 persen secara year to date (ytd) dan sudah menguat 1,95 persen secara bulanan. (Lihat grafik di bawah ini.)
Komentar terbaru ketua The Fed semakin membebani pasar di tengah dorongan penurunan suku bunga. Dilansir dari Reuters pada Senin (5/2), Powell saat diwawancarai program televisi CBS 60 Minutes baru-baru ini semakin menekankan bank sentral tak ingin buru-buru menurunkan suku bunga.
“Hal yang sebaiknya dilakukan adalah memberi waktu untuk mengonfirmasi bahwa inflasi turun ke 2 persen secara berkelanjutan. Kami ingin menjawab pertanyaan tersebut dengan hati-hati,” kata Powell.
Dia menambahkan bahwa bank sentral kemungkinan akan bergerak dengan kecepatan yang jauh lebih lambat dalam menurunkan suku bunga dibandingkan ekspektasi pasar. Pasar kini memperkirakan peluang penurunan suku bunga The Fed hanya sebesar 15 persen pada bulan Maret dan memperkirakan penurunan total sebesar 115 basis poin tahun ini, turun dari sekitar 150bps pada awal Januari.
Selain itu, data yang dirilis pada Senin (5/2) menunjukkan bahwa pertumbuhan sektor jasa AS alias PMI Jasa ISM AS meningkat ke level tertinggi dalam empat bulan di 53,4 pada bulan Januari. Angka ini melebihi perkiraan sebesar 52. Angka PMI jasa sebelumnya berada di level 50,5 pada bulan Desember 2023.
Angka tersebut menunjukkan pertumbuhan terkuat di sektor jasa dalam empat bulan, dipimpin oleh pesanan baru (55 vs 52,8), lapangan kerja (50,5 vs 43,8) dan pengiriman pemasok (52,4 vs 49,5). Sementara itu, tumpukan pesanan kembali meningkat (51,4 vs 49,4) sementara pertumbuhan aktivitas bisnis stabil (55,8 vs 55,8) dan tekanan harga meningkat (64 vs 56,7).
“Perusahaan jasa optimis terhadap perekonomian karena potensi dampak penurunan suku bunga. Namun, mereka juga berhati-hati karena inflasi, tekanan biaya yang terkait, dan konflik geopolitik yang sedang berlangsung”, ujar Anthony Nieves, Ketua Komite Survei Bisnis Jasa ISM.
Bikin Rupiah Loyo
Merespons kuatnya dolar AS, Imbal hasil (yield) obligasi Treasury 10-tahun juga melonjak untuk hari kedua berturut-turut karena investor mempertimbangkan arah suku bunga ke depan dan anggapan bahwa pemotongan suku bunga mungkin akan dilakukan lebih lambat dari perkiraan.
Melansir CNBC International, imbal hasil US Treasury 10-tahun naik lebih dari 13 basis poin menjadi 4,168 persen. Sementara untuk tenor 2 tahun imbal hasil US Treasury 10-tahun melonjak hampir 11 basis poin menjadi 4,478 persen. Informasi saja, imbal hasil dan harga obligasi AS memiliki hubungan terbalik dan satu basis poin sama dengan 0,01 persen.
Tak hanya itu, rupiah melemah Rp 1.5734 per USD pada pukul 10.36 WIB. Dalam sebulan, rupiaj sudah loyo 1,58 persen terhadap dolar AS. Melansir Trading View, rupiah berada di posisi Rp15.699 pada penutupan sebelumnya.
Tekanan pada rupiah yang terus berlanjut membuat upaya pemerintah dalam mendorong stabilitas nilai tukar bisa terganggu.
Melansir catatan Bank Indonesia (BI), pada pertemuan akhir tahun 2023, kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah akan terus ditempuh untuk memitigasi dampak gejolak global terhadap pencapaian sasaran inflasi.
“BI mengupayakan terjaganya stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan dalam mendukung pemulihan ekonomi nasional. Kecukupan cadangan devisa juga akan terus kami jaga,” ujar Gubernur BI Perry Warjiyo.
Menurut BI, secara fundamental, nilai tukar rupiah seharusnya dapat bergerak menguat dan stabil sesuai dengan terkendalinya inflasi, surplus transaksi berjalan, menariknya imbal hasil aset keuangan domestik, dan relatif tingginya pertumbuhan ekonomi.
Namun, proyeksi bahwa suku bunga FFR akan tetap tinggi, yield obligasi US Treasury, serta kuatnya dollar Amerika Serikat (AS) memberikan tekanan yang menyebabkan pelemahan berbagai mata uang dunia, termasuk rupiah.
“Bank Indonesia akan menempuh kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah melalui intervensi valuta asing secara spot dan Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF), di samping pembelian surat berharga negara (SBN) di pasar sekunder jika diperlukan,” imbuh Perry.
Melansir data BI, appetite asing di pasar keuangan RI masih cukup terjaga. Berdasarkan data transaksi 29 Januari - 1 Februari 2024, nonresiden di pasar keuangan domestik tercatat beli neto Rp8,51 triliun terdiri dari beli neto Rp5,51 triliun di pasar SBN, beli neto Rp2,46 triliun di pasar saham, dan beli neto Rp0,54 triliun di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).
Selama tahun 2024, berdasarkan data setelmen hingga 1 Februari 2024, nonresiden beli neto Rp0,49 triliun di pasar SBN, beli neto Rp8,75 triliun di pasar saham, dan beli neto Rp21,46 triliun di SRBI.
Pelemahan rupiah juga dikhawatirkan akan mengganggu kinerja sektor riil. debitur dari sektor riil yang aktif menjalankan bisnis impor, akan sulit membayar kredit perbankan saat rupiah melemah.
Pelemahan rupiah juga bisa mendorong kenaikan inflasi pangan kembali. Terutama jika pemerintah mendorong aktivitas impor pangan strategis. (ADF)