Dua Saham Blue Chip Tradisional Ini Melesat 40 Persen di 2025
Dua saham blue chip, PT Astra International Tbk (ASII) dan PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk (TLKM), mencatatkan kenaikan hingga sekitar 40 persen YtD.
IDXChannel – Dua saham blue chip tradisional, PT Astra International Tbk (ASII) dan PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk (TLKM), mencatatkan kenaikan hingga sekitar 40 persen sepanjang 2025 di tengah aliran masuk dana investor asing.
Kinerja tersebut berbanding terbalik dengan saham unggulan sekelasnya di sektor perbankan, yakni empat bank besar, yang justru cenderung melemah pada periode yang sama.
Menurut data Bursa Efek Indonesia (BEI), hingga penutupan sesi I Selasa (30/12/2025), saham ASII melonjak 46,83 persen secara year-to-date (YtD) ke level Rp6.625 per unit.
Investor asing melakukan aksi beli bersih (net buy) di saham ASII senilai Rp5,89 triliun di pasar reguler sepanjang tahun ini.
Setali tiga uang, saham TLKM melejit 38,53 persen YtD menjadi Rp3.480 per unit. Asing membukukan net buy sebesar Rp7,14 triliun di periode tersebut.
Lonjakan kedua saham tersebut melampaui kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang menguat 21,60 persen ke level 8.609 sepanjang 2025, sekaligus menjadi laju kenaikan tahunan tertinggi indeks sejak 2017.
Proyeksi Astra
Prospek ASII dinilai tetap solid, ditopang kemampuan perseroan dalam menghasilkan arus kas bebas (free cash flow) yang konsisten.
DBS Group Research menilai, fondasi keuangan yang kuat tersebut memberi ruang bagi Astra untuk terus meningkatkan imbal hasil kepada pemegang saham.
Dalam riset terbarunya, dikutip Dow Jones Newswires, pada 2 Desember 2025, DBS Group Research menyoroti langkah Astra meluncurkan program pembelian kembali saham (buyback) senilai Rp2 triliun.
Kebijakan ini dinilai menegaskan komitmen manajemen dalam memperkuat nilai bagi pemegang saham. Dengan belanja modal yang relatif stabil, DBS melihat Astra memiliki ruang yang cukup untuk menaikkan rasio pembayaran dividen ke kisaran 55-60 persen.
DBS memproyeksikan Astra mampu membukukan free cash flow yield sebesar 13-17 persen sepanjang 2025-2027, yang diperkirakan menjadi pendorong utama valuasi saham.
Selain itu, DBS juga melihat adanya peluang divestasi aset non-inti, khususnya bisnis perkebunan kelapa sawit.
Seiring pandangan positif tersebut, DBS menaikkan target harga saham Astra menjadi Rp8.100 dari sebelumnya Rp6.500, dengan rekomendasi beli tetap dipertahankan.
Sementara itu, kinerja Astra dari segmen otomotif diperkirakan menguat pada kuartal IV-2025. Analis Maybank Sekuritas Indonesia, Paulina Margareta, mencatat, dikutip Dow Jones Newswires, sekitar 27 persen penjualan mobil tahunan Astra secara historis terjadi pada kuartal terakhir.
Peluncuran mobil hybrid listrik mass market yang diperkirakan berlangsung sebelum akhir 2025 juga dinilai akan membantu menjaga pangsa pasar Astra di kisaran 52-53 persen pada 2025-2026.
Namun, Paulina menilai kinerja anak usaha Astra di sektor konstruksi dan pertambangan, United Tractors, masih berpotensi tertekan. Faktor curah hujan yang tinggi serta penjualan alat berat yang lebih rendah diperkirakan masih membebani kinerja segmen tersebut.
Prospek Telkom
Kinerja jangka pendek TLKM dinilai masih cenderung biasa, namun prospek jangka panjangnya disebut lebih menjanjikan berkat sejumlah aksi korporasi strategis. Hal tersebut disampaikan Samuel Sekuritas dalam riset yang terbit pada 17 November 2025.
Samuel memproyeksikan pendapatan TLKM tumbuh terbatas di kisaran satu digit rendah dan mencapai Rp152 triliun pada 2026, atau naik 2,8 persen secara tahunan.
Pertumbuhan ini dinilai masih tertekan oleh penurunan bisnis legacy yang lebih cepat dari perkiraan serta ketatnya persaingan di segmen fixed broadband.
Meski demikian, TLKM telah menyiapkan sejumlah langkah untuk memperkuat profitabilitas jangka panjang.
Aksi tersebut mencakup rencana spin-off Infranexia, dengan perjanjian pengalihan aset serat optik wholesale senilai Rp35,8 triliun, pencarian investor strategis global untuk bisnis pusat data (data center), serta penyederhanaan jumlah anak usaha hingga dua pertiga, dari 61 menjadi sekitar 19-20 entitas.
Samuel menilai inisiatif tersebut, ditopang proyeksi kenaikan konsumsi data hingga 16,3 GB per bulan serta tambahan pendapatan dari penyewaan serat optik melalui skema open access Infranexia pada 2026, berpotensi mendorong kinerja TLKM ke depan.
Namun, dengan potensi kenaikan harga saham yang dinilai terbatas, Samuel Sekuritas menurunkan rekomendasi TLKM menjadi hold dengan target harga tetap Rp3.700.
Rekomendasi ini mencerminkan valuasi 2026F EV/EBITDA sebesar 5,4 kali dan potensi kenaikan harga sekitar 4,2 persen.
Samuel juga mencatat sejumlah risiko jangka pendek yang masih membayangi, antara lain persaingan yang semakin ketat, pertumbuhan pelanggan yang melambat, serta potensi perang harga di segmen fixed broadband, meski pendekatan yang lebih rasional di bisnis seluler dinilai dapat membantu pemulihan bisnis inti. (Aldo Fernando)
Disclaimer: Keputusan pembelian/penjualan saham sepenuhnya ada di tangan investor.