Ekspor Batu Bara ke China Turun Tajam, Emiten Tambang Tertekan
Ekspor batu bara ke China anjlok 30 persen pada Juni 2025 ke level 11,6 juta ton.
IDXChannel - Ekspor batu bara ke China anjlok 30 persen pada Juni 2025 ke level 11,6 juta ton.
Dari sisi impor, China hanya memasok 91 juta ton batu bara Indonesia selama semester I-2025, atau turun 12 persen year on year (yoy).
Angka ini lebih tinggi dibandingkan negara lain seperti Rusia yang turun 4 persen, Mongolia turun 4 persen, dan Australia turun 1 persen.
Secara umum, impor batu bara China pada Juni 2025 turun ke level 33 juta ton, menandai impor bulanan yang terendah sejak Februari 2023. Ini membuat total impor batu bara China selama paruh pertama turun 11 persen menjadi 221,7 juta ton.
Adapun tren penurunan impor batu bara China seiring meningkatnya produksi batu bara di negara tersebut.
Selain itu, penurunan harga batu bara global telah membuat batu bara berkualitas tinggi, yang menghasilkan lebih banyak energi per ton, menjadi lebih kompetitif dari segi biaya. Hal ini menekan permintaan pasokan batu bara Indonesia yang memiliki kalori lebih rendah.
“Realisasi impor batu bara China di atas dapat menjadi indikasi kinerja volume emiten yang lemah pada kuartal II-2025, terutama bagi emiten yang cukup banyak mengekspor batu bara kalori rendah ke China,” demikian dikutip dari riset Stockbit Sekuritas pada Rabu (23/7/2025).
Emiten-emiten yang terdampak antara lain, PT Resource Alam Indonesia Tbk (KKGI) mengekspor sebesar 32 persen dari total volume penjualan 2024, PT Indika Energy Tbk (INDY) sebesar 35,8 persen dan PT Bayan Resources Tbk (BYAN) sebesar 20 persen.
“Secara lebih umum, lemahnya permintaan dari China dan India berpotensi berdampak negatif terhadap produksi, sehingga menimbulkan risiko tidak tercapainya target produksi emiten-emiten batu bara pada tahun ini,” lanjut riset tersebut.
Sebagai informasi, target produksi nasional pada 2025 di level 740 juta ton sudah merepresentasikan penurunan 11,3 persen secara tahunan dibandingkan realisasi 2024 di level 834,1 juta ton.
Lebih lanjut, penurunan produksi juga dapat berdampak negatif terhadap emiten jasa pertambangan, seperti kontraktor dan transportasi pertambangan.
(DESI ANGRIANI)