MARKET NEWS

Emas hingga Nikel Menguat Serempak, Reli Logam Berlanjut di Penghujung 2025

Desi Angriani 25/12/2025 06:00 WIB

Harga komoditas logam kategori precious metal maupun industrial metal kompak menguat dalam sepekan terakhir.

Emas hingga Nikel Menguat Serempak, Reli Logam Berlanjut di Penghujung 2025 (Foto: dok Freepik))

IDXChannel - Harga komoditas logam kategori precious metal maupun industrial metal kompak menguat dalam sepekan terakhir dan melanjutkan tren kenaikan sepanjang 2025. 

Emas dan tembaga bahkan telah mencetak rekor tertinggi sepanjang masa atau all-time high (ATH), sementara nikel mulai menunjukkan tanda-tanda pemulihan setelah tertekan hampir sepanjang tahun.

Penguatan ini mencerminkan kombinasi faktor makro global, mulai dari kebijakan moneter longgar, pergeseran preferensi aset lindung nilai, hingga prospek permintaan industri berbasis teknologi.

Harga emas mencatat kenaikan sekitar 3 persen dalam sepekan terakhir dan sempat menembus level psikologis USD4.500 per troy ounce pada perdagangan intraday Rabu (24/12/2025), sebelum terkoreksi ke kisaran USD4.487 per ons. Secara year-to-date (YTD), emas telah melonjak sekitar 71 persen, menjadikannya salah satu reli tahunan tertinggi dalam beberapa dekade terakhir.

Kenaikan harga emas terutama ditopang oleh pembelian berkelanjutan dari bank sentral global yang tengah melakukan diversifikasi cadangan devisa dari dolar AS atau dedolarisasi. Selain itu, ekspektasi pemangkasan suku bunga acuan, khususnya oleh Federal Reserve, turut meningkatkan daya tarik emas sebagai aset lindung nilai. Arus masuk dana ke exchange traded fund (ETF) berbasis emas juga memperkuat permintaan.

Tidak hanya emas, komoditas logam industri seperti tembaga dan timah juga mencatat kinerja impresif. Harga tembaga menguat sekitar 38 persen YTD, sementara timah melonjak hingga 47 persen YTD. Keduanya diuntungkan oleh prospek permintaan jangka panjang seiring pesatnya pengembangan teknologi artificial intelligence (AI), pusat data, dan elektrifikasi.

Dari sisi pasokan, pasar juga menghadapi pengetatan akibat gangguan operasional tambang, permasalahan perizinan, serta kebijakan larangan ekspor di sejumlah negara produsen. Data Bloomberg menunjukkan, pergerakan harga tembaga dan timah memiliki korelasi positif dengan indeks saham teknologi AS, Nasdaq, mencerminkan keterkaitan erat antara pertumbuhan sektor teknologi dan kebutuhan logam industri.

Harga aluminium juga tercatat menguat sekitar 15 persen YTD. Kenaikan ini dipengaruhi oleh potensi berkurangnya pasokan global, menyusul kemungkinan penutupan smelter di Mozambik serta pembatasan produksi aluminium di China.

Sementara itu, harga nikel mencatat kenaikan mingguan tertinggi di antara komoditas logam utama lainnya, yakni sekitar 9 persen dalam sepekan terakhir ke level USD15.739 per ton. Sebelumnya, harga nikel sempat menyentuh titik terendah dalam delapan bulan di level USD14.263 per ton pada 16 Desember 2025.

Pemulihan harga nikel dipicu oleh ekspektasi pasar bahwa pemerintah Indonesia akan memangkas produksi bijih nikel pada 2026, setelah periode kelebihan pasokan yang bersumber dari Indonesia dan China menekan harga sepanjang 2025.

Saham emiten logam ikut terangkat

Reli harga komoditas logam berdampak langsung pada kinerja saham emiten terkait di Bursa Efek Indonesia (BEI). Sejak awal tahun, saham emiten emas mencatat lonjakan signifikan, di antaranya PT Bumi Resources Minerals Tbk (BRMS) yang naik sekitar 214 persen ytd, PT Archi Indonesia Tbk (ARCI) melonjak hingga 581 persen, serta PT Hartadinata Abadi Tbk (HRTA) yang menguat sekitar 479 persen.

Di sektor timah, saham PT Timah Tbk (TINS) tercatat naik sekitar 204 persen ytd. Sementara itu, saham emiten nikel mulai merespons positif pemulihan harga nikel dalam sepekan terakhir, seperti PT Vale Indonesia Tbk (INCO) yang menguat sekitar 29 persen dan PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL) naik sekitar 10 persen.

Menurut Stockbit, Rabu (24/12/2025) penguatan serempak harga logam ini menegaskan, bahwa 2025 menjadi tahun penting bagi sektor komoditas, baik sebagai aset lindung nilai maupun sebagai penopang rantai pasok industri berbasis teknologi. 

Ke depan, dinamika kebijakan moneter global, strategi bank sentral, serta kebijakan produksi di negara produsen utama akan menjadi faktor kunci yang menentukan keberlanjutan reli logam pada 2026.

(DESI ANGRIANI)

SHARE