Enam Indeks Sektoral Saham dengan Kinerja Terburuk di 2023
Hal tersebut seiring dengan melemahnya pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sebesar 2,76% pada periode yang sama.
IDXChannel - Mayoritas indeks sektoral saham mencatatkan kinerja terburuk sepanjang semester I-2023. Hal tersebut seiring dengan melemahnya pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sebesar 2,76% pada periode yang sama.
Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI) hingga Juni 2023, indeks sektoral dengan kinerja terburuk pertama adalah IDX Energy yang turun hingga 23,76%.
Berbeda dengan tahun sebelumnya, sektor energi semakin terpuruk imbas dari harga komoditas yang anjlok sejak awal tahun. Jika dilihat lagi berdasarkan segmen bisnisnya, dalam segmen minyak, gas dan batu bara masih dipimpin oleh PT Bayan Resources Tbk (BYAN) dari segi market cap yang mencapai Rp516.667 triliun.
Meski kapitalisasi masih tinggi, saham BYAN terpantau turun, sempat menembus Rp23.800 di Januari 2023 dan kemudian ditutup Rp15.500 pada 27 Juni 2023.
Masih dalam segmen bisnis yang sama, emiten batu bara lainnya yakni PT Adaro Energy Indonesia Tbk (ADRO) juga masih mencatatkan market cap Rp71.329 triliun per Juni 2023. Sama seperti BYAN, saham ADRO juga terpantau turun di periode semester I ini, dari Rp3.850 menjadi Rp2.230 pada akhir Juni.
Ini menjadikan indeks yang berisikan saham-saham tambang komoditas energi tersebut sebagai indeks sektoral dengan kinerja paling jeblok di Bursa Efek Indonesia.
Untuk segmen emiten gas, PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS) juga mencatatkan penurunan dari segi harga saham. Saham PGAS sempat menembus Rp1.770 pada Januari lalu dan kemudian turun ke Rp1.305 pada Juni 2023.
Terakhir, segmen bisnis minyak di sektor energi seperti PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC) yang mencatat penurunan signifikan dalam harga sahamnya. Sempat tembus Rp1.430 per saham di Januari, namun pada Juni 2023 menyentuh Rp890.
Meski memasuki semester II 2023 cenderung stabil, sejumlah analis menilai harga komoditas batu bara dan minyak masih memiliki potensi terkoreksi ke depan seiring dengan maraknya sentimen negatif.
Untuk segmen bisnis alternative energy atau energi alternatif, ada tiga emiten yang masih tercatat dengan kapitalisasi pasar rendah dan harga sahamnya di bawah Rp200 per saham.
Emiten tersebut diantaranya PT Eterindo Wahanatama Tbk (ETWA), yang berpotensi delisting seperti PT Sky Energy Indonesia Tbk (JSKY), dan PT Semacom Integrated Tbk (SEMA).
Indeks sektoral dengan kinerja terburuk lainnya adalah IDX Sector Basic Materials dengan koreksi 18,35%. Sektor barang baku ini berisi emiten yang bergerak di bidang barang kimia, material konstruksi, produk kayu dan kertas.
Jika dilihat dari market cap penopang indeks ini, ada saham PT Chandra Asri Petrochemical Tbk (TPIA) yang terdepan dengan Rp181.674 triliun. Penurunan saham TPIA juga cenderung terbatas dari Rp2.560 di Januari, menjadi Rp2.100 di Juni 2023.
Selanjutnya ada emiten industri pertambangan nikel produsen electronic vehicle (EV) yakni PT Merdeka Battery Materials Tbk (MBMA). Market cap MBMA masih tercatat Rp87.476 triliun, namun harga sahamnya turun dari Rp955 di Januari menjadi Rp810 di akhir Juni.
Kemudian menyangkut sentimen lain di industri pertambangan nikel, PT Vale Indonesia Tbk (INCO) juga mengalami hal serupa. Meski market cap INCO masih Rp62.599 triliun, saham Vale juga koreksi dari Rp7.750 di Januari menjadi Rp6.300 per saham di Juni 2023.
Adapun per Rabu (23/8/2023) saham INCO terpantau semakin melemah, turun 0,41% menjadi Rp6.025. Hal tersebut disinyalir terkait proses pelepasan sejumlah saham (divestasi) Vale Canada Ltd (VCL) di Vale Indonesia yang ditargetkan akan diambil alih oleh Holding BUMN Pertambangan MIND ID pada bulan Agustus 2023 ini.
Beralih ke indeks sektoral saham lainnya yang membukukan kinerja kurang baik, tepatnya konsisten turun seperti biasanya yakni IDX Sector Technology dengan koreksi 7,40%.
Seperti yang investor ketahui, bobot terbesar di sektor energi masih dipegang oleh PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO) dengan market cap Rp130.280 triliun per Juni 2023. Untuk harga saham GOTO sendiri juga masih terpantau melemah dari Rp147 di Mei 2023 dan Rp110 per saham di Juni 2023.
Saham GOTO sejalan dengan kinerja fundamentalnya yg masih membukukan rugi bersih Rp7,21 triliun pada semester I-2023. Capaian itu menyusut 49,08% dibanding kerugian semester I tahun lalu (year-on-year/yoy) yang mencapai Rp14,16 triliun.
Masih dalam segmen bisnis software & IT services di sektor teknologi, bobot terbesar kedua setelah GOTO adalah PT DCI Indonesia Tbk (DCII) yang merupakan emiten penyedia data center terkemuka di Indonesia yang didirikan pada tahun 2011.
DCI Indonesia punya market cap Rp88.854 triliun per Juni 2023. Harga saham DCII juga tak koreksi signifikan selama enam bulan pertama ini, dari Rp38.000 di Januari ke Rp37.275 per saham di Juni 2023.
Beralih ke emiten dengan market cap terkecil di sektor ini diluar saham delisting, seperti PT Tourindo Guide Indonesia Tbk (PGJO) yang hanya Rp70 miliar, emiten ini terpantau terus terkena auto reject.
Berbeda dengan saham teknologi lainnya, PGJO minim melakukan aksi korporasi dan harga sahamnya konsisten dibawah Rp100 yakni tepatnya Rp77 pada perdagangan Rabu (23/8/2023).
Untuk segmen bisnis perangkat keras & peralatan teknologi di sektor ini masih ditopang oleh PT Metrodata Electronics Tbk (MTDL) dengan market cap Rp6.455 triliun. Meski sahamnya juga terpantau koreksi, MTDL sempat membagikan dividen sebesar Rp178 miliar untuk tahun buku 2022.
Beralih ke indeks sektoral saham lainnya yang cukup terdampak karena peralihan pasca pandemi yakni IDX Sector Healthcare yang mencatat kinerja dengan koreksi 5,33%.
Dalam segmen healthcare equipment & providers, penopang utama sektor kesehatan ini masih ada emiten rumah sakit PT Mitra Keluarga Karyasehat Tbk (MIKA). Tercatat laba MIKA per semester I ini susut 14,47% menjadi Rp453,1 miliar dari Rp529,76 miliar pada semester I 2022.
Penurunan laba imbas pendapatan rawat inap dan rawat jalan sedikit menurun yakni 1,16% di semester I 2023. Di sisi lain, ada pertumbuhan moderat dalam jumlah hari rawat inap dan kunjungan rawat jalan.
Berbeda dengan emiten PT Siloam International Hospitals Tbk (SILO) yang mencatatkan kenaikan pendapatan 19,1% year on year (YoY) menjadi Rp4,09 triliun. SILO juga membukukan lonjakan laba bersih 142,5% YoY menjadi Rp516 miliar.
SILO juga memiliki modal berharga berkat keberhasilan mempertahankan payer mix yang optimal. Pada semester pertama lalu, sekitar 83% dari pendapatan SILO berasal dari pasien pribadi yang mana lebih dari 50% pendapatan datang dari klien korporasi dan asuransi. Pada saat yang sama, kontribusi pendapatan SILO dari pasien BPJS stabil sekitar 18%.
Segmen bisnis indeks sektor kesehatan lainnya adalah pharmaceuticals & health care research atau yang berisi emiten farmasi seperti PT Kalbe Farma Tbk (KLBF). Perusahaan dengan kapitalisasi besar di sektor ini mencatat kenaikan penjualan tetapi laba susut hingga Juni 2023.
Kalbe Farma membukukan laba periode berjalan yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk sebesar Rp1,52 triliun pada semester I-2023. Laba tersebut susut 6,5% dari periode sama tahun sebelumnya Rp1,63 triliun.
Dengan demikian, laba per saham dasar yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk Rp32,87 pada semester I-2023 dari periode sama tahun sebelumnya Rp35,11.
Indeks sektoral saham dengan kinerja terburuk selanjutnya adalah IDX Sector Infrastructures dengan pelemahan 2,09%. Sektor infrastruktur khususnya emiten pengelola jalan tol beberapa waktu lalu sempat terangkat dengan lonjakan pertumbuhan saat mudik Lebaran.
Sebagai gambaran, PT Jasa Marga (Persero) Tbk (JSMR) mencatat peningkatan pendapatan tol sebesar 21,7% selama H-8 sampai H+8 Hari Raya Idul Fitri 1444 H (14 April sampai dengan 1 Mei 2023) dibandingkan dengan pendapatan tol pada periode normal di 2022.
Peningkatan pendapatan Jasa Marga tak sejalan dengan pergerakan harga sahamnya yang terpantau melemah tipis, dari Rp3.960 menjadi Rp3.800 per Juni 2023.
Di tahun Pemilu 2024, kinerja emiten jalan tol juga berpotensi bisa meningkat. Secara historis pun di tahun pemilu kinerja saham di sektor infrastruktur selalu tumbuh.
Sedangkan segmen bisnis konstruksi dari sektor ini seperti PT PP (Persero) Tbk (PTPP) sedang mendongkrak posisi likuiditas dengan mengejar target baru senilai Rp35 triliun hingga tutup 2023.
Untuk meningkatkan kontrak baru, PTPP menargetkan proyek yang akan didominasi oleh proyek APBN, seperti infrastruktur dan bangunan gedung serta belanja modal BUMN serta bagian kecil proyek swasta.
Kemudian untuk segmen bisnis telekomunikasi seperti PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk (TLKM) juga menopang sektor infrastruktur. Dengan kapitalisasi terbesar di sektor ini, TLKM sayangnya masih mencetak penurunan harga saham dengan Rp4.000 per Juni 2023 dari sebelumnya Rp4.500 di Januari 2023.
Dari segmen bisnis utilitas di sektor infrastruktur, ada emiten BUMN yang baru bergabung di pasar modal yakni PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO). Emiten ini mencatatkan kinerja saham positif setelah mengumumkan kinerja cemerlang sepanjang semester I-2023, namun belum mampu mengerek indeks sektor infrastruktur naik.
Dalam 6 bulan pertama tahun ini, PGEO mencatatkan kenaikan laba 30,1% menjadi USD92,7 juta. Tak kalah impresif, kinerja top line perusahaan juga terdongkrak 12% (yoy) menjadi USD206,73 juta dibandingkan dengan periode sebelumnya yang tercatat sebesar USD184,73 juta.
Beralih ke indeks sektoral saham dengan kinerja terburuk terakhir yaitu IDX Sector Industrial dengan pelemahan 1,04%. Dari segmen bisnis industrial goods ada emiten PT United Tractors Tbk (UNTR) yang menjadi penopang sektor industri.
UNTR punya market cap terbesar dengan Rp86.819 triliun per Juni 2023. Padahal, saham UNTR terpantau bergerak naik di perdagangan kemarin, namun belum mampu mengangkat sektor industri secara keseluruhan.
Untuk sektor industrial services ada emiten PT Jasuindo Tiga Perkasa Tbk (JTPE) yang menargetkan penjualan tahun ini tumbuh sebesar 20% yaitu sebesar Rp1,7 triliun.
Optimisme tersebut seiring dengan peluang pertumbuhan dalam segmen produk identity security, dimana hal ini didukung oleh data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang mengatakan bahwa jumlah pemilih sebanyak 52% akan didominasi oleh generasi muda yaitu pemilih dalam rentang usia 17-40 tahun.
Terakhir ada segmen multi-sector holdings di sektor industri yakni emiten PT Astra International Tbk (ASII). Perusahaan yang punya enam lini bisnis tersebut digadang-gadang para analis punya valuasi saham yang menarik karena gencar ekspansi.
ASII termasuk saham blue chip yang ada di indeks LQ45. Selama 5 hari perdagangan terakhir, harga saham ASII terakumulasi susut 150 poin atau 2,18%. Namun sejak awal tahun 2023 ini, harga saham ASII dalam tren naik. Pada awal tahun 2023, harga saham ASII masih berada di level Rp5.600-an.
Secara bisnis, Astra Internasional juga gencar ekspansi dengan telah menyelesaikan akuisisi PT Tokobagus alias OLX. Meski demikian, hasil akuisisi dinilai belum akan dinikmati dalam jangka pendek.
Berikut indeks sektoral saham dengan kinerja terburuk sepanjang semester I-2023;
- IDX Sector Energy -23,76%
- IDX Sector Basic Materials -18,35%
- IDX Sector Technology -7,40%
- IDX Sector Healthcare -5,33%
- IDX Sector Infrastructures -2,09%
- IDX Sector Industrial -1,04%
(DES)