MARKET NEWS

Era Suku Bunga Tinggi, Bagaimana Nasib Emiten Menara TOWR-TBIG Cs?

Melati Kristina - Riset 03/10/2022 14:57 WIB

Era suku bunga tinggi berdampak bagi kelangsungan kinerja emiten menara telekomunikasiyang memiliki tingkat utang yang tinggi.

Era Suku Bunga Tinggi, Bagaimana Nasib Emiten Menara TOWR-TBIG Cs? (Foto: MNC Media)

IDXChannel – Kenaikan suku bunga menghantui kinerja emiten menara komunikasi. Pasalnya, emiten sektor tersebut memiliki tingkat utang yang tinggi sehingga memengaruhi kinerja emiten kedepannya.

Adapun Bank sentral Amerika Serikat (AS) atau Federal Reserve (The Fed) kembali menaikkan suku bunga yang kemudian diikuti oleh keputusan Bank Indonesia (BI) untuk turut menaikkan suku bunga acuan.

Melansir dari Investing.com, The Fed menaikkan suku bunga acuan menjadi kisaran 3,00 persen-3,25 persen atau naik sebesar 75 basis poin (bps). Sementara BI menaikkan BI-7 Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 50 basis poin (bps) menjadi 4,25 persen.

Keputusan tersebut tentunya berdampak signifikan bagi kelangsungan sektor menara komunikasi di tengah penguatan mata uang dollar AS dan tingginya rasio utang emiten-emiten tersebut.

Berdasarkan laporan keuangan emiten, perusahaan menara memiliki debt to equity ratio atau DER yang tinggi. DER merupakan rasio utang dibandingkan dengan ekuitas.

Adapun PT Centratama Telekomunikasi Indonesia Tbk (CENT) memiliki DER tertinggi dibanding emiten menara lainnya, yakni mencapai 1.752,25 persen dengan liabilitas (utang) yang mencapai Rp18,26 triliun di semester I-2022.

Sedangkan emiten lain juga memiliki DER di atas 200 persen, seperti PT Sarana Menara Nusantara Tbk (TOWR) dan PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBIG), yang masing-masing DERnya sebesar 391,14 persen dan 233,64 persen.

Sementara PT Dayamitra Telekomunikasi Tbk (MTEL) memiliki DER yang paling rendah, yakni hanya sebesar 64,39 persen.

DER Melambung, Bagaimana Kinerja Keuangan Emiten?

Memiliki DER tertinggi, kinerja keuangan CENT masih mencatatkan pertumbuhan pendapatan bersih sebesar 97,34 persen secara year on year (yoy) menjadi Rp568,30 miliar. Namun demikian, rugi bersih emiten ini membengkak hingga 150,28 persen menjadi Rp415,01 miliar.

Sedangkan TOWR, pendapatan bersihnya juga meningkat sebesar 33,85 persen yoy menjadi Rp5,31 triliun. Sementara laba bersihnya masih naik meskipun hanya 0,08 persen menjadi Rp1,9 triliun.

Selain kedua emiten menara tersebut, MTEL juga masih mencatatkan pertumbuhan pendapatan bersih dan laba bersih sepanjang semester I-2022.

Berdasarkan laporan keuangan MTEL, pendapatan bersih emiten ini masih tumbuh 15,5 persen yoy menjadi Rp3,7 triliun. Sedangkan laba bersihnya melesat 27,2 persen menjadi Rp891,5 miliar.

Pendapatan dari emiten ini di semester I-2022 sebagian besar berasal dari provider telekomunikasi seperti Telkomsel, Indosat, dan XL Axiata.

Sedangkan margin EBITDA MTEL juga bertumbuh hingga 16,6 persen di semester I-2022 menjadi Rp2,9 triliun. Sementara TBIG memiliki margin EBITDA yang lebih tinggi di antara emiten menara lainnya, yakni sebesar 87,4 persen di semester I-2022.

Adapun margin EBITDA TOWR mencapai 86 persen. Dengan demikian, tingginya EBITDA TBIG menunjukkan bahwa emiten ini dapat mengelola biaya operasionalnya dengan lebih efisien.

Di samping itu, dari segi tenancy ratio, TBIG lebih unggul dengan rasio mencapai 1,89x, sedikit di atas TOWR yang rasionya sebesar 1,88x.

Informasi saja, tenancy ratio adalah jumlah penyewaan yang dimiliki sebuah perusahaan menara telekomunikasi di menaranya dibagi dengan jumlah total menara.

Dengan kinerja yang masih bertumbuh positif di semester I-2022, riset Sucor Sekuritas bertajuk Equity Research: Tower Bersama Infrastructure yang dirilis pada Jumat (30/9) menyampaikan bahwa kinerja TBIG tidak terpengaruh dengan naiknya suku bunga yang berdampak pada utang emiten.

“TBIG tidak emiliki jadwal pembayaran utang yang besar dalam waktu dekat, karena utang emiten sebesar USD397 juta hingga USD449 juta akan jatuh tempo pada 2025-2027 mendatang,” tulis Analis Sucor Sekuritas, Christofer Kojongian, Jumat (30/9).

Sedangkan dalam riset tersebut turut disampaikan, TBIG telah menghimpun dana sebesar Rp34 triliun dari obligasi, pinjaman, dan wesel. Adapun kurs USD dari 2015-2019 yang tumbuh sebesar 5,25 persen dan kurs sejak 2020 sekitar 2,75 persen-4,25 persen, menjadi faktor pendukung bagi TBIG dalam menghadapi era suku bunga tinggi.

Rapor Saham Merah

Menurut Bursa Efek Indonesia (BEI) per penutupan sesi I, Senin (3/10), kinerja saham emiten menara secara year to date (YTD) masih memerah.

Memimpin merahnya rapor saham sepanjang 2022, harga saham CENT terkontraksi hingga minus 37,50 persen pada penutupan sesi I, Senin (3/10).

Selain CENT, dua emiten lainnya yang sahamnya memerah yaitu TBIG dan MTEL. Menurut data BEI pada periode yang sama, saham TBIG dan MTEL masing-masing terkontraksi hingga minus 5,08 persen dan minus 13,25 persen.

Meskipun saham MTEL masih terkontraksi, riset Mirae Asset Sekuritas Indonesia masih optimis dengan prospek perusahaan menara ini kedepannya.

Adapun riset yang bertajuk Dayamitra Telekomunikasi: Aggressively Expanding the Portfolio yang dirilis pada Jumat (30/9) tersebut menyebutkan bahwa roadmap MTEL yang akan berekspansi dari towerco menjadi infraco dapat menawarkan prospek menarik bagi perusahaan.

“Kami percaya ini akan memungkinkan perusahaan untuk memberikan layanan yang lebih baik bagi pelanggannya,” tulis analis Mirae Asset Sekuritas Indonesia, Jennifer Harjono, Jumat (23/9).

Kendati kinerja saham emiten menara sebagian besar memerah, TOWR menjadi satu-satunya emiten sektor ini yang kinerja saham YTDnya berada di zona hijau, yakni melesat hingga 9,78 persen.

Periset: Melati Kristina

(ADF)

Disclaimer: Keputusan pembelian/penjualan saham sepenuhnya ada di tangan investor.

SHARE