MARKET NEWS

Eropa-AS Getol Kerek Suku Bunga, Ekonom: Inflasi Tak Akan Turun Dengan Cara Ini

Tim IDXChannel 14/09/2022 00:53 WIB

Pihak BoE menegaskan bahwa upayanya untuk menaikkan bunga tidak akan berhenti hingga posisi inflasi benar-benar dapat terkendali.

Eropa-AS Getol Kerek Suku Bunga, Ekonom: Inflasi Tak Akan Turun Dengan Cara Ini (foto: MNC Media)

IDXChannel - Bank Sentral Inggris (Bank of England/BoE) bakal kembali menaikkan suku bunganya menjadi 2,25 persen, menjadi langkah kenaikan ketujuh kalinya sejak Desember 2021 lalu. Pihak BoE menegaskan bahwa upayanya untuk menaikkan bunga tidak akan berhenti hingga posisi inflasi benar-benar dapat terkendali.

Sikap ini didukung oleh Gubernur Bank Sentral Eropa (Europe Central Bank/ECB), Christine Lagarde, yang menyatakan bahwa tindakan tegas memang harus diambil, mengingat kenaikan 0,75 basis poin yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam suku bunga zona euro menjadi 1,25 persen.

Tak hanya itu, Ketua Bank Sentral AS (Federal Reserve/The Fed), Jerome Powell, juga kembali menegaskan posisi lembaganya yang tetap akan menggunakan komponen suku bunga untuk memaksa agar harga di pasaran dapat lebih stabil, sehingga inflasi terjaga.

"Kita harus terus seperti ini sampai pekerjaan (menurunkan inflasi) ini selesai," ujar Powell, sebagaimana dilansir The Guardians, Senin (12/9/2022).

Powell dan Lagarde memastikan dukungannya kepada Gubernur BoE, Andrew Bailey, sembari menegaskan bahwa suku bunga yang lebih tinggi dapat mengekang inflasi saat ini dalam sistem dan harga pangan masing-masing negara, dan bahkan dunia.

Namun demikian, argumen para petinggi bank sentral Uni Eropa dan AS dibantah oleh sebagian pengamat ekonomi dunia. Mereka mengakui bahwa berdasarkan teori ekonomi, inflasi yang tinggi akan mendorong konsumen untuk membelanjakan lebih banyak daripada mengambil risiko dengan mengandalkan uang tunai yang nilainya menurun sepanjang tahun.

Dalam pemahaman ini, maka biaya pinjaman (suku bunga) yang tinggi akan membatasi dorongan belanja tersebut. Namun, servei terbaru justru menunjukkan bahwa konsumen telah menyadari bahwa inflasi yang tinggi merupakan pertanda baik dari kelumpuhan ekonomi, sehingga meresponnya dengan menghentikan pengeluaran, dan menabung lebih banyak.

Kelompok masyarakat yang telah sadar ini, mungkin menginginkan pekerjaan baru dan kenaikan gaji, namun lebih ketakutan terhadap masa sulit, yang membuat mereka tetap bekerja dan menelan berapa pun kenaikan gaji yang ditawarkan. Di lain pihak, pertumbuhan upah di Agustus 2022 justru turun ke level terendah sejak Maret 2022, menurut survei ketenagakerjaan Inggris terbaru S&P Global.

"Melihat lebih dekat pada sifat inflasi ini akan membuat keadaan menjadi lebih buruk bagi bank sentral. Inflasi sebagian besar diimpor. Sebagian besar impor yang terkena dampak adalah kebutuhan pokok, seperti energi dan pangan. Orang dan bisnis perlu membeli energi dan makanan, sehingga kebijakan moneter (kenaikan suku bunga) hanya berdampak kecil pada berapa banyak yang mereka beli," ujar Mantan Kepala Ekonom Citigroup Inc, Catherine Mann, dalam laporan yang sama.

Kekurangan produk adalah faktor lain yang menaikkan harga toko, namun menurut Mann, masalah yang ada dapat ditelusuri kembali dari kebijakan lockdown di pabrik-pabrik di China. Dengan demikian, faktor kenaikan suku bunga di Inggris tidak akan berpengaruh untuk dapat menekan harga.

Menurut Mann, bahwa selama Fed dan ECB naik, maka BoE harus menurunkan nilai tukar poundsterling menjadi setara dengan dolar AS. Argumennya adalah bahwa di dunia yang sangat kompetitif, uang mengalir menuju tingkat suku bunga tertinggi, yaitu AS, di mana tingkat dana federal sudah berada di kisaran 2,25 persen hingga 2,5 persen.

"Dengan aliran dana menuju AS, maka pound bakal terdepresiasi, dan itu akan menyebabkan tekanan inflasi lebih lanjut, mengingat ketergantungan Inggris pada impor. Begitu seterusnya, dan inflasi tidak akan berhasil ditekan dengan cara-cara seperti ini," tegas Mann. (TSA)

Penulis: Cindy Angelia

SHARE