Grup Djarum dan Astra (ASII) Ramaikan Aksi Akuisisi Emiten Properti-Pergudangan, Sinyal Apa?
Dua konglomerat besar Tanah Air, Grup Djarum dan Grup Astra, tampak semakin agresif mengakumulasi dan mengakuisisi saham-saham di sektor properti dan logistik.
IDXChannel - Dua konglomerat besar Tanah Air, Grup Djarum dan Grup Astra, tampak semakin agresif mengakumulasi dan mengakuisisi saham-saham di sektor properti dan logistik.
Langkah strategis ini dinilai sebagai sinyal kuat akan keyakinan mereka terhadap prospek pemulihan ekonomi Indonesia dalam jangka panjang.
Terbaru, konglomerasi otomotif hingga pertambangan PT Astra International Tbk (ASII) resmi mengambil alih mayoritas saham PT Mega Manunggal Property Tbk (MMLP) melalui anak usahanya, PT Saka Industrial Arjaya (SIA), pada 21 Juli 2025.
Dalam keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia pada Selasa (22/7/2025), disebutkan, SIA—yang seluruh sahamnya dimiliki secara tidak langsung oleh Astra—telah menandatangani perjanjian jual beli saham bersyarat (conditional share purchase agreement/CSPA) dengan para pemegang saham mayoritas MMLP.
SIA akan mengakuisisi sekitar 83,67 persen saham MMLP yang saat ini dimiliki oleh PT Suwarna Arta Mandiri (SAM), Bridge Leed Limited, serta sejumlah pemegang saham minoritas lainnya.
Apabila transaksi ini rampung, SIA akan menjadi pengendali baru MMLP, dan Astra melalui SIA wajib melakukan Penawaran Tender Wajib kepada pemegang saham publik, sebagaimana diatur dalam POJK No. 9/POJK.04/2018 tentang Pengambilalihan Perusahaan Terbuka.
Manajemen menegaskan, aksi korporasi ini bukan merupakan transaksi material berdasarkan POJK No.17/POJK.04/2020 maupun transaksi afiliasi atau benturan kepentingan sebagaimana dimaksud dalam POJK No.42/POJK.04/2020.
Langkah akuisisi ini dilakukan sebagai bagian dari strategi pengembangan usaha dan investasi jangka panjang SIA, yang merupakan bagian dari portofolio bisnis Astra di sektor properti dan logistik.
Sebelumnya, PT Dwimuria Investama Andalan, kendaraan investasi milik Grup Djarum, juga tercatat ke dalam daftar pemegang saham di atas lima persen di SSIA.
Berdasarkan data Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) per 16 Juli 2025, Dwimuria menggenggam 6,56 persen saham SSIA atau setara 308,73 juta saham. Dwimuria tercatat rajin mengakumulasi saham SSIA sejak namanya muncul sebagai pemegang saham perseroan di atas 5 persen sejak 4 Juli 2025.
Dwimuria Investama dikenal sebagai pemegang saham pengendali PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) dengan kepemilikan mencapai 54,94 persen.
Perusahaan investasi ini juga memiliki 8,32 persen saham di PT Sarana Menara Nusantara Tbk (TOWR), emiten yang bergerak di bidang menara telekomunikasi, yang juga masih terafiliasi dengan Grup Djarum.
Tak hanya itu, Dwimuria juga tercatat membeli seluruh saham hasil pembelian kembali (buyback) milik PT Medikaloka Hermina Tbk (HEAL). Aksi korporasi ini dilakukan di luar Bursa Efek Indonesia (BEI) pada 25 Juni 2025.
Sebagai catatan, Dwimuria Investama merupakan perusahaan investasi milik dua orang terkaya di Indonesia, Hartono Bersaudara—Robert Budi Hartono dan Bambang Hartono.
Selain Djarum, PT Chandra Asri Pacific Tbk (TPIA) milik Prajogo tercatat memiliki sekitar 263,41 juta saham atau setara 5,60 persen kepemilikan di SSIA melalui produk Pengelolaan Dana Nasabah Individu (PDNI) yang dikelola oleh Henan Putihrai Asset Management, tepatnya CAP Fund.
Mengutip Stockbit, sebelumnya, TPIA sempat tercatat sebagai pemegang saham dengan kepemilikan lebih dari 5 persen di SSIA pada Maret 2025. Namun, perusahaan kemudian menghilang dari daftar tersebut sebelum akhirnya kembali muncul pada pertengahan Juli.
Pada April 2025, Direktur TPIA, Suryandi, sempat menyatakan kepada sebuah media ekonomi-bisnis, dana yang dialokasikan tersebut bertujuan sebagai bagian dari strategi portofolio investasi, bukan untuk mengambil alih kepemilikan saham SSIA secara langsung.
Sinyal Keyakinan Jangka Panjang
Pengamat pasar modal Michael Yeoh menyoroti, sektor ritel saat ini menjadi salah satu yang paling terdampak akibat tekanan pasar.
Ia merujuk pada data indeks sektoral untuk menggambarkan besarnya tekanan di sektor ini. “Terlihat dari pergerakan sektoral IDX Consumer Cyclical, koreksi di sektor ini terkontraksi -15,72 persen,” katanya, Selasa (22/7/2025).
Lebih lanjut, Michael menjelaskan bahwa pelemahan daya beli masyarakat tercermin dari indikator ekonomi utama yang terus melemah.
“Rendahnya data Purchasing Managers' Index (PMI) dan inflasi secara berturut lebih dari enam bulan juga menjadi sinyal lemahnya demand dari masyarakat,” tuturnya.
Tak hanya sektor ritel, menurut Michael, sektor pergudangan juga ikut terimbas cukup kuat oleh pelemahan ekonomi. “Dan pergudangan merupakan salah satu sektor yang terdampak kuat,” ujarnya.
Namun di balik tekanan tersebut, Michael melihat adanya pergerakan strategis dari kalangan pengusaha besar. “Justru di sinilah menariknya jika kita melihat gerak-gerik dari para pengusaha taipan atau konglomerat di Indonesia,” kata Michael.
Ia mencontohkan kondisi saat pagebluk COVID-19 sebagai pembanding. “Ketika terjadi COVID-19, banyak pengusaha yang kesulitan dalam cashflow, terutama di bisnis perhotelan, justru diakuisisi oleh konglomerat lain,” katanya.
Hal serupa kini terlihat dalam aksi akuisisi sejumlah emiten properti oleh entitas besar. “Dengan diakuisisinya SSIA serta MMLP, maka bisa kita asumsikan secara forecast, para konglomerat ini melihat potensi dari pemulihan ekonomi di Indonesia,” tutur Michael.
Meski begitu, ia menegaskan bahwa pemulihan yang dimaksud bukan untuk jangka pendek. “Yang tentunya tidak dalam waktu dekat, tapi ini merupakan proyeksi jangka panjang,” demikian kata Michael. (Aldo Fernando)
Disclaimer: Keputusan pembelian/penjualan saham sepenuhnya ada di tangan investor.