MARKET NEWS

Hajatan IPO Lesu di 2024, Ini Sederet Penyebabnya

Dinar Fitra Maghiszha 30/11/2024 06:01 WIB

Tren pencatatan perdana saham (IPO) di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada 2024 menghadapi sejumlah tantangan.

Hajatan IPO Lesu di 2024, Ini Sederet Penyebabnya (foto mnc media)


berita - dinar

Hajatan IPO Lesu di 2024, Ini Sederet Penyebabnya

IDXChannel - Tren pencatatan perdana saham (IPO) di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada 2024 menghadapi sejumlah tantangan.

Target BEI untuk meningkatkan jumlah emiten tercatat sebanyak 62 perusahaan berpotensi tak tercapai, mengingat hingga awal Desember ini hanya 39 emiten, atau 41 emiten dengan memperhitungkan pencatatan PT Adaro Andalan Indonesia Tbk (AADI) dan PT Daya Intiguna Yasa Tbk (MDIY).

Senior Equity Research Analyst NH Korindo Sekuritas Indonesia, Ezaridho Ibnutama menyoroti faktor-faktor yang menghambat realisasi target IPO BEI, terutama setelah mencuat dugaan gratifikasi. 

“Kemungkinan target IPO tidak tercapai setelah skandal itu (skandal gratifikasi). Itu agak susah untuk mencapaikan target IPO,” ujar Ezaridho kepada IDX Channel, Jumat (29/11/2024).

Setiap tahunnya, target IPO dirancang untuk lebih tinggi, meskipun tak sesuai realisasi.

Salah satu sorotan utama adalah performa saham pasca-IPO yang dinilai sering kali mengecewakan. 

Ezaridho menilai, banyak saham baru yang kini diperdagangkan di level terendah (gocap) atau menjadi perusahaan cangkang tanpa aktivitas bisnis yang berarti. 

“Saham-saham yang pas di IPO kemarin sekarang itu beberapa kena FCA atau memang mau menjadikan perusahaan cangkang. Jadi kualitas IPO-nya memang tidak dilayak beli,” tuturnya.

Dari sisi likuiditas, jumlah emiten baru yang bertambah justru berpotensi memangkas likuiditas pasar. Dengan fokus investor yang cenderung tertuju pada saham-saham unggulan seperti IDX30 atau LQ45, saham-saham baru sering kali terabaikan. 

Ezaridho juga menyoroti dampak makro ekonomi, seperti era suku bunga tinggi dan ketidakpastian geopolitik, yang memengaruhi keputusan perusahaan untuk mencari pendanaan di pasar modal. Namun, menurutnya, ada perbedaan antara IPO strategis dan IPO untuk kebutuhan pendanaan nyata. 

“Mayoritas IPO kita itu strategic, bukan real IPO sebenarnya. Jika mereka mau cari funding, mereka itu lebih ke bank atau ke investor lain,” ujarnya.

Market Dinilai Tak Kondusif

Pengamat Pasar Modal Universitas Indonesia, Budi Frensidy menilai, tak tercapainya target IPO juga dilatarbelakangai oleh kondisi market yang tidak kondusif.

Mulai dari era suku bunga tinggi maupun kondisi geopolitik.

“Target menjadi semakin berat tatkala tren indeks (IHSG) turun dari 7.905 pada 19 September hingga di bawah 7.200 alias jadi negatif ytd. Yang tadinya minat juga kemungkinan akan menunda jika pasar tidak kondusif,” tutur Budi kepada IDX Channel.

Budi menilai, ada anomali terhadap kondisi market Indonesia, dibandingkan bursa negara-negara lain.

“Bursa-bursa di banyak negara termasuk AS kan terjadi all time high. Jadi, bursa kita dan beberapa bursa lain justru anomali karena tidak mampu melesat,” kata Budi.

Senada, Senior Invesment Information Mirae Asset Sekuritas Indonesia, Nafan Aji Gusta menilai, investor yang masuk melalui pasar perdana cenderung mempertimbangkan prospek kondisi ekonomi sebagai dasar keputusan menyerap saham IPO.

“Tentunya investor juga turut mempertimbangkan bagaimana prospek penetapan kebijakan pelonggaran moneter ke depan, sambil menitik beratkan dengan adanya faktor global certainty yang terjadi,” tutur Nafan.

Sementara Ezaridho justru sebaliknya, bahwa kondisi market global tidak terlalu berdampak. Pasalnya, terdapat kepentingan yang lebih jauh dari sekadar ada atau tidaknya serapan dana IPO.

“Secara makro apakah memang era suku bunga tinggi saat ini ditambah kondisi geopolitik yang uncertainty apakah masih berdampak terhadap keputusan mencari dana di pasar modal. Ini tidak tentu juga,” katanya.

(Fiki Ariyanti)

SHARE