MARKET NEWS

Harga Minyak Berbalik Melemah, Pasar Tunggu Hasil Pembicaraan AS-China

TIM RISET IDX CHANNEL 11/06/2025 07:16 WIB

Harga minyak melemah pada Selasa (10/6/2025) setelah mencatat level tertinggi dalam dua bulan.

Harga Minyak Berbalik Melemah, Pasar Tunggu Hasil Pembicaraan AS-China. (Foto: Freepik)

IDXChannel - Harga minyak melemah pada Selasa (10/6/2025) setelah mencatat level tertinggi dalam dua bulan, sementara pasar menunggu kabar dari pembicaraan perdagangan antara Amerika Serikat (AS) dan China.

Optimisme mengenai hasil pembicaraan, ditambah ketidakpastian terkait gencatan senjata Ukraina-Rusia dan kesepakatan nuklir AS-Iran, telah menopang reli harga minyak belakangan ini.

Analis menyebutkan bahwa kesepakatan dagang antara dua ekonomi terbesar dunia ini berpotensi mendongkrak harga dengan memperkuat pertumbuhan ekonomi global dan meningkatkan permintaan minyak.

Kontrak berjangka (futures) minyak WTI ditutup melemah 0,5 persen di USD64,98, sementara Brent turun 0,3 persen menjadi USD66,87. Pada Senin, Brent ditutup di level tertinggi sejak 22 April dan WTI di level tertinggi sejak 3 April.

Pembicaraan perdagangan antara AS dan China berlanjut ke hari kedua penuh hingga malam hari di London, ketika kedua negara berusaha mencapai terobosan terkait kendali ekspor yang berpotensi memicu ketegangan tarif.

Menteri Perdagangan AS Howard Lutnick mengatakan pembicaraan berjalan baik dan ia berharap rampung pada Selasa malam, meski pembicaraan bisa berlanjut hingga Rabu.

Sementara itu, Bank Dunia memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global 2025 sebesar 0,4 poin persentase menjadi 2,3 persen, dengan alasan tarif yang lebih tinggi dan ketidakpastian yang terus meningkat menjadi angin sakal (headwind) signifikan bagi hampir semua perekonomian.

Dari sisi pasokan, alokasi minyak untuk kilang China menunjukkan bahwa Saudi Aramco, perusahaan minyak negara Arab Saudi, akan mengirim sekitar 47 juta barel minyak ke China pada Juli, 1 juta barel lebih sedikit dari alokasi Juni, demikian laporan Reuters.

Penurunan alokasi dari Arab Saudi ini dapat menjadi sinyal awal bahwa pencabutan pemangkasan produksi OPEC+ mungkin tidak menghasilkan pasokan tambahan yang signifikan, ujar Harry Tchilinguirian, Kepala Riset di Onyx Capital.

“Prospek kenaikan lebih lanjut dalam pasokan OPEC terus menjadi bayang-bayang bagi pasar,” kata Ahli Strategi Komoditas Senior di ANZ, Daniel Hynes, dalam catatannya, dikutip Reuters.

OPEC+, yang mencakup Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutu seperti Rusia dan memompa sekitar setengah pasokan minyak dunia, berencana menaikkan produksi sebesar 411.000 barel per hari pada Juli, melanjutkan pembukaan keran produksi untuk bulan keempat berturut-turut.

Survei Reuters menunjukkan bahwa kenaikan produksi OPEC pada Mei masih terbatas, dengan Irak—produsen OPEC terbesar kedua setelah Arab Saudi—memompa di bawah target guna mengompensasi produksi berlebih sebelumnya. Sementara Arab Saudi dan Uni Emirat Arab meningkatkan produksi dalam jumlah yang lebih kecil dari yang disepakati.

Di tempat lain, Iran menyatakan segera memberikan usulan balasan atas proposal kesepakatan nuklir AS yang dinilai tidak dapat diterima, sementara Presiden AS Donald Trump menegaskan bahwa kedua pihak masih berselisih mengenai apakah Teheran diizinkan terus memperkaya uranium di wilayahnya.

Iran merupakan produsen terbesar ketiga di OPEC dan setiap pelonggaran sanksi AS terhadap negara tersebut dapat meningkatkan ekspor minyak Iran, yang bisa menekan harga minyak mentah.

Sementara itu, Komisi Eropa mengusulkan paket sanksi ke-18 terhadap Rusia atas invasinya ke Ukraina, yang menargetkan pendapatan energi, sektor perbankan, dan industri militer Moskow.

Rusia merupakan produsen minyak mentah terbesar kedua di dunia pada 2024 setelah AS, dan setiap tambahan sanksi kemungkinan menahan lebih banyak minyak Rusia keluar dari pasar global, yang berpotensi mendukung harga minyak. (Aldo Fernando)

SHARE