Harga Minyak Jatuh 2 Persen, Pasar Cermati Sanksi Rusia dan Rencana OPEC+
Harga minyak turun sekitar 2 persen pada Selasa (28/10/2025), menandai penurunan selama tiga hari berturut-turut.
IDXChannel - Harga minyak turun sekitar 2 persen pada Selasa (28/10/2025), menandai penurunan selama tiga hari berturut-turut.
Pelemahan ini terjadi ketika investor menimbang dampak sanksi Amerika Serikat (AS) terhadap dua perusahaan minyak terbesar Rusia terhadap pasokan global, serta kemungkinan rencana OPEC+ untuk meningkatkan produksi.
Kontrak berjangka (futures) minyak mentah Brent ditutup merosot 1,9 persen menjadi USD64,40 per barel. Sementara itu, minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) anjlok 1,9 persen menjadi USD60,15 per barel.
Pekan lalu, Brent dan WTI mencatat kenaikan mingguan terbesar sejak Juni, setelah Presiden AS Donald Trump memberlakukan sanksi terkait perang Ukraina terhadap Rusia, menargetkan dua raksasa minyak, yakni Lukoil dan Rosneft.
Pemerintah AS memberikan jaminan tertulis bahwa bisnis Rosneft di Jerman akan dikecualikan dari sanksi karena asetnya sudah tidak lagi berada di bawah kendali Rusia.
“Pengecualian untuk Jerman ini memberi kesan bahwa sanksi bisa lebih fleksibel, sehingga mengurangi kekhawatiran pasar bahwa pasokan akan mengetat drastis. Ini membuat investor cenderung menghindari risiko hari ini,” ujar Analis Senior Price Futures Group, Phil Flynn, dikutip Reuters.
Direktur Eksekutif Badan Energi Internasional (IEA), Fatih Birol, menyatakan dampak sanksi terhadap negara pengekspor minyak akan terbatas karena masih ada kapasitas cadangan yang cukup.
Setelah sanksi diumumkan, produsen minyak terbesar kedua Rusia, Lukoil, mengumumkan akan menjual aset internasionalnya.
Langkah ini menjadi tindakan paling signifikan yang dilakukan perusahaan Rusia sejak sanksi Barat diberlakukan akibat invasi penuh ke Ukraina pada Februari 2022. Lukoil, yang bermarkas di Moskow, menyumbang sekitar 2 persen produksi minyak global.
Sementara itu, sejumlah sumber Reuters melaporkan bahwa kilang minyak India menghentikan pemesanan baru untuk minyak Rusia sejak sanksi diberlakukan, sembari menunggu kejelasan dari pemerintah dan pemasok.
OPEC+, yang terdiri dari negara-negara anggota OPEC dan sekutunya termasuk Rusia, disebut tengah mempertimbangkan peningkatan produksi moderat pada Desember mendatang.
Kelompok ini sebelumnya memangkas produksi selama beberapa tahun untuk menopang harga minyak, dan mulai membalikkan kebijakan tersebut sejak April.
“Ini menimbulkan pertanyaan seberapa besar kapasitas cadangan OPEC+ yang sebenarnya masih tersisa,” kata Flynn.
CEO Saudi Aramco menyebut permintaan minyak mentah tetap kuat bahkan sebelum sanksi terhadap Rosneft dan Lukoil diberlakukan, dengan permintaan dari China yang masih solid.
Presiden Lipow Oil Associates, Andrew Lipow, mengatakan, peningkatan produksi OPEC+ dapat membantu menyeimbangkan potensi penurunan pasokan minyak Rusia akibat sanksi AS.
Investor juga mencermati kemungkinan tercapainya kesepakatan dagang antara AS dan China, dua konsumen minyak terbesar dunia, menjelang pertemuan Presiden Trump dan Presiden Xi Jinping di Korea Selatan pada Kamis.
Menteri Luar Negeri China, Wang Yi, menyatakan harapannya, dalam percakapan telepon dengan Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio, pada Senin, agar AS dapat menunjukkan sikap saling menghormati dan bertemu di tengah jalan untuk mempersiapkan dialog tingkat tinggi antara kedua negara.
Sementara itu, data American Petroleum Institute (API) menunjukkan stok minyak mentah, bensin, dan distilat AS turun pada pekan yang berakhir 24 Oktober.
Persediaan minyak mentah turun 4,02 juta barel, bensin berkurang 6,35 juta barel, dan distilat menyusut 4,36 juta barel dibandingkan pekan sebelumnya. (Aldo Fernando)