Harga Minyak Melemah Jelang Tenggat Tarif Trump
Harga minyak melemah pada Kamis (31/7/2025) di tengah kecemasan investor menjelang tenggat tarif 1 Agustus.
IDXChannel — Harga minyak melemah pada Kamis (31/7/2025) di tengah kecemasan investor menjelang tenggat tarif 1 Agustus yang ditetapkan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, menyusul belum tercapainya kesepakatan dagang dengan sejumlah negara mitra.
Kontrak berjangka (futures) minyak jenis Brent untuk pengiriman September yang berakhir Kamis ditutup turun 0,97 persen menjadi USD72,53 per barel. Sementara itu, minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) AS untuk pengiriman September melorot 1,06 persen ke USD69,26 per barel, setelah sempat melemah lebih dari USD1 pada sesi sebelumnya.
Kedua acuan harga tersebut sebelumnya sempat mencatatkan kenaikan sekitar 1 persen pada Rabu.
Melansir dari Reuters, Gedung Putih menyatakan, negara-negara yang belum merundingkan perjanjian dagang atau menerima surat tarif dari pemerintah AS akan segera diberitahu terkait ketentuan perdagangan paling lambat akhir hari ini. AS telah menyepakati kesepakatan dengan dua pertiga dari 18 mitra dagang utamanya.
Trump mengatakan dirinya dan Presiden Meksiko Claudia Sheinbaum telah sepakat memperpanjang kesepakatan dagang yang ada selama 90 hari dan melanjutkan negosiasi dalam periode tersebut dengan target menandatangani perjanjian baru.
“Meksiko akan tetap membayar tarif Fentanyl sebesar 25 persen, tarif mobil 25 persen, serta tarif baja, aluminium, dan tembaga masing-masing sebesar 50 persen. Selain itu, Meksiko juga sepakat segera mencabut hambatan non-tarifnya yang jumlahnya cukup banyak,” tulis Trump dalam unggahan di media sosial.
Menurut partner di Again Capital, New York, John Kilduff, kabar perpanjangan kesepakatan ini turut menekan harga minyak. “Secara keseluruhan, tarif berdampak negatif terhadap permintaan minyak ke depan, dan situasi dengan Meksiko ini hanya menunda masalah,” katanya.
Inflasi AS naik pada Juni karena tarif mendorong harga barang impor seperti furnitur rumah tangga dan produk hiburan. Hal ini mendukung pandangan bahwa tekanan harga akan meningkat pada paruh kedua tahun ini, yang bisa menunda pemangkasan suku bunga Federal Reserve (The Fed) hingga setidaknya Oktober.
Suku bunga yang lebih rendah cenderung menurunkan biaya pinjaman konsumen, sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi dan permintaan minyak.
Sementara itu, produksi minyak mentah AS meningkat ke rekor tertinggi 13,49 juta barel per hari pada Mei, menurut data Badan Informasi Energi AS (EIA). Produksi tersebut naik 24.000 barel per hari dibandingkan rekor sebelumnya di bulan April.
Persediaan minyak mentah AS juga naik 7,7 juta barel menjadi 426,7 juta barel pada pekan yang berakhir 25 Juli, didorong oleh penurunan ekspor. Analis sebelumnya memperkirakan penurunan sebesar 1,3 juta barel.
Namun, stok bensin turun 2,7 juta barel menjadi 228,4 juta barel, jauh melebihi ekspektasi penurunan sebesar 600.000 barel.
“Data persediaan AS menunjukkan kenaikan mengejutkan pada stok minyak mentah, tapi penurunan besar pada stok bensin memperkuat pandangan akan tingginya permintaan selama musim mengemudi, sehingga dampaknya netral terhadap pasar minyak,” ujar analis Fujitomi Securities, Toshitaka Tazawa.
Ancaman sanksi AS terhadap Rusia turut menjadi penopang harga minyak minggu ini. Pada Senin, Trump menyatakan mulai memberlakukan sanksi terhadap Rusia, termasuk tarif sekunder 100 persen terhadap mitra dagangnya, jika tidak ada kemajuan dalam upaya mengakhiri perang di Ukraina dalam 10–12 hari—lebih cepat dari tenggat sebelumnya yang 50 hari.
AS juga telah memperingatkan China, pembeli terbesar minyak Rusia, bahwa negara itu bisa dikenakan tarif besar jika terus membeli minyak dari Moskow.
Empat sumber Reuters yang mengetahui rencana pembelian menyebutkan bahwa kilang milik negara India tidak mencari pasokan minyak Rusia dalam sepekan terakhir, menyusul peringatan dari Trump.
Pada Rabu, Departemen Keuangan AS juga mengumumkan sanksi baru terhadap lebih dari 115 individu, entitas, dan kapal yang terkait Iran, memperketat tekanan setelah serangan udara terhadap fasilitas nuklir Iran pada Juni lalu. (Aldo Fernando)