Harga Minyak Melemah, Pasokan Melimpah Bayangi Pasar
Harga minyak dunia melemah pada perdagangan Kamis (6/11/2025), seiring investor mempertimbangkan potensi kelebihan pasokan.
IDXChannel - Harga minyak dunia melemah pada perdagangan Kamis (6/11/2025), seiring investor mempertimbangkan potensi kelebihan pasokan serta melemahnya permintaan di Amerika Serikat (AS), konsumen minyak terbesar di dunia.
Kontrak berjangka Brent ditutup turun 0,22 persen, menjadi USD63,38 per barel. Sementara West Texas Intermediate (WTI) ditutup terdepresiasi 0,29 persen, ke level USD59,43 per barel.
Harga minyak global telah turun selama tiga bulan berturut-turut hingga Oktober, tertekan kekhawatiran kelebihan suplai seiring OPEC dan sekutunya (OPEC+) meningkatkan produksi pada saat output dari negara produsen non-OPEC juga masih tumbuh.
“Pasar terus dibayangi potensi kelebihan pasokan yang sebenarnya sudah lama diantisipasi, dan itu menjadi tekanan bagi harga,” ujar Partner di Again Capital, John Kilduff, dikutip Reuters.
Dari sisi permintaan, tanda-tanda pelemahan tetap menjadi perhatian. JPMorgan dalam catatan riset menyebut, hingga 4 November permintaan minyak global tumbuh 850.000 barel per hari, lebih rendah dari proyeksi sebelumnya sebesar 900.000 barel per hari.
Bank tersebut juga mencatat indikator frekuensi tinggi menunjukkan konsumsi minyak di AS masih lesu, terlihat dari melemahnya aktivitas perjalanan dan turunnya pengiriman kontainer.
Pada sesi sebelumnya, harga minyak merosot setelah Administrasi Informasi Energi AS melaporkan stok minyak mentah AS naik 5,2 juta barel menjadi 421,2 juta barel dalam sepekan terakhir.
“Rendahnya tingkat operasional kilang menunjukkan permintaan minyak mentah di AS sedang tidak kuat, akibat periode pemeliharaan kilang yang cukup signifikan. Kondisi ini menjadi beban fundamental bagi harga,” kata Kilduff.
Sementara itu, Arab Saudi sebagai eksportir minyak terbesar dunia, memangkas harga jual resmi minyaknya untuk pelanggan Asia pada Desember, merespons kondisi pasar yang berpasokan cukup longgar ketika produsen OPEC+ meningkatkan produksi.
“Kami memperkirakan tekanan penurunan harga minyak bertahan, mendukung proyeksi kami yang berada di bawah konsensus, yaitu USD60 per barel pada akhir 2025 dan USD50 per barel pada akhir 2026,” tulis Capital Economics dalam sebuah catatan.
Namun, sebagian tekanan tersebut tertahan oleh kekhawatiran gangguan pasokan, setelah sanksi terbaru terhadap sejumlah perusahaan minyak terbesar Rusia dua pekan lalu memicu potensi hambatan distribusi. Reuters melaporkan pekan ini bahwa operasi Lukoil di sejumlah bisnis luar negeri menghadapi kendala akibat sanksi tersebut.
“Ada sedikit dampak terhadap harga dari sanksi itu, tapi tidak terlalu besar,” ujar analis Onyx Capital Group, Jorge Montepeque.
Montepeque menambahkan, “Berdasarkan angka, seharusnya dampaknya lebih besar, namun pasar tampaknya masih menunggu bukti nyata bahwa ganggunan pasokan benar-benar terjadi.” (Aldo Fernando)