Harga Minyak Melonjak 5 Persen usai AS Jatuhkan Sanksi ke Produsen Rusia
Harga minyak mentah melonjak sekitar 5 persen ke level tertinggi dalam dua pekan pada Kamis (23/10/2025).
IDXChannel - Harga minyak mentah melonjak sekitar 5 persen ke level tertinggi dalam dua pekan pada Kamis (23/10/2025) setelah Amerika Serikat (AS) menjatuhkan sanksi terhadap dua pemasok utama Rusia, Rosneft dan Lukoil, terkait perang di Ukraina.
Langkah tersebut membuat sejumlah perusahaan energi di China dan India mempertimbangkan untuk memangkas impor minyak dari Rusia.
Harga minyak Brent melonjak 5,4 persen menjadi USD65,99 per barel, sedangkan minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) AS meningkat 5,6 persen ke USD61,79 per barel.
Kenaikan ini menjadi yang terbesar sejak pertengahan Juni dan merupakan penutupan tertinggi sejak 8 Oktober.
“Pengumuman sanksi AS terhadap Rosneft dan Lukoil merupakan eskalasi besar dalam penargetan sektor energi Rusia dan bisa menjadi guncangan yang cukup besar untuk mengubah pasar minyak global menjadi defisit tahun depan,” ujar Kepala Ekonom Iklim dan Komoditas di Capital Economics, David Oxley, dikutip Reuters.
Menurut data energi AS, Rusia merupakan produsen minyak mentah terbesar kedua di dunia setelah Negeri Paman Sam pada 2024.
Selain harga minyak yang melonjak, kontrak berjangka solar AS juga naik hampir 7 persen, mendorong selisih harga (crack spread) ke posisi tertinggi sejak Februari 2024—indikator marjin keuntungan kilang.
Analis Saxo Bank Ole Hansen mengatakan, sanksi AS membuat kilang di China dan India—dua pembeli utama minyak Rusia—harus mencari pemasok alternatif agar tidak terblokir dari sistem perbankan Barat.
Sejumlah sumber perdagangan mengatakan kepada Reuters bahwa perusahaan minyak milik negara China telah menangguhkan pembelian minyak Rusia yang dikirim lewat laut dari dua perusahaan yang kini masuk daftar sanksi AS, sehingga turut mendorong kenaikan harga.
Menteri Perminyakan Kuwait menyatakan, Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) siap menambah produksi untuk menutup potensi kekurangan pasokan di pasar.
Namun Presiden Rusia Vladimir Putin menegaskan, pasar global akan membutuhkan waktu untuk menggantikan minyak Rusia. “Ini jelas upaya untuk menekan Rusia,” kata Putin. “Namun tidak ada negara atau bangsa yang menghargai dirinya sendiri akan mengambil keputusan di bawah tekanan.”
Pemerintah AS mengatakan siap mengambil tindakan lebih lanjut dan menyerukan Moskow untuk segera menyetujui gencatan senjata di Ukraina.
“Beragam sanksi AS dan Uni Eropa sejauh ini hampir tidak berdampak pada kemampuan Rusia mengekspor minyak, jadi kami ragu putaran sanksi kali ini akan menjadi titik balik. Namun, Kremlin mungkin harus menggunakan cara yang lebih rumit untuk mengirim minyaknya secara tersembunyi, yang akan meningkatkan biaya,” ujar Analis Strategi Investasi di Raymond James, Pavel Molchanov.
Ia menambahkan, bank investasi itu akan terus memantau situasi ini mengingat ekspor Rusia menyumbang sekitar 7 persen pasokan minyak global.
Inggris pekan lalu juga menjatuhkan sanksi terhadap Rosneft dan Lukoil, sementara Uni Eropa menyetujui paket sanksi ke-19 yang mencakup larangan impor gas alam cair dari Rusia.
Uni Eropa juga menambahkan dua kilang China dengan kapasitas gabungan 600.000 barel per hari serta Chinaoil Hong Kong—unit perdagangan PetroChina—ke dalam daftar sanksi Rusia.
Analis UBS Giovanni Staunovo mengatakan, dampak sanksi terhadap pasar minyak akan bergantung pada respons India dan kemampuan Rusia mencari pembeli baru.
Sejumlah sumber industri menyebutkan, kilang di India—yang sejak perang Ukraina menjadi pembeli terbesar minyak Rusia dengan harga diskon—berencana memangkas tajam impor mereka untuk mematuhi sanksi baru AS terhadap Lukoil dan Rosneft. Langkah ini berpotensi membuka jalan bagi kesepakatan dagang baru antara India dan AS.
Perusahaan swasta Reliance Industries, pembeli utama minyak Rusia di India, disebut berencana mengurangi atau bahkan menghentikan impor tersebut sepenuhnya, menurut dua sumber yang mengetahui rencana itu. (Aldo Fernando)