MARKET NEWS

Harga Minyak Menguat, Imbas Pemangkasan Produksi hingga Sentimen Israel-Palestina

Maulina Ulfa - Riset 06/11/2023 16:21 WIB

Harga minyak menguat pada sesi perdagangan Senin sore (6/11/2023).

Harga Minyak Menguat, Imbas Pemangkasan Produksi hingga Sentimen Israel-Palestina. (Foto: Freepik)

IDXChannel - Harga minyak menguat pada sesi perdagangan Senin sore (6/11/2023). seiring eksportir utama Arab Saudi dan Rusia akan tetap melakukan pengurangan produksi minyak secara sukarela hingga akhir 2023.

Minyak mentah berjangka Brent naik 1,37 persen menjadi USD86 per barel, sementara minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) AS berada di USD81,57 per barel, naik 1,33 persen pada pukul 15.46 WIB. (Lihat grafik di bawah ini.)

Langkah ini dipastikan untuk menjaga pasokan tetap ketat, sementara investor mewaspadai sanksi Amerika Serikat (AS) yang lebih keras terhadap minyak Iran.

Arab Saudi mengonfirmasi akan melanjutkan pengurangan sukarela tambahan sebesar 1 juta barel per hari (bph) hingga Desember untuk mempertahankan produksi sekitar 9 juta barel per hari. Keputusan Arab Saudi ini sejalan dengan ekspektasi para analis.

Rusia juga mengumumkan akan melanjutkan pengurangan pasokan sukarela tambahan sebesar 300 ribu barel per hari dari ekspor minyak mentah dan produk minyak bumi hingga akhir Desember.

Analis ING mengatakan dalam sebuah catatan bahwa pasar minyak akan mengalami surplus pada kuartal pertama tahun depan. Kondisi ini disebut memungkinkan Saudi dan Rusia untuk terus melakukan pengurangan.

Mewaspadai Dampak Konflik Israel-Palestina

Harga Brent dan WTI mencatat penurunan mingguan kedua berturut-turut pada minggu lalu. Harga energi utama dunia ini turun sekitar 6 persen karena risiko geopolitik yang semakin memudar ketika diplomat AS bertemu dengan para pemimpin regional untuk membatasi risiko meluasnya perang Israel-Hamas di Timur Tengah.

“Pasar tidak memperhitungkan terlalu banyak risiko geopolitik pada tingkat saat ini, sehingga hal ini tetap menjadi risiko utama,” kata Suvro Sarkar, analis DBS Singapura.

Minggu ini, investor juga mengamati lebih banyak data ekonomi dari China setelah konsumen minyak terbesar kedua di dunia itu merilis data PMI manufaktur per Oktober yang mengecewakan pada minggu lalu.

Analis IG yang berbasis di Sydney, Tony Sycamore memperkirakan harga minyak akan didorong oleh berita utama dari Timur Tengah dan perkembangan konflik di kawasan ini.

Dia menambahkan, WTI perlu mempertahankan dukungan di atas USD80 per barel pada awal minggu ini, jika tidak, harga bisa turun ke level terendah USD77,59 yang terlihat pada Agustus lalu.

Sarkar memperkirakan Brent akan tetap didukung pada harga USD80-85 per barel, mengutip berlanjutnya pengurangan pasokan, berakhirnya kenaikan suku bunga, dan jatuhnya dolar AS, setelah data pekerja dan gaji di AS lebih lemah dari perkiraan pada Jumat (3/11).

Laporan Bank Dunia sebelumnya menguraikan apa yang mungkin terjadi terhadap harga minyak dalam tiga skenario risiko berdasarkan pengalaman historis sejak 1970-an.

Dalam hal ini, dampaknya akan bergantung pada tingkat gangguan terhadap pasokan minyak. Ini karena kawasan ini menyumbang hampir sepertiga pasokan minyak global.

Berdasarkan catatan sejarah, konflik di Timur Tengah cenderung menyebabkan lonjakan harga minyak tercermin dari krisis embargo minyak OPEC pada 1973-1974, revolusi Iran pada tahun 1978-1979, Perang Iran-Irak yang dimulai pada tahun 1980, dan Perang Teluk Persia pertama pada tahun 1990-1991.

Sehingga ketidakstabilan apa pun dapat menciptakan ketidakpastian pasar karena kekhawatiran akan terganggunya pasokan minyak global.

Untuk itu, Bank Dunia melihat tiga kemungkinan dalam prospek harga minyak ke depan dalam tiga skenario utama.

Pertama, dalam skenario “small disruption”, Bank Dunia memprediksi pasokan minyak global akan berkurang sebesar 500.000 hingga 2 juta barel per hari.

Angka ini kira-kira setara dengan pengurangan yang terjadi selama perang saudara di Libya pada 2011.

Dalam skenario ini, harga minyak pada awalnya akan meningkat antara 3 persen dan 13 persen relatif terhadap rata-rata kuartal saat ini, hingga kisaran USD93 hingga USD102 per barel.

Kedua, dalam skenario “medium disruption” yang kira-kira setara dengan perang Irak pada 2003, pasokan minyak global akan berkurang sebesar 3 juta hingga 5 juta barel per hari.

Kondisi ini akan mendorong harga minyak naik sebesar 21 persen hingga 35 persen pada awalnya, menjadi antara USD109 dan USD121 per barel.

Ketiga, dalam skenario “large disruption” yang sebanding dengan embargo minyak Arab pada 1973, pasokan minyak global diprediksi akan menyusut sebesar 6 juta hingga 8 juta barel per hari.

Hal ini akan mendorong harga naik sebesar 56 persen hingga 75 persen pada awalnya, menjadi antara USD140 dan USD157 per barel.

Di sisi lain, jelang akhir pekan lalu, Dewan Perwakilan Rakyat AS mengesahkan rancangan undang-undang untuk memperkuat sanksi terhadap minyak Iran. AS dikabarkan akan menerapkan tindakan terhadap pelabuhan dan kilang asing yang memproses minyak yang diekspor dari Iran jika rancangan undang-undang tersebut ditandatangani menjadi undang-undang.

Sarkar juga menambahkan para analis masih mengamati apakah undang-undang tersebut akan mempengaruhi ekspor minyak Iran.

Perusahaan jasa energi Baker Hughes dalam laporan mingguannya pada Jumat juga mengatakan jumlah rig minyak AS juga turun sebanyak 8 rig menjadi 496 rig pada minggu lalu, yang merupakan level terendah sejak Januari 2022. (ADF)

SHARE