IHSG Berpotensi Menguat Terbatas Pekan Ini, Investor Nantikan Data Global dan Domestik
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) diproyeksikan bergerak melanjutkan penguatan, namun terbatas pada pekan ini periode 28 Juli-1 Agustus 2025.
IDXChannel - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) diproyeksikan bergerak melanjutkan penguatan, namun terbatas pada pekan ini periode 28 Juli-1 Agustus 2025. Potensi pergerakan ini sangat dipengaruhi oleh rilis data-data penting, baik dari domestik maupun global.
Equity Analyst PT Indo Premier Sekuritas (IPOT), Imam Gunadi, mengungkapkan dalam perdagangan sepekan terakhir, IHSG bergerak bullish dengan kenaikan signifikan sebesar 3,17 persen dan inflow di pasar reguler sebanyak Rp413 miliar.
"Jika melihat secara teknikal analisis, ada potensi IHSG akan bergerak bullish karena konsisten bergerak di atas MA5, namun penguatannya terbatas dengan rentang support di 7.400 dan resistance 7.700. Hal ini ditengarai oleh adanya kemungkinan pembelian yang telah jenuh," kata Imam dalam risetnya, Senin (28/7/2025).
Menurut Imam, saat ini IHSG telah menyentuh external ratio fino 1,618, yang mengindikasikan bahwa kenaikan yang selama ini terjadi sudah cukup tinggi. Pasar cenderung akan wait and see menjelang rilis laporan keuangan bank-bank besar.
Dari sisi global, fokus utama pasar akan tertuju pada rilis data suku bunga Federal Reserve (The Fed) atau Fed Funds Rate (FFR) pada 31 Juli 2025 waktu Indonesia. Konsensus memproyeksikan suku bunga The Fed akan tetap di rentang 4,25 persen - 4,50 persen dengan probabilitas tinggi mencapai 95,9 persen.
"Sebelumnya probability sempat berada di angka 79 persen-an di akhir Juni lalu, namun karena data-data tenaga kerja AS yang solid membuat probability suku bunga ditahan meningkat," kata Imam.
Amerika Serikat juga akan merilis data PCE Juli, di mana untuk Core PCE (angka yang paling dipantau) menurut konsensus diproyeksikan akan berada di angka 0,3 persen atau naik dari 0,2 persen pada bulan Juni 2025.
Proyeksi kenaikan ini tidak terlepas dari data tenaga kerja AS yang solid di bulan Juni, seperti tingkat pengangguran yang turun ke 4,1 persen (vs Mei 4,2 persen), Initial Jobless Claim yang konsisten turun dari awal Juni, Job Openings yang naik di Mei, serta Non Farm Payrolls (jumlah tenaga kerja baru yang tercipta di luar sektor pertanian) yang naik ke 147 ribu.
Meskipun demikian, konsensus masih memproyeksikan sektor manufaktur AS yang dicerminkan oleh data ISM Manufacturing PMI masih berada di level kontraksi, tepatnya 49,6.
Pada pekan ini, negara lain seperti China dan Indonesia juga akan merilis data PMI. China, melalui data Caixin Manufacturing PMI, diproyeksikan masih akan berada di level ekspansif, tepatnya di angka 50,3.
Sedangkan Indonesia kemungkinan masih akan berada di level kontraksinya. Indonesia juga akan merilis data inflasi untuk bulan Juli 2025, yang mana inflasi Juli diproyeksikan akan naik 2,1 persen (menurut TEForecast).
Imam mencatat, kenaikan IHSG sejak 10 Juli 2025 disokong oleh dua sektor dengan kenaikan yang sangat signifikan, yaitu IDXINFRA dan IDXTECHNO. Beberapa konstituen di kedua indeks sektoral ini mencatatkan kenaikan signifikan, seperti DCII, EMTK, WIFI, dan EDGE di IDXTECHNO, serta BREN, SSIA, TOWR di IDXINFRA.
"Perlu diketahui bahwa beberapa waktu lalu BI kembali memangkas suku bunga acuannya sebanyak 25 bps dan kedua sektor ini baik IDXINFRA maupun IDXTECHNO merupakan 2 sektor yang cukup sensitif terhadap suku bunga," kata.
Selain itu, dalam sepekan terakhir, ada beberapa katalis menarik, salah satunya kesepakatan tarif impor AS dengan Jepang sebesar 15 persen pada Selasa, 22 Juli 2025. Imam melihat ada dua dampak bagi Indonesia dari kesepakatan ini, baik positif maupun negatif.
"Dampak positifnya, dengan adanya kesepakatan dagang antara AS dan negara lainnya, hal ini semakin mereduksi ketidakpastian ketegangan yang disebabkan oleh tarif, VIX indeks juga turun 11,71 persen di pekan lalu," kata Imam.
Namun, dia menambahkan kesepakatan dagang ini juga berpotensi memberikan dampak negatif bagi Indonesia. Jepang merupakan salah satu kontributor terbesar Foreign Direct Investment (FDI) Indonesia. Pada kuartal I-2025 saja, Jepang telah merealisasikan investasi di Indonesia sebanyak USD1,0 miliar atau Rp16 triliun (asumsi kurs 16 ribu).
"Dengan masifnya investasi di AS, ada kekhawatiran Jepang akan mengurangi porsi di negara lain termasuk salah satunya Indonesia," ujarnya.
Dari sisi domestik, adanya pengajuan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) perusahaan pertambangan batu bara dan mineral menjadi perhatian. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menetapkan bahwa seluruh perusahaan pertambangan wajib mengajukan ulang RKAB pada Oktober 2025, dan pengajuan yang tadinya selama 3 tahun akan diajukan setiap tahun.
RKAB 3 tahunan sebelumnya memberikan stabilitas dan kepastian hukum bagi investor karena kegiatan produksi dan investasi dapat direncanakan lebih matang.
"Dengan RKAB 1 tahunan, investor hanya punya izin operasi 12 bulan ke depan, membuat rencana jangka panjang lebih berisiko dan bisa tertunda," kata Imam.
Dia juga menekankan bahwa mengajukan dan menunggu persetujuan setiap tahun berarti lebih banyak waktu dan biaya untuk urusan administratif.
"Bila sistem digitalnya belum siap atau ada bottleneck dari pihak ESDM, bisa terjadi keterlambatan izin, yang berakibat penghentian sementara produksi," kata Imam.
Sebagai contoh, jika sebuah perusahaan tambang ingin membeli alat berat senilai Rp100 miliar dengan masa pakai 5 tahun, dan hanya dijamin izin operasional selama 1 tahun melalui RKAB tahunan, maka perusahaan harus menanggung risiko jika tahun depan RKAB tidak disetujui, yang bisa membuat alat berat menjadi idle dan tidak produktif.
(NIA DEVIYANA)